Peta Perjuangan Dipati Ukur Beserta Situs Petilasannya di Gunung-gunung Bandung Raya #1
Perjalanan Dipati Ukur menghindari kejaran VOC dan pasukan Kerajaan Mataram meninggalkan jejak petilasan yang tersebar di gunung-gunung Bandung Raya.
Gan Gan Jatnika
Pegiat Komunitas Pendaki Gunung Bandung (KPGB), bisa dihubungi via Fb Gan-Gan Jatnika R dan instagram @Gan_gan_jatnika
2 November 2024
BandungBergerak.id – Tatar Ukur adalah sebutan untuk wilayah Bandung Raya sebelum dibentuk menjadi Kabupaten Bandung pada tahun 1641. Memiliki sembilan (9) wilayah yang disebut Ukur, wilayah ini disebut sebagai Ukur Sasanga atau Ukur Sembilan. Cakupannya diperkirakan lebih luas dari seluruh wilayah Bandung Raya saat ini.
Tatar Ukur dipimpin oleh Raden Wangsanata atau Wangsataruna. Merujuk pada nama Tatar Ukur, sang kepala pemerintahan dikenal pula dengan gelar Adipati atau Dipati Ukur.
Wilayah Tatar Ukur semakin meluas setelah Sumedang Larang bergabung dengan Mataram. Jumlah umbul atau wilayah yang diperintah oleh Dipati Ukur menjadi 44 umbul. Dari sinilah lahir julukan baru, yaitu Umbul Patpat atau Umbul 44. Umbul adalah wilayah bagian dari sebuah ukur. Jika ukur bisa disamakan dengan sebuah kecamatan, umbul adalah desa.
Baca Juga: GUNUNG-GUNUNG DI BANDUNG RAYA #53: Gunung Nini Ciparay dengan Pemandangan 360 Derajat nan Memikat dari Puncaknya
BUNGA-BUNGA DI GUNUNG BANDUNG RAYA #1: Dari Saliara hingga Soga
GUNUNG-GUNUNG DI BANDUNG RAYA #54: Gunung Bubut dan Pasir Bedil, Sisa Gunungapi Tua di Selatan Soreang dengan Pemandangan Memesona dari Puncaknya
Kekalahan Perang Melawan VOC di Batavia
Dipati Ukur adalah seorang ahli pertanian, agama, juga perang. Dari kecil ia telah dididik oleh orang tuanya agar menjadi laki-laki tangguh dan calon pemimpin yang andal.
Masa muda Dipati Ukur dihabiskan untuk merantau sekaligus mencari ilmu. Salah satu tempat yang didatangi adalah Kerajaan Mataram. Saat itu yang menjadi rajanya adalah Susuhunan Kanjeng Sultan Agung, atau yang lebih dikenal dengan nama Sultan Agung.
Kepiawaian Dipati Ukur muda dalam belajar serta melaksanakan perintah, termasuk memimpin pasukan Mataram ke medan perang dan pulang membawa hasil kemenangan yang gemilang, membuat jenjang pangkatnya cepat berundak naik. Tugas yang dipercayakan kepadanya pun semakin berat .
Pada tahun 1628 dan 1629, Dipati Ukur muda memimpin pasukan untuk menyerang Jaketra atau Batavia yang saat itu dikuasai VOC. Ia menggunakan jalan darat, sedangkan Tumenggung Bahureksa memimpin penyerangan lewat jalur samudra. Sayangnya kali ini Dipati Ukur gagal meraih kemenangan.
Sebagai akibat kegagalan tersebut, Dipati Ukur harus siap menerima hukuman. Sudah menjadi kebiasaan di masa kepemimpinan Sultan Agung bahwa hukuman mati adalah balasan bagi pemimpin pasukan yang kalah. Mengingat dan mempertimbangkan segala risiko, Dipati Ukur memilih untuk tidak pulang ke Mataram, melainkan kembali ke Tatar Ukur dan berniat memajukan tanah air beserta rakyatnya. Keputusan yang ia tahu akan membuat Sultan Agung murka serta memburunya.
