Bandung Mendaku Kota Musik, Sampai Kapan Panggung-panggungnya Dibiarkan Menyempit?
Dilema seniman balada Manjing Manjang menghadapi minimnya panggung musik. Mereka membutuhkan ruang pertunjukan yang inklusif.
Penulis Yopi Muharam6 Februari 2025
BandungBergerak.id - Para seniman sudah lama mengeluhkan minimnya ruang-ruang pertunjukan musik di Kota Bandung. Kalaupun ruang itu ada, mereka harus menempuh birokrasi yang “tidak nyeni” alias ribet. Kondisi ini bertentangan dengan pendakuan Pemkot Bandung selama ini bahwa Kota Kembang sebagai kota kreatif atau bahkan barometer musik.
Di masa lalu, sempitnya ruang bermusik di Bandung secara tidak langsung memupuk bom waktu dari energi orang-orang muda yang sangat besar di ranah pemusikan. Ingat, tragedi AACC meledak karena sempitnya panggung-panggung konser musik di kota ini.
Peristiwa terbaru yang bertentangan dengan semangat kota kreatif terjadi saat perayaan musik balada di Museum Kota Bandung, Jalan Aceh No. 47, Sabtu, 1 Februari 2025. Konser ini tidak berlangsung mulus sesuai harapan para seniman karena dipaksa berhenti setelah dianggap melewati batas waktu jam oprasional museum. Padahal masih banyak seniman yang belum tampil.
Konser tahunan yang diikuti puluhan seniman Bandung ini dihelat komunitas Manjing Manjang untuk memperingati momen tahunan Hari Musik Balada. Acara tidak hanya penampilan musik saja tetapi diselingi musikalisasi puisi, pembacaan puisi, diskusi, workshop, hingga lapakan buku.
Salah seorang seniman balada Bandung, Abah Omtris merasa kecewa dengan pemberhentian paksa konser Manjing Manjang Hari Musik Balada. Abah Omtris menceritakan, pukul 10.00 ia bersama Adew Habtsa menjadi pembuka acara Manjing Manjang dengan lokakarya.
Omtris sekaligus panitia acara mengungkapkan bahwa perhelatan ini seharusnya diselenggarakan hingga pukul 21.00 malam, tetapi dipaksa berhenti sebelum pukul 18.05. Omtris menyesali pemberhentian ini mengingat banyak seniman yang belum tampil.
“Kesian juga kan, jauh-jauh, ada yang dari kabupaten juga. Ga bisa apa-apa saya juga,” tutur Abah Omtris, kepada BandungBergerak, Selasa, 4 Februari 2025.
Pembubaran acara tidak hanya terkait jam operasional. Omtris menghimpun informasi bahwa ada seorang yang mengaku sebagai ketua RW keberatan dengan kegiatan ini yang dianggap berisik.
Omtris pun menyayangkan sikap pemerintah di bawah Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Kota Bandung yang mengabaikan para seniman untuk berkarya di Museum Kota Bandung. “Ya, seharusnya bijaklah pihak pemerintah juga, melihat banyak talent yang udah pada dateng. Ini cuman separo jalan, eh ujugujug distop,” jelasnya.
Kronologi Penghentian Konser Manjing Manjang
Konser peringatan Hari Musik Balada sebelumnya biasa diperingati tiap tanggal 27, 28, dan 30 November. Karena alasan satu dan lain hal, akhirnya Konser Manjing Manjang Hari Musik Balada dengan tema ‘Balada Semua Cerita’ akan digelar 25 Januari 2025. Sampai akhirnya, konser bisa terlaksana Sabtu, 1 Februari 2025.
Alasan mundurnya acara dikarenakan harus mengurus aturan birokrasi ke Disbudpar Kota Bandung. Hal tersebut diungkapkan oleh Galuh, ketua pelaksana acara.
