JEJAK KAUM NASIONALIS DI BANDUNG (7): Pertemuan Terbuka PNI Afdeeling Bandung
PNI Bandung mengkritik polisi yang bertindak sewenang-wenang pada Pribumi.
Hafidz Azhar
Penulis esai, sejak September 2023 pengajar di Fakultas Ilmu Seni dan Sastra Universitas Pasundan (Unpas), Bandung
30 Oktober 2021
BandungBergerak.id - Tanggal 7 Juli 1929, PNI afdeeling Bandung menggelar Openbare Vergadering di bioskop Empress. Acara ini bertepatan juga dengan usia Partai Nasional Indonesia yang sudah menginjak dua tahun. Sejak pukul 6 pagi 30 orang telah berkerumun di depan bioskop. Hal ini dikarenakan sang pemilik tempat menerima perintah dari aparat polisi agar pintu dibuka pada pukul 8 pagi.
Setelah pintu dibukakan, orang-orang berbondong-bondong masuk ke dalam bioskop. Sebanyak 2.800 orang menghadiri acara ini. Tidak semua orang bisa masuk ke dalam pertemuan ini, kebanyakan dari mereka berdiri di pekarangan, di pinggiran jalan, dan di belakang bioskop (Banteng Priangan 20-30 Juli 1929).
Sorak sorai terdengar ketika Sukarno dan Iskaq tiba di tempat acara. Pukul setengah 10 pertemuan dibuka oleh Maskoen. Setelah itu ketua menjelaskan alasan digelarnya vergadering, apa saja yang akan dibahas dalam vergadering ini, dan juga menjelaskan terkait harapannya agar seluruh bangsa Indonesia masuk dalam dunia pergerakan dan memperoleh kemerdekaan.
Lalu Iskaq maju untuk tampil ke depan. Dengan berdiri di hadapan para hadirin ia menerangkan tentang hak dan kewajiban polisi. Iskaq menjelaskan jika kiprah polisi sudah berjalan di Yunani sejak beberapa abad yang lalu. Menurut Iskaq polisi mempunyai beberapa tugas dalam mengurus negara. Iskaq membandingkan tugas polisi pada zaman dahulu dengan polisi di masa Hindia Belanda. Menurutnya, polisi di zaman dulu tidak mempunyai kewenangan lebih dominan daripada raja, dan ini mungkin sangat berbeda dengan apa yang ditunjukkan polisi di masa Hindia Belanda.
Kemudian Iskaq juga membagi dua karakter yang melekat pada polisi, yaitu Welvaarts politie dan Veiligheids politie. Welvaarts politie berkewajiban untuk memajukan kehidupan masyarakat. Sedangkan Veiligheids politie bertugas sebagai penjaga ketertiban. Iskaq juga mengartikan polisi ke dalam dua jenis. Pertama, Preventieve politie, yakni, menjaga agar tidak ada kejadian bahaya dan keributan lainnya. Yang kedua, Repressievepolitie, yaitu sebagai pihak yang diberi tugas untuk menangkap dan mencari keterangan setelah terjadi keributan (Banteng Priangam 20-30 Juli 1929).
Dengan diberinya dua mandat tersebut, polisi mempunyai hak untuk menggeledah ke rumah-rumah. Namun, bagi Iskaq, hak seperti itu tentu berbeda jika dibandingkan dengan sistem di Hindia Belanda. Berdasarkan artikel 159 dalam Groundwet dinyatakan bahwa siapa saja dilarang untuk masuk ke dalam rumah orang kecuali sudah diberikan izin. Hal ini tentu berlaku juga bagi pihak polisi. Akan tetapi, artikel tersebut tidak muncul di Indonesia kala itu. Iskaq menilai jika aturan itu hanya berlaku bagi orang Belanda yang ada di Indonesia. Dalam arti, aturan itu tidak diperuntukkan bagi kaum Pribumi. Sehingga aparat polisi sewaktu-waktu bisa menggeledah rumah-rumah milik orang Pribumi.
Sampai di situ riuh tepuk tangan terdengar dari para hadirin. Sebab uraian yang disampaikan Iskaq merupakan kritik terhadap aparat yang telah berbuat sewenang-wenang. Iskaq kemudian menjelaskan tentang perbedaan perkara yang diberlakukan bagi orang Belanda dan rakyat Pribumi. Kendati merujuk pada artikel 162 St. R yang berisi perlindungan terhadap semua orang, pada kenyataannya masih ada aparat yang melakukan kekerasan kepada kaum Pribumi tanpa terlihat oleh saksi selain korban. Bahkan untuk perkara penahanan, orang Belanda hanya menghabiskan tiga hari sampai diperiksa di pengadilan. Tetapi bagi bangsa Pribumi, perkara tersebut bisa menghabiskan waktu berbulan-bulan untuk sampai di pengadilan.