Tulisan kali ini akan mengulas ke mana saja pergerakan Dipati Ukur untuk menghindari para pemburunya yang berasal dari VOC dan Kerajaan Mataram, dan bagaimana keadaan tempat tersebut saat ini.
Gunung Pangporang dan Situs Demah Luhur
Tempat pertama yang dipilih Dipati Ukur untuk didatangi sekaligus menghilangkan jejak adalah Gunung Pangporang. Lokasinya berada di timur laut wilayah Bandung Raya sekarang. Keterangan ini terdapat dalam sebuah naskah yang ditulis pada tahun Jim Awwal, tanggal 4 Muharram, atau sesuai dengan tanggal 2 Februari 1778. Tidak jauh dari gunung tersebut terdapat sebuah gunung dengan nama yang hampir sama, yaitu Gunung Pangparang.
Dari toponiminya ada perbedaan arti yang mencolok terkait nama kedua gunung tersebut. Jika nama Gunung Pangporang (kadang disebut juga Gunung Pongporang ) berasal dari sejenis tanaman yang berkhasiat untuk menjaga dan memulihkan stamina, nama Gunung Pangparang berasal dari kata Parang atau senjata yang digunakan Sangkuriang untuk menebang pohon. Nantinya pohon itu akan dibuat menjadi sebuah perahu sesuai pesanan Putri Dayang Sumbi.
Sadar keberadaannya mulai terendus mata-mata Mataram, Dipati Ukur bersama orang-orangnya yang setia bersiap meninggalkan Gunung Pangporang. Sebelum berpindah, untuk mengelabui musuh, dibuatlah sebuah makam buatan di sebuah bukit yang bernama Cipatapaan Demah Luhur, di dekat hulu sungai Ci Panjalu, kaki sebelah selatan dari Gunung Palasari. Saat ini lokasi petilasan tersebut masih bisa dikunjungi dan terawat dengan cukup baik. Patokan tempatnya adalah SDN Palintang yang bisa dicapai dari Alun-alun Ujungberung ke arah utara. Bertanya ke warga di sekitar SD tersebut, kita akan ditunjukkan arah jalan menuju situs ini.
Gunung Bukitcula dan Situs Culanagara Gunung Leutik.
Dari dataran tinggi Bandung timur, Dipati Ukur melihat penampakan sebuah gunung yang cocok untuk dijadikan tempat menyusun kekuatan dan mengumpulkan kembali orang-orang kepercayaannya. Saat ini nama gunung yang dimaksud dikenal dengan nama Gunung Bukitcula. Lokasinya di daerah Ciparay, dengan jarak sekitar 45 kilometer dari Gunung Pangporang.
Untuk mencapai tujuan, Dipati Ukur dan rombongan harus berjalan melewati kelebatan hutan dan rawa-rawa sisa Danau Bandung Purba yang saat itu masih belum sepenuhnya mengering.
Tiba di kaki gunung yang dituju, Dipati Ukur membuka dan berganti pakaian sesuai dengan yang digunakan orang-orang di tempat itu. Pakaian dan senjata yang telah dilepas kemudian dibungkus dengan kain. Dalam bahasa Sunda, membungkus dengan kain disebut dengan ngabuntel. Inilah awal mula tempat tersebut dinamakan Pabuntelan. Lokasinya sekarang berada di Cipatat, Tenjonagara, Kecamatan Pacet, sebelah selatan kaki Gunung Bukitcula.
Setelah di-buntel, rombongan Dipati Ukur juga mendirikan sebuah bangunan kecil. Pakaian, senjata, perhiasan, dan benda berharga disimpan di bangunan tersebut. Karena ukurannya kecil, bangunan tersebut dinamakan Imah Leutik (Rumah Kecil). Sekarang tempatnya disebut Gunung Leutik, dan di atasnya dibangun sebuah monumen yang disebut Palagan Culanagara.