Galuh mengungkapkan, pemilihan tempat di Museum Kota Bandung selain minimnya tempat ruang publik untuk menggelar festival, ada urgensi lainnya. Mas Gal – begitu Galuh dikenal – menjelaskan ada benefit untuk mempublikasikan museum Kota Bandung ke khalayak luas. Tidak hanya itu mereka juga mengaktivasi museum sebagai ruang untuk belajar.
Mas Gal bercerita dari pertengahan Januari saat pertama kali melakukan survei ke museum Kota Bandung, panitia sudah langsung tertarik. Saat itu juga, dirinya menanyakan ke satuan pengaman (Satpam) yang bertugas di sana untuk menanyai izin tempat tersebut.
Setelah mendapat kabar ternyata museum bisa digunakan, para panitia segera menyiapkan persyaratan yang harus dilalui, seperti ToR dan surat izin. Namun permasalahan pertama muncul ketika panitia mendapat surat balasan dari Disbudpar pada 31 Januari atau sehari sebelum dihelat acara.
Mas Gal mengungkapkan dalam surat balasan tersebut tertera bahwa mereka diizinkan menggunakan gedung dengan syarat harus sesuai dengan jadwal museum, yaitu dari pukul 10.00-15.00 petang. Tidak kehilangan akal, para panitia pun bernegosiasi dengan staf Disbudpar terkait waktu agar bisa ditambahkan.
Akhirnya acara mendapat penambahan waktu hingga pukul 16.00 atau satu jam dari jawal tutup museum. “Kami coba melobi bahwa enggak mungkin sampe jam 3 (15.00), karena di rundown tuh ada beberapa penampilan yang bisa sampai malam,” tuturnya, Selasa, 04 Februari 2025 petang.
Karena tidak ada pilihan lain, sebab poster acara dan undangan sudah disebar, akhirnya mereka menyanggupi perintah dari surat balasan tersebut. Pada hari pelaksanaan, para panitia pun tak patah arang, mereka tetap bernegosiasi dengan Disbudpar terkait waktu acara.
“Tapi kami meminta izin, karena biasanya di tempat lain biasanya suka ada extra ordinary untuk kegiatan yang tidak mengikuti jam operasional museum atau buka gedung,” jelasnya. Akan tetapi harapan itu pupus di tengah jalan.
Keberatan RW
Memasuki pukul 15.00, Mas Gal mendapat rentetan telepon dari staf Disbudpar yang memberitahukan bahwa acara harus segera dihentikan. Tidak hanya itu, datangnya seseorang yang mengaku ketua RW pun membuat pelik permasalahan.
Pria yang mengaku sebagai RW itu mengatakan bahwa acara harus selesai pada pukul 15.00, sesuai dengan informasi dari Sekretaris Dinas Disbudpar.
Selain itu, Ketua RW merasa dilangkahi ketika ada kegiatan acara di Museum Kota Bandung. Walaupun Museum Kota Bandung adalah gedung pemerintah, tetap harus melakukan izin Ketua RW.
Mas Gal menyayangkan adanya intervensi pihak ketiga untuk membubarkan acara. Seharusnya Disbudpar Kota Bandung bisa langsung mendatangi acara.
Penggembokan Museum Kota Bandung
Hari semakin larut, Mas Gal mengira alasan RW tersebut datang karena gedung museum bersebelahan dengan pemukiman warga. Bahwa ada warga yang mengeluh bising dari acara konser.
Padahal menurut Omtris, suara yang dihasilkan musik akustik tersebut sangat kecil. Apalagi perhelatan acaranya pun di dalam ruangan, bukan di luar gedung museum.
“Lagian kalo dibilang berisik enggak. dari luar itu enggak kedengeran. Karena stelan akustiknya kedap, dan sound akustikanya tuh disetting enggak teralalu gede,” bantah Omtris.
Tidak berselang lama, Sekdis yang berkoordinasi dengan Satpam memerintahkan untuk membubarkan acara dan menggembok gedung. Akan tetapi, Mas Gal melobi kembali agar gedung tidak dulu dikunci sebab masih banyak peralatan di dalam gedung. Akhirnya menjelang maghrib acara selesai dengan menyisakan enam seniman yang belum tampil.
