Membaca Bersama Roman Bukan Pasar Malam di Klab Belajar Merdeka
Klab Belajar Merdeka berusaha menjadi jembatan penghubung antara generasi terdahulu dan generasi Z melalui