Palagan Culanagara kini adalah sebuah monumen dengan gambar timbul berbentuk sosok Dipati Ukur sedang menunggang kuda sembari tangan kanannya yang memegang senjata mengacung ke atas. Sayangnya, pada Oktober 2024 lalu, palagan ini didapati sudah rusak. Senjata Duhung atau Kujang Culanagara sudah tidak ada di tempat.
Sementara Dipati Ukur berada di Imah Leutik, orang-orang kepercayaannya tinggal di tempat yang berbeda. Mereka membangun bangunan yang lebih besar dari tempat penyimpanan barang, disebut dengan Imah Ageung (Rumah Besar). Sekarang tempat ini disebut Kampung Padaleman.
Dipati Ukur sering mendaki ke gunung yang kemudian dikenal dengan nama Gunung Bukitcula. Konon nama Bukitcula ada kaitannya dengan senjata Dipati Ukur yang bernama Culanagara. Tempat Dipati Ukur sering duduk sekarang dikenal dengan nama Situs Ramogiling dan batu tempat duduk Dipati Ukur disebut dengan Batu Korsi.
Di kawasan Gunung Bukitcula, Dipati Ukur membangun kekuatan baru. Para prajurit diasah terus kemampuan perangnya di sebuah lapangan yang disebut Barujati. Selain itu, dikembangkan pula sistem pertanian sawah dengan pola pengairan yang bagus. Neragam peralatan rumah tangga pun dibuat dari bahan tembaga di sebuah tempat yang sekarang dikenal dengan nama Paledang.
Setelah merasa cukup waktunya berdiam di kawasan ini, Dipati Ukur dan rombongan bersiap bergerak ke tempat baru. Sebelum meninggalkan tempat, dibuatlah maqom atau petilasan berbentuk makam. Tujuannya sama dengan yang dilakukan di kaki Gunung Palasari, Palintang, yaitu untuk mengelabui para pemburunya.
Tempat yang dipilih untuk membuat petilasan tersebut adalah Pasir Ipis. Letaknya berada di sebelah selatan Gunung Bukitcula.
Ada hal menarik tentang Situs Pabuntelan dan Gunung Bukitcula. Pada Bulan Mei 1709 atau kira-kira 79 tahun setelah Dipati Ukur meninggalkan Pabuntelan, ada perintah kepada kuncen atau Juru Pelihara untuk menjaga dan melestarikan tempat tersebut. Sebagian salinan isinya berbunyi: “ Ini toelisan di lontar dari Kramat Pawoentelan district Tjipeudjeuh afdeeling Tjijalengka. Inie bekasnya Adipati Oekoer jang berperang bersama Mataram tempo Soeltan Agoeng.” Bagian ini ditulis dengan huruf latin dan disalin sesuai dengan aslinya, sedangkan bagian lainnya ditulis dalam huruf Jawa-Sunda.
Contoh bagian lainnya: “ Penget surat piyagem saking Kangjeng Dalem Tumenggung Anggadiredja kang alinggih ing nagri Bandung, kagadhuh dening Aki Kartamanggala. Mulane anggadhuh surat piyagemniku, kapotus angraksa Sangiyang Pabuntelan. Sanak putune aja dimetukaken puragane” , yang artinya : “Peringatan surat piagam dari Kangjeng Tumenggung Anggadiredja yang berkedudukan di negeri Bandung, diterima oleh Aki Kartamanggala. Sebabnya mendapat surat piagam, karena ia mendapat tugas memelihara Sangiyang (tempat keramat) Pabuntelan. Semua anak-cucunya jangan dibebani tugas kerja wajib (Puraga)”.
Keterkaitan penjaga Situs Pabuntelan ini diperkuat dengan keterangan P. De Roo de la Faille dalam sebuah naskah terbitannya. Naskah yang ditulis pada bulan Oktober 1894 ini memuat juga silsilah bupati-bupati Bandung lama.
Ke mana Dipati Ukur melanjutkan perjuangannya? Kita akan membahasnya pada tulisan selanjutnya.
*Kawan-kawan bisa membaca tulisan-tulisan lain Gan Gan Jatnika, serta artikel-artikel menarik lain tentang Gunung-gunung di Bandung Raya