Penjelasan Disbudpar Kota Bandung
BandungBergerak mengkonfirmasi peristiwa ke Disbudpar Kota Bandung. Perwakilan Dispubdar terdiri dari Aceng Ismatuloh, Pamong Budaya Ahli Muda Bidang Kesejarahan; Ratnarahayu Pitriyati, Plt. Kepala Bidang Kajibud; Garbi Cipta Perdana, Analis Cagar Budaya dan Koleksi Museum; dan Indra Wijaya, Staf Administrasi Perkantoran berusaha menjelaskan duduk perkara.
Indra mengatakan bahwa sebelum terselenggaranya acara, dia sudah mewanti-wanti agar acara selesai pada pukul 15.00, sesuai dengan dasar dan ketentuan yang berlaku.
“Saya sudah sampaikan terkait prosedur dan aturan dan lain-lain, kan dari panitianya sendiri saya sudah sampaikan sampai jam 3. Dan mereka mengiyakan,” ujarnya, di ruang rapat Disbudpar Kota Bandung, Rabu, 5 Februari 2025.
Aceng juga menegaskan bahwa dalam peminjaman aula di Museum Kota Bandung tidak ribet. Para panitia hanya mengirimkan surat peminjaman dan proposal acara untuk nantinya dikurasi apakah kegiatan tersebut sesuai dengan kebudayaan atau pariwisata.
“SOPnya itu tidak terlalu ribet. Hanya istilahnya mereka mengajukan permohonan, kemudian melampirkan proposal kegiatannya, supaya kita tahu, apa sih tema kegiatanya apakah berhubungan dengan kebudayaan dan pariwisata di Kota Bandung,” tutur Aceng.
Ratnarahayu Pitriyati juga turut menjelaskan terkait perizinan. Menurutnya, dalam keterangan surat yang diberikan panitia ke Disbudpar tertanggal 20 Januari. Tetapi panitia mengirimkan suratnya tersebut pada tanggal 27 Januari, bertepatan dengan hari cuti nasional.
Seharusnya, menurut Ratna dalam aturan yang berlaku, masyarakat yang hendak meminjam fasilitas museum harus mengirimkan surat perizinan dan ToR h-7 sebelum pelaksanaan acara. Dia juga menilai ada dua pelanggaran yang dilakukan panitia. Pertama menyoal pengiriman surat. “Hari libur itu tentu tidak ada proses administrasi,” tuturnya.
Kedua terkait batas waktu yang dilanggar panitia dari waktu yang sudah tentukan, yaitu maksimal sampai pukul 15.00 sore. “Karena ini fasilitas publik, bukan fasilitas privat, yang tentu ada syarat dan ketentuan yaitu di mana diizinkan sampai jam 3 sore,” ungkapnya. “Kemudian mengikuti jadwal operasional museum, itu yang menjadi kata kuncinya.”
Soal keberatan dari pihak RW setempat, Aceng menegaskan bahwa seharusnya memang panitia meminta izin ke wilayah. “Saya selalu berbicara seperti itu. jadi sebelum mengizinkan itu harus menempuh izin ini itu dulu,” jelasnya.
Indra menambahkan, setiap ada acara yang meminjam tempat di bawah naungan Disbudapar dan acara itu sampai malam, harus memiliki izin dulu dari perangkat warga. Karena acara saat itu Indra kira akan selesai pada pukul 15.00, Indra hanya menegaskan untuk menjaga keamanan saja.
Baca Juga:Musik dari Orang-orang Muda Bandung Membela Dago Elos
Agar Musik Klasik Indonesia tak Terpinggirkan
Pegiat Musik Bandung Tuntut Keterbukaan Informasi tentang Konser
Perayaan hari musik balada ini sudah berlangsung sejak lama. Bahkan pada tahun sebelum masa pagebluk, Manjing Manjang pernah mengadakan acara live musik di taman sejarah Kota Bandung yang masih satu wilayah dengan Museum Kota Bandung. Acara waktu itu menurut Omtris dihadiri oleh mendiang Wali Kota Bandung Oded Muhammad Danial dan acaranya berlangsung hingga pukul 23.00 malam. Suasana acara lebih bising ketimbang di aula Museum Kota Bandung. Tetapi saat itu tidak ada pembubaran, palagi ada pihak ketiga yang mengintervensi.
