• Berita
  • Perubahan Nama Tempat di Jawa Barat dengan Istilah dari Bahasa Asing Merupakan Cerminan Sifat Inferior

Perubahan Nama Tempat di Jawa Barat dengan Istilah dari Bahasa Asing Merupakan Cerminan Sifat Inferior

Tidak sedikit tempat di Bandung maupun Jawa Barat yang malah dinamai dengan istilah kebarat-baratan, seperti Orchid Forest, Floating Market, Athena Residence.

Diskusi Ngobrol Sore di Pustaka Tropis Wanadri, Bandung, Jumat, 5 Juli 2024 bersama bersama T Bachtiar, penulis buku Susur Galur Nama Tempat di Jawa Barat. (Foto: Mochammad Arya Rizaldi/BandungBergerak)

Penulis Linda Lestari8 Juli 2024


BandungBergerak.id - Pemberian nama pada suatu tempat tidak bisa sembarangan. Setiap nama tempat memiliki arti dan asal-usul tersendiri berdasarkan berbagai fenomena dan sejarah yang terjadi di daerah tersebut. Sebaliknya, penafsiran tempat pun tidak bisa serampangan, ada unsur sejarah dan budaya yang berkaitan dengan nama-nama rupabumi (toponim).

Masalah penamaan tempat (toponim atau rupabumi) ini dibahas dalam Diskusi Ngobrol Sore di Pustaka Tropis Wanadri, Bandung, Jumat, 5 Juli 2024 bersama bersama T Bachtiar, penulis buku Susur Galur Nama Tempat di Jawa Barat.

T Bachtiar menyebutkan, bila dikaji secara menyeluruh, toponim di Jawa Barat diambil dari keragaman bumi, keragaman hayati, sampai keragaman budaya. Toponim berasal dari nama tumbuhan misalnya Kosambi yang berasal dari pohon Kosambi, atau Cijawura yang berasal dari buah Jawura.

Ada juga toponim yang berasal dari kemegahan bumi, contohnya Sukapura. Kata “suka” berarti senang, sedangkan “pura” berarti benteng atau kota, Sukapura bermakna kota yang menyenangkan. Begitupun dengan penamaan Sukahaji, “haji” di sini berarti raja atau besar, maka Sukahaji memiliki makna tempat yang luas dan indah.

Di Kota Bandung, Kosambi, Cijawura, dan Sukahaji menjadi nama pasar, pesantren atau jalan, dan pasar burung. Nama-nama tradisional ini ditemukan pula di beberapa tempat di Jawa Barat.

Selain dari keragaman hayati dan kemegahan bumi, toponim di Jawa Barat juga bersumber dari hewan. Misalnya harimau, terdapat daerah bernama Ciharegem yang bersumber dari suara harimau yang menggeram. Dari wujudnya, ada Cimaung dan Cimacan di mana dahulunya tempat tersebut terdapat banyak hewan maung (harimau dalam bahasa Sunda) dan macan.

Ada juga nama tempat Pamoyanan yang dalam bahasa Sunda, “moyan” berarti berjemur. Bukit tempat harimau menjelajah diberi nama Pasir Meong.

Perkembangan tata kota juga menjadi sumber penamaan suatu daerah. Di Bandung terdapat beberapa toponim yang bersumber pada perkembangan Bandung Raya. Misalnya Sawah Kurung dengan makna daerah persawahan yang tinggal sedikit karena sudah dikelilingi oleh bangunan. Jalan penghubung antarkampung juga dijadikan sumber toponimi, contohnya Ciluncat. Ada juga Cikukang, Cukangjati, dan Cukangkawung yang bermakna memakai jembatan kecil, “cukang” sendiri memiliki arti jembatan.

Unsur bahasa sering menjadi sumber penamaan tempat. Penggunaan toponim dari unsur bahasa biasanya bermaksud mengabadikan kata-kata yang berusia ribuan tahun. Misalnya bahasa Sunda Kuno (1.334 M), bahasa Kawi yang berasal dari Prasasti Citatih (1.030 M), bahasa Sanskerta (450 M), dan bahasa tidak tertulis yang digunakan penduduk di tatar Sunda sebelum ditemukannya Prasasti Ciaruteun.

“Perkembangan bahasa di Jawa Barat terabadikan dalam toponim, baik di Bandung ataupun di Jawa Barat sekarang,” ujar T Bachtiar.

Unsur budaya lainnya yakni sistem pengetahuan, sosial kemasyarakatan, religi, kesenian, dan mata pencaharian. Contoh toponim dari mata pencaharian adalah Warung Peuteuy, Warung Nangka, Pasar Minggu, Pasar Rebo, dan lainnya. Sementara itu unsur kesenian dalam toponim diambil dari peralatan kesenian, contohnya Curug Dogdog dan Curug Citambur.

Urun Rembug pergantian nama rupabumi baru

T Bachtiar menyampaikan, segala jenis pembangunan harus melalui tujuh tahapan, yakni survei, investigasi, desain teknis, pengadaan lahan, konstruksi, operasi sampai pemeliharaan. Semakin banyaknya pembangunan, nama rupabumi yang baru pun akan semakin bertambah. Dalam hal ini, masyarakat dapat berperan mengusulkan dan merundingkan nama rupabumi. Hal ini dapat dilakukan ketika ada konsultasi publik pada 4 tahap awal pembangunan.

Geografiawan penulis buku Bandung Purba tersebut menyebut, kajian perubahan nama rupabumi harus melibatkan banyak ahli. Jika ingin mengubah nama menjadi nama seorang tokoh pun harus menunggu sampai 5 tahun kematian tokoh tersebut. Perubahan nama juga dapat berdampak pada aspek kepemilikan. Masyarakat asal harus mengubah data administrasi sesuai dengan nama baru tempat tersebut.

Dewasa ini tidak sedikit tempat di Bandung maupun Jawa Barat yang dinamai dengan istilah kebarat-baratan, contohnya Orchid Forest, Floating Market, Athena Residence, dan lain-lain. Menurut Bachtiar, hal ini terjadi karena masyarakat Indonesia yang cenderung lebih merasa penamaan menggunakan kata asing tersebut lebih mewah. Hal tersebut diakibatkan oleh adanya sifat inferior.

Faktor lainnya adalah penafsiran nama rupabumi yang keliru. Sebagai contoh, di Rajaampat terdapat situs Taman Bumi yang dalam dokumen resminya terdapat situs Batu Pensil, padahal masyarakat lokal mengenalnya sebagai Batubelo lengkap dengan asal-usul geomitologinya. Ini merupakan salah tafsir dari orang asing yang sekadar berkunjung beberapa puluh menit saja dan memberi nama yang tidak berakar pada alam serta budaya masyarakatnya.

T Bachtiar mengatakan bahwa nama rupabumi tidak perlu dibanding-bandingkan dengan nama asing. Misalnya curug Malela disebut Niagara Kecil atau suatu tempat yang disebut Afrika Kecil. Menurutnya, masing-masing daerah mempunyai karakternya tersendiri.

Nggak usah dibanding-bandinginlah, Niagara itu berapa kilo, ini seuprit, tapi kan besar (curugnya). Makanya namanya Malela”, kata T Bachtiar.

Ia juga menekankan untuk tidak sembarangan menafsirkan nama rupabumi. Diperlukan tingkat literasi yang baik dengan membaca banyak kamus sebagai rujukan untuk dapat menafsirkan nama rupabumi.

Toponimi bisa juga menjadi informasi awal untuk mitigasi kebencanaan dan gejala meteorologis lainnya. Misalnya Gunung Guntur yang memiliki makna ketika gunung ini meletus akan mengeluarkan lahar yang ngaguguntur atau banjir lahar dalam jumlah banyak.

T Bachtiar menyebut dinamika alam penting untuk diketahui agar manusia mengetahui apa yang harus dilakukan untuk mengurangi risiko sekecil-kecilnya. Toponimi merupakan informasi awal untuk melakukan mitigasi kebencanaan. Sembarangan mengganti toponimi akan menghapus nilai sejarah bumi, geopolitik, ingatan kolektif masyarakat, dan hilangnya kewaspadaan.

Baca Juga: Menghidupkan Budaya Literasi di Cicalengka
Cara Komunitas Karinding Jatinangor Melestarikan Budaya Sunda
Membedah Novel Gadis Pantai, Pergulatan Perempuan dalam Belenggu Budaya Maskulin di Masa Lalu dan Kini

Toponimi Mewakili Proses Sejarah Kebudayaan yang Panjang

Penamaan tempat bagian dari proses panjang sejarah dan kebudayaan. Penggantian nama tempat dengan istilah atau nama yang tidak berkaitan dengan sejarah dan budaya setempat maka akan mengaburkan sejarah atau budaya tersebut.

“Tentu ketika toponimi itu berubah tanpa ada catatan yang yang mengabadikan toponimi orisinal, maka toponimi orisinal itu terancam hilang. Kajian toponimi menjadi penting karena toponimi mewakili proses sejarah kebudayaan yang panjang,” tulis Aulia Dwi Rahma, Dhafin Fadhlur Rahman, Hilya Talitha Aqilah, Muhammad Zaki Rabbani, dan Siti Hamidah dalam “Kajian Toponim: Hubungan Toponimi di Jawa Barat dengan Kondisi Geografis dan Budaya Masyarakat”, Mahasiswa Program Studi Sains Informasi Geografi dan Fakultas Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) 2024.

Aulia DKK menyoroti banyak terjadi perubahan toponimi lokal menjadi nasional. Di perkotaan toponimi jalan sudah lumrah diganti dengan nama pahlawan nasional seperti Gatot Subroto, Jendral Sudirman, Otto Iskandar Dinata, dan lain-lain. Selain itu, banyak pula pergeseran penamaan wilayah dalam lingkup yang lebih besar dari jalan.

*Kawan-kawan dapat membaca tulisan-tulisan lain Linda Lestari, atau artikel-artikel lain tentang Sejarah dan Budaya

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//