ESAI TERPILIH MARET 2025: tentang Stigma Pejalan Kaki, Cinta Malam Lebaran, Study Tour, dan Kemunduran Demokrasi
Ada 31 esai yang tayang di BandungBergerak sepanjang Maret 2025. Empat esai terpilih membahas beragam persoalan yang mencuat di masyarakat.

Tim Redaksi
Awak Redaksi BandungBergerak.id
17 April 2025
BandungBergerak.id - Sepanjang 1-31 Maret 2025 kami telah menayangkan 31 esai kiriman dari KawanBergerak. Sebagian tulisan di antaranya kiriman dari mahasiswa dalam tajuk Mahasiswa Bersuara. Kepada para penulis yang mempercayakan tulisannya dimuat di laman BandungBergerak kami sampaikan terima kasih sedalam-dalamnya. Karya kawan-kawan amat mewarnai laman BandungBergerak.
Seluruh tulisan yang masuk ke BandungBergerak memiliki ragam tema dan gaya penulisan dengan berbagai sudut pandang dan argumentasi masing-masing. Kami yakin semua tulisan memperkaya khasanah literasi ataupun ilmu pengetahuan dari sudut personal para penulis.
Sekarang, seperti bulan-bulan sebelumnya, kami umumkan Esai Terpilih Maret 2025. Sebelumnya kami kembali menekankan bahwa pengumuman Esai Terpilih bulanan BandungBergerak bukan ajang pemilihan esai terbaik yang terkesan ingin menafikan esai-esai lainnya, sebab seluruh tulisan yang masuk ke BandungBergerak.id memiliki kelebihan masing-masing.
Ada empat Esai Terpilih Maret 2025, berikut ini sedikit ulasannya:
Stigma Kere yang Melekat pada Pejalan Kaki di Indonesia, Bukti Gagalnya Pemerintah!
Esai ini ditulis Aditya Ikhsan, pegiat mobilitas berkelanjutan dari Koalisi Pejalan Kaki Surabaya. Menurut Aditya, selain bisa menghemat uang, jalan kaki dan naik transportasi umum juga bisa bikin kita lebih dekat dengan kota yang kita tinggali. Seperti pengalaman saya, pernah menemukan sebuah bangunan sejarah bekas rumah sakit peninggalan Hindia Belanda, toko buku, hingga warung pecel yang kini jadi langganan. Padahal saya sering lewat sana naik motor, tetapi baru tahu saat saya sering jalan kaki.
“Tetapi segudang manfaat yang ditawarkan saat jalan kaki, hari-hari ini begitu berat untuk dinikmati. Karena kenyataannya, menjadi pejalan kaki di Indonesia masih begitu sulit. Seperti baru melangkah beberapa meter keluar gang kampung, terdengar suara celetukan dari tetangga. Katanya, “Ngapain jalan kaki, kayak orang kere (miskin) saja. Gak kasihan sama motormu di rumah tah.”,” tulis Aditya.
Tentang Cinta dan/atau Perbudakan pada Malam Lebaran
Esai ini ditulis Sekar Ardynia, seorang pekerja kreatif paruh waktu, tinggal di sebuah kampung kecil di Bandung Raya. Tulisan ini adalah seruan protes yang tajam terhadap represi negara pada warganya yang kritis, dibungkus dalam bahasa puitis dan emosional. Ia berbicara tentang luka-luka sosial dan politik yang tak ikut sembuh saat takbir berkumandang di malam lebaran.
Di tengah suasana Lebaran yang seharusnya penuh kedamaian, penulis mengingatkan bahwa banyak warga masih memanggul ingatan tentang gas air mata, pemukulan, dan intimidasi. Narasi “damai” dan “persatuan” dikritik sebagai alat yang dipakai negara untuk membungkam, bukan menyembuhkan. Maaf diminta tanpa pengakuan kesalahan. Rekonsiliasi dijadikan dekorasi belaka, sementara aparat terus menindas mereka yang bersuara.
Di sini, “maaf” bukan jalan menuju keadilan, tapi mekanisme pelupaan paksa. Penulis menolak ide bahwa perasaan harus dibersihkan demi menjaga suasana. Karena suasana yang dipaksakan tanpa keadilan hanya menghasilkan ketakutan yang berulang.
Di akhir, penulis menyatakan bahwa menggugat adalah bentuk cinta pada negeri. Karena cinta yang terus disakiti tapi diminta tetap tersenyum, bukanlah cinta, melainkan perbudakan. Lewat ingatan dan perlawanan, tulisan ini menegaskan bahwa bangsa tak akan benar-benar merdeka jika suara warganya terus dibungkam—dan sejarah perlahan dilupakan.
Study Tour dan Logika Drama Sang Gubernur
Esain ini ditulis Cecep Burdansyah, penulis fiksi dan nonfiksi. https://bandungbergerak.id/article/detail/1598869/study-tour-dan-logika-drama-sang-gubernur Ia menyoroti pelarangan study tour di sekolah-sekolah sebagai niat baik dari Gubernur Jabar Dedi Mulyadi. Berangkat dari keluhan sebagian orang tua murid yang merasa terbebani finansialnya, Dedi langsung membuat keputusan pelarangan, dengan anggapan study tour hanya piknik yang kurang manfaatnya.
Tetapi seperti sebuah pepatah, niat baik kalau caranya salah, tidak akan menghasilkan kebaikan, malah menimbulkan masalah baru. Dalam membuat keputusan, Dedi tidak menerapkan teknis prinsip negara hukum, dengan mengajak berunding atau minimal bertanya pada aparat Dinas Pendidikan Jabar, kabupaten, dan kota, pihak sekolah (guru, kepala sekolah, dan komite). Mereka adalah pihak yang layak didengar dan dipertimbangkan suaranya terkait urgensi study tour. Atau kalau mau menerapkan teknik yang lebih akurat, bisa melakukan survei berapa orang tua murid yang ada di tiap sekolah yang tergolong mampu finansialnya, dan berapa yang lemah finansialnya. Lalu disurvei juga, berapa orang orang tua yang setuju dan memandang study tour ada manfaatnya dan yang tidak setuju. Juga disertakan radius paling jauh dari sekolah.
Baca Juga: ESAI TERPILIH FEBRUARI 2025: Tentang Darurat Militer, Jamet untuk Anak Kabupaten Bandung, dan Ganja Medis
ESAI TERPILIH JANUARI 2025: Startup Gulung Tikar, Rambut Gondrong, dan Kenaikan PPN
ESAI TERPILIH OKTOBER 2024: Dari Kritik Populisme Politik, Misteri Nabi Adam AS, hingga Pembenahan Sistem Pendidikan Indonesia
MAHASISWA BERSUARA: Demokrasi yang Mundur, Saat Kekuasaan Kembali ke Laras Senjata
Esai ini ditulis Salman Setyawan, mahasiswa salah satu sekolah tinggi hukum di Bandung. Ia mengingatkan bahwa kekuasaan yang terlalu besar di tangan militer selalu berujung pada represi. Reformasi 1998 bukan sekadar pergantian rezim, tetapi sebuah pernyataan tegas bahwa Indonesia menolak supremasi militer dalam politik dan pemerintahan.
“Lahirnya UU No. 34 Tahun 2004 menjadi bukti bahwa kita tidak ingin lagi hidup di bawah bayang-bayang dwifungsi ABRI –di mana tentara bukan hanya menjaga keamanan, tetapi juga ikut mengatur kehidupan sipil,” tulis Salman.
Tapi kini, lanjut Salman, dua dekade setelahnya, kita justru melihat gerak mundur. Alih-alih memperkuat profesionalisme TNI sebagai alat pertahanan negara, Revisi UU TNI ini malah memperluas peran mereka ke dalam sektor-sektor sipil, menghidupkan kembali praktik yang dulu sudah kita kubur. TNI bukan hanya menjaga keamanan, tetapi juga akan hadir di 14 sektor pemerintahan. Pertanyaannya sederhana: untuk apa?
Demikian sedikit kilasan empat Esai Terpilih bulan Maret 2025. Esai kiriman dari kawan-kawan menegaskan bahwa sampai saat ini tulisan masih menjadi medium tepat untuk menyampaikan gagasan ataupun kritik. Khusus bagi BandungBergerak.id, esai-esai kiriman para penulis adalah dukungan yang sangat berarti untuk keberlangsungan demokrasi, kebebasan berekspresi dan beropini, khususnya pengungkapan opini-opini kritis ke hadapan publik.
Selanjutnya, komunitas BandungBergerak, KawanBergerak akan menghubungi para penulis Esai Terpilih untuk mengatur pengiriman sertifikat dan kenang-kenangan. Seluruh biaya pengiriman ditanggung oleh BandungBergerak. Bisa juga para penulis berinisiatif menghubungi akun Instagram KawanBergerak atau nomor telepon 082119425310.
Kami menunggu kiriman esai-esai bermutu dari kawan-kawan semua. Esai bisa dikirim ke [email protected]. Mari terus menulis, terus berdampak! Sesekali, mari mengkritik!
*Esai Terpilih BandungBergerak.id dapat disimak di tautan ini