“Justru disambut dulu mah ku Pak Oded dan Pak Yana malah didukung dan didorong,” terangnya. “Bahkan Pak Oded menjanjikan bahwa sok nanti mah ekonominya dibantulah. Tapi (Oded) kabujeng meninggal.”
Omtris menyayangkan Kota Bandung yang dianggap sebagai kota seniman tidak memiliki gedung kebudayaan tersendiri. Menurutnya jika ada gedung kebudayan maka tidak ada pembatasan waktu. Adapun gedung Mayangsunda, Omtris menyebut gedung tersebut khusus kesenian tradisi.
Padahal, menurut Omtris kebebasan dalam berkreativitas sudah diatur dalam Undang-Undang (UU) Nomor 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan, di mana negara harus memberikan ruang berekspresi bagi para seniman. Dia juga berharap Pemerintah Kota Bandung menyediakan ruang berkesenian yang dikelola langsung oleh para seniman.
“Jadi kieu maksudna, pemeliharaan mah tanggung jawab pemkot, tapi pengelolaan mah diatur ku seniman. Da nu namina seniman mah paling alim diatur,” terangnya. Di sisi lain juga, Omtris sebagai orang yang aktif berkesenian musik balada merasa dianaktirikan oleh pemerintah.
“Asa dicul ken abi mah ku Kota Bandung mah. Hirup heug, dek paeh ge kajeun. Da mana sok perhatianana,” keluhnya. Padahal menurutnya, musik balada juga berkontribusi setiap menyelenggarakan acara. Misalnya berkontribusi pada pendapatan asli daerah (PAD) Kota Bandung.
“Misalna kieu, barudak balada bikin acara, ngundang weh di Banjaran atau Tanjung Sari atau di mana weh. Daratang weh marawa umat, entah itu maleuli cai atau emameun. Artinya eta kan satu PAD buat Kota Bandung,” jelasnya.
Dia pun berharap agar pemerintah bisa memperhatikan lagi seniman balada, termasuk para seniman yang tergabung pada komunitas-komunitas kecil di Kota Bandung. “Pandanglah kami, eksistensi kami tuh bukan leleutikan Manji Manjang sejarahna panjang, di tahun 2000an,” tutup Omtris.
Ruang Raung
Bandung kota yang banyak mendaku. Kota Kreatif, Smart City, Kota Musik, Kota Seniman, dan seterusnya. Ketika kota ini dipimpin Plt Wali Kota Bandung Yana Mulyana, di acara Bandung Music Award di Bandoengsche Melk Centrale (BMC), 7 April 2022, muncul Bandung Kota Musisi. Klaim ini disampaikan Yana Mulyana karena Kota Bandung merupakan kota yang kreatif dalam berbagai hal, terutama bidang musik.
Sayang, klaim tersebut tidak ditopang dengan keberadaan ruang-ruang untuk para musisi menampilkan karyanya secara leluasa, tak terbatas waktu, birokrasi, dan gangguan sebagaimana dialami komunitas musik balada Manjing Manjang. Bisa dibilang, Bandung sudah sangat lama mengalami krisis ruang musik.
Padahal, banyak musikus maupun band berbagai genre yang berkiprah di Bandung kemudian menyandang nama besar, baik di masa lalu maupun di era kekinian. Sebut saja The Rollies, band yang dibentuk tahun 60-an, hingga Peterpan atau Noah yang meledak di era 2000-an. Di ranah-ranah subkultur Kota Kembang melahirkan band-band underground yang namanya masih terus berkibar hingga kini. Sebut saja Puppen hingga Burgerkill.
Menurut penelitian Hamid Shirvani, Yessica Geovani Basoeki, Nova Chandra Aditya dari Program Studi Arsitektur Fakultas Teknik dan Ilmu Komputer Unikom, pada tahun 2015 UNESCO mengumumkan bahwa Kota Bandung masuk ke dalam kategori kota kreatif dari 47 kota di seluruh belahan dunia.
Namun energi besar musik Kota Bandung terus diredupkan dengan ketiadaan ruang yang sudah sering diraungkan oleh para pecinta musik maupun musikusnya sendiri. Seniman yang juga dosen Fakultas Ilmu Seni dan Sastra Universitas Pasundan (FISS Unpas) Budi Setiawan atau akrab disapa Budi Dalton mengatakan, Bandung belakangan ini tidak memiliki ekosistem musik yang kuat. Padahal Bandung sudah sangat inklusif untuk disebut Kota Musik, mulai dari adanya sekolah musik, pegiat musik, studio rekaman, toko alat musik, produsen alat musik. Tetapi dari ekosistem ini ada yang kurang, yaitu tempat mengekspresikannya, panggungnya.
“Tempat mengekspresikannya tidak ada. Semua ini harus dijadikan ekosistem di Bandung, sehingga musik bisa jadi pendapatan daerah dan Bandung bisa diklaim sebagai Kota Musik,” jelas Budi Dalton.
Ketiadaan ruang musik yang inklusif di Kota Bandung memicu bom waktu, bahkan tragedi. Tanggal 9 Februari 2008 malam, gempita konser musik peluncuran album baru band metal Beside di Gedung Asia Africa Cultural Center (AAC), sekarang De Majestic, di Jalan Braga, berubah jadi tragedi. Sebelas orang meregang nyawa. Insiden yang dikenal dengan istilah Sabtu Kelabu atau Tragedi AACC ini merupakan luka besar yang berdampak panjang pada jagat musik Bandung.
Tragedi AACC tidak lepas dari minimnya ruang pertunjukan musik di kota ini. Tentang pemilihan Gedung Asia Africa Cultural Center sebagai lokasi pentas Beside, Kimung menyebutkan awalnya panitia menaksir amfiteater Dago Tea House, namun urung karena tempat tersebut ditutup untuk umum oleh pemerintah yang mendengar protes warga sekitar.
Beside sendiri, meski merupakan salah satu band pionir Ujungberung Rebels, memprediksi penonton tidak akan lebih dari 500 orang. “Dalam pikiran Beside, mereka bukanlah band besar seperti Burgerkill yang massanya ribuan. Ditambah lagi, ini adalah peluncuran album perdana mereka,” tulis Kimung.
Sebuah fakta yang tidak terbantahkan dari insiden Sabtu Kelabu atau Tragedi AACC pada 9 Februari 2008 itu adalah jumlah penonton yang jauh melampaui kapasitas gedung. Disebut, yang hadir malam itu sedikitnya ada 1.500 orang. Padahal, kapasitas Gedung AACC hanya sekitar separuhnya.
Pascatragedi AACC, ruang gerak aktivitas kreatif orang-orang muda Bandung di bidang musik justru terasa semakin menyempit. Apalagi di hari insiden itu beredar isu tentang pesta miras (minuman keras) yang dikabarkan disediakan secara sengaja oleh panitia lewat botol-botol plastik kemasan. Tidak sedikit media memuat rumor itu, membuat para pegiat musik, terutama musik metal, betul-betul geram. Mereka merasa disudutkan, dengan semua kesalahan ditimpakan pada mereka.
Untuk meluruskan informasi ngawur seperti itu, para pegiat musik Bandung berkumpul, menggelar konferensi pers, dan kemudian menyebarkan pernyataan bersama. Di bawah payung Solidaritas Independen Bandung, pada 10 Februari 2008 mereka menerbitkan pernyataan bersama menyikapi insiden Sabtu Kelabu atau Tragedi AACC.