“Noeroetkeun kaajaan hal nahan djelema di dieu katjida pisan bedana, toer aja artikel 162 St. R noe mere perlindoengan ka oerang. Oge dina mariksa sakitan sok loba anoe make kakerasan teunggeul, ngan bae hal ijeu hese pisan diboektikeunana, lantaran osok “di bawah ampat mata”. Oepama oerang walanda boga perkara paling kendor dina djero 3 powe perkarana koedoe geus dipariksa di pangadilan. Tapi ari bangsa oerang mah loba pisan anoe tepi ka boelanan ditahan (Mengacu pada persoalan menahan orang di sini kondisinya begitu berbeda, dan ada artikel 162 St. R yang memberikan perlindungan kepada kita. Juga dalam memeriksa banyak yang menggunakan kekerasan dengan pukulan, tetapi masalah ini susah untuk dibuktikan, karena sering berada “di bawah empat mata”. Seumpama orang Belanda punya masalah, paling lama dalam waktu 3 hari perkara itu harus segera diperiksa di pengadilan. Tetapi kalau bagi bangsa Pribumi banyak sekali yang ditahan sampai berbulan-bulan) (Banteng Priangan 20-30 Juli 1929).
Setelah pidatonya memancing tepuk tangan yang meriah dari para hadirin, Iskaq kemudian menutupnya dengan sebuah seruan. Katanya, “Kita harus menghilangkan hal-hal yang kurang sempurna ini. Bukan dengan jalan meminta-minta melainkan oleh tenaga sendiri” (Banteng Priangan 20-30 Juli 1929).
Baca Juga: JEJAK KAUM NASIONALIS DI BANDUNG (1): Bermula dari Studieclub Bandung
JEJAK KAUM NASIONALIS DI BANDUNG (2): Dari Rumah Tjipto Mangoenkoesoemo ke Regentsweg 22
JEJAK KAUM NASIONALIS DI BANDUNG (3): Partai Nasional Indonesia Afdeeling Bandung
JEJAK KAUM NASIONALIS DI BANDUNG (4): Pergerakan PNI dalam Pengawasan Pemerintah Kolonial
JEJAK KAUM NASIONALIS DI BANDUNG (5): Kursus PNI di Bandung
PNI bagi Rakyat yang Sengsara
Selanjutnya Gatot maju ke depan. Sebagai sekretaris PNI afdeeling Bandung, ia tampil di depan hadirin dengan sambutan yang tak kalah meriah. Di tengah kemeriahan itu ia menyampaikan kondisi dan tujuan PNI. Ia menjelaskan bahwa pengaruh PNI di Priangan begitu besar. Karena semua kesengsaraan yang telah dijelaskan oleh para pemimpin PNI dirasakan juga oleh masyarakat di pedesaan.
Menurutnya PNI bukan dibuat untuk satu atau dua orang pemimpin, namun PNI dibentuk atas keinginan rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat, terutama bagi rakyat yang sengsara. Ia juga menjelaskan bahwa PNI tidak membeda-bedakan agama, pangkat dan derajat. Bahkan menurutnya PNI menjunjung tinggi nilai-nilai agama karena mempunyai spririt perjuangan (Banteng Priangan 20-30 Juli 1929).
Setelah riuh tepuk tangan yang diberikan hadirin untuk pidato Gatot, giliran perwakilan dari Lembang, Padalarang, Rancaekek dan empat resor dari Bandung unjuk bicara. Semua utusan tersebut terdiri dari kaum perempuan. Mereka menunjukkan semangat tak gentar untuk sama-sama maju melawan imprealisme asing.
Sampai semua utusan Sikandi itu selesai berbicara, pimpinan pertemuan yang semula diambil alih oleh Maskoen kemudian diberikan kepada Sukarno. Sukarno mengulang kembali seruannya untuk terus bersatu. Baik untuk para pengurus PNI maupun bagi seluruh bangsa Pribumi. Pukul 2 siang pertemuan terbuka ini ditutup. Ribuan orang yang hadir lalu berhamburan meninggalkan Bioskop Empress.