• Kampus
  • UPI Mengupas Jam Matahari, Itenas Kaji Kearifan Lokal

UPI Mengupas Jam Matahari, Itenas Kaji Kearifan Lokal

Di masa lalu nenek moyang memanfaatkan fenomena alam untuk mengetahui pergantian waktu.

Human Sundial Park di Gedung Museum DIKNAS UPI Kampus UPI Jalan Dr. Setiabudhi, Bandung, diresmikan Kamis (4/11/2021). (Dok. UPI)

Penulis Iman Herdiana9 November 2021


BandungBergerak.idSundial atau jam matahari merupakan sebuah kearifan lokal yang lahir sejak zaman nenek moyang. Melalui jam matahari, nenek moyang mendidik anak-anaknya supaya sadar akan pergantian waktu.

Menurut Kepala Museum Pendidikan Nasional Universitas Pendidikan Indonesia (Museum Diknas UPI) Lely Yulifar, jam matahari juga menunjukkan kejeniusan nenek moyang dalam mengamati fenomena alam.

“Jam matahari bisa memberikan kesadaraan tentang waktu. Orang tua berpatokan pada waktu terkait dengan bagaimana mendidik anak-anaknya, ini saya pernah alami pada masa kecil,” katanya, seperti dikutip dari laman UPI, Selasa (9/11/2021).

Contoh kearifan lokal lainnya terkait waktu, lanjut Lely Yulifar, orang tua di masa lalu kerap memerintah anaknya agar segera masuk rumah ketika waktu memasuki maghrib. Orang tua mengingatkan tentang adanya Sandekala, yaitu sesuatu yang menakutkan dan berbahaya.

“Dalam mitos masyarakat Sunda itu (sandekala) adalah sejenis bangsa jin, datang ketika pergantian sore dan malam untuk mengganggu anak kecil yang masih bermain di luar rumah. Dengan demikian, orang tua dengan sigap menyuruh anak-anaknya untuk segera masuk ke dalam rumah,” tuturnya.

Namun, ungkapnya lagi, jika dilihat dari kaca mata science atau keilmuan, waktu-waktu di sore hari menjelang maghrib atau pergantian sore dan malam, ada angin yang berhembus kencang yang membawa virus, dan akan menjadi penyakit jika terpapar kepada tubuh kita yang sedang lemah.

“Berdasarkan beberapa sudut pandang, baik itu dari segi kearifan lokal, agama, dan science itu klop. Informasi inilah yang ingin disampaikan kepada generasi muda, dimana mereka bisa berinteraksi dengan matahari menggunakan tubuhnya, dimana bayangan tubuhnya jatuh, sekaligus mereka belajar tentang rasi bintang,” jelasnya.

Human Sundial Park di Museum Diknas UPI 

Untuk membangun keterikatan historis antara masa kini dan masa lalu, UPI meresmikan Human Sundial Park di Gedung Museum Diknas UPI Kampus UPI Jalan Dr. Setiabudhi Nomor 229 Bandung, Kamis (04/11/2021). Sundial tersebut dibuat oleh Tim Sundial Museum DIKNAS UPI yang terdiri dari Lely Yulifar, Judhistira Aria, Arif Hidayat, dan Agus Susanto.

Lely menjelaskan, keberadaan human sundial park untuk meningkatkan nilai estetik dan integrasi histori dan sains dalam rangka menarik minat masyarakat untuk mengenal Museum Pendidikan Nasional.

“Museum ini bisa dimanfaatkan oleh semua golongan umur dan dari berbagai macam kalangan, tapi tentunya sekuelnya berbeda, educator museum nanti yang akan mengarahkannya. Ini juga sangat dekat korelasinya dengan Program Merdeka Belajar – Kampus Merdeka atau MBKM,” katanya.

Rektor UPI M. Solehuddin yang meresmikan jam matahari menegaskan bahwa UPI sedang melakukan revitalisasi museum dengan berbagai macam upaya. Pembangunan taman jam matahari menjadi salah satunya. Revitalisasi sebagai bentuk peningkatan eksistensi Museum Pendidikan Nasional dalam bidang iptek dan tempat rekreasi yang edukatif.

“Diharapkan kehadirannya melengkapi apa yang sudah dikoleksi oleh Museum Pendidikan Nasional. Saya melihat ini sangat penting, bisa menghubungkan kita dengan sejarah masa lalu tentang waktu. Sundial atau jam matahari merupakan alat sederhana penunjuk kiblat, diharapkan masyarakat dapat merasakan sensasi kembali ke zaman Yunani kuno (3500 SM),” harapnya.

Ia menjelaskan, keberadaan sundial park atau jam matahari ini terkait dengan keilmuan. Sekaligus pembuktian bahwa orang tua di masa lalu ternyata telah melakukan upaya yang luar biasa terkait kesadaran akan pentingnya waktu. Jam matahari sangat besar artinya dan besar manfaatnya pada masa itu.

“Ini juga menjadi salah satu daya tarik bagi masyarakat untuk mengunjungi museum dan menjadi sumber belajar hands on atau sifatnya langsung, para peserta didik bisa langsung mempelajarinya di lokasi,” tambahnya.

Baca Juga: PROFIL MATABUMI: Dari Kumpul Alumni ke Penjelajahan Bumi
Pergeseran Citra Ronggeng, dari Tokoh Spiritual Terhormat hingga Identik dengan Pelacuran
Pemahaman-pemahaman Keliru tentang Para Penyandang Disabilitas
Otonomi Masyarakat Adat sudah Ada Jauh sebelum Republik Indonesia Berdiri
Meredam Dampak Negatif Teknologi Digital dengan Permainan Tradisional

Kajian Kearifan Lokal di Itenas

Masih tentang kearifan lokal, kampus Institut Teknologi Nasional (Itenas), Bandung, menggelar Kuliah Umum Pembinaan Kesadaran Bela Negara (PKBN) pertemuan ke-7 melalui media Zoom Meeting. Narasumber pertemuan kali ini adalah Bondan Tiara Sofyan, Tenaga Ahli Pengkaji Bidang Sosial Budaya Lemhanas RI yang mengulas tema “Wawasan Nusantara dan Kearifan Lokal”.

Menurutnya, kearifan lokal di Indonesia terkait 3 hubungan, yaitu antara manusia dan manusia, manusia dan alam, dan manusia dengan Tuhan. Contohnya adalah bukti-bukti kearifan lokal seperti peringatan Larungan 1 Suro yang terkait dengan hubungan manusia dengan laut (alam);

Ada pula konsep leuweung larangan sebagai sistem hutan lindung di Baduy yang merupakan bukti hubungan manusia terhadap hutan (alam), dan juga budaya Tepo Seliro di Jawa, serta Makan Bajamba di Minang yang bertujuan untuk kekeluargaan (hubungan antara manusia dengan manusia).

Bondan pun mengajak mahasiswa Itenas untuk melestarikan kearifan lokal dan menjadikannya sebagai bagian dari upaya membangun Indonesia Negara adiluhur.  

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//