Disebutkan bahwa insiden ini sebaiknya menjadi pekerjaan rumah bersama. Tak terkecuali pemerintah. Salah satu isu krusial yang disodorkan adalah minimnya ruang-ruang publik di Kota Bandung.
“Kota Bandung sudah selayaknya memiliki fasilitas publik yang dapat mengakomodasi energi kreatif yang berkembang di kota ini secara aman,” kata Solidaritas Independen Bandung.
Ketiadaan ruang pertunjukan musik juga menjadi sorotan Irfan Muhammad, penulis buku Bandung Pop Darlings. Pemerintah, ya siapa lagi kalau bukan pemerintah, mestinya mampu membaca fenomena kegemaran bermusik warganya.
Contoh, kata Irfan, gairah musik orang-orang muda Bandung dapat dilihat di era Saparua yang menampilkan band-band rock 60-an. “Tiga dekade lebih Saparua menjadi Mecca. Menjadi saksi dari besarnya energi anak muda Kota Bandung pada nilai-nilai musik bawah tanah. Ini adalah letupan yang bukan datang kemarin sore,” tulis Irfan.
Irfan menceritakan laporan dari zine Totalokal, Pei, penggagas kolektif skate Neverland yang pernah tinggal di Jerman membandingkan Saparua dengan venue di negara di Eropa Barat itu. Di Jerman sekali pun, tidak ada venue sebesar Saparua untuk kancah musik independen.
Namun, Irfan menyesalkan, Saparua di kemudian hari mesti mengakhiri kisahnya sebagai venue legendaris. Penyelenggaraan panggung musik pun beralih. Setidaknya di zaman saya SMA, sekitar tahun 2006-2008, pilihan menonton gigs adalah di Dago Tea Huis, 18 Park Jalan Riau, CCF yang kini dikenal sebagai IFI buat skena pop, dan AACC.
Sejak itu hingga sekarang, Irfan menuturkan, tempat-tempat konser musik di Bandung terus menciut di tengah pertanyaan "pada ke mana nih band Bandung?". “Pertanyaan ini mengacu pada romantisme skena musik bawah tanah tahun 90-an yang menempatkan Bandung sebagai katalis dari kancah nasional. Kala itu, Pas Band, Pure Saturday, dan Puppen dianggap pionir sebagai band independen yang menyanyikan lagunya sendiri dan melangkah lebih jauh lagi dengan merekam dan menjual albumnya secara mandiri. Hal yang belum terpikirkan oleh banyak pelaku kancah lain saat itu,” cerita Irfan.
Irfan lalu membandingkan ekosistem musik di Bandung yang tertinggal oleh Jakarta. Menurutnya, ada banyak problem mendasar yang membuat eksposur pada band-band baru dari Bandung tidak terlalu kentara. “Sangat banyak band-band baru dari Bandung dengan berbagai macam keunikannya yang merilis musik. Kendalanya, menurut saya, itu tadi: ruang tampil,” kata Irfan.
Di Jakarta, lanjut Irfan, ia menghelat gigs udunan bareng teman-teman Jakarta untuk tempat kecil seperti di Kios Ojo Keos dengan cukup hanya mempersiapkan uang untuk sewa sound dan biaya pengangkutannya, juga uang perawatan yang tidak besar kepada Kios Ojo Keos sebagai pemilik tempat. “Tidak ada istilah izin keramaian dan pungli dari kelompok masyarakat sekitar di situ,” katanya.
“Sementara saat saya di Bandung. Waktu masih aktif buat gigs di sebuah cafe di kawasan Burangrang sekitar 2012-2014, estimasi untuk izin keramaian bisa mencapai Rp 2.000.000. Ini bukan pungli ya, karena memang begitu prosedurnya. Untuk hari ini, berapa biaya izin tersebut saya tidak tahu,” cerita Irfan.
*Kawan-kawan yang baik bisa membaca tulisan-tulisan lain dari Yopi Muharam, atau artikel-artikel lain tentang Musik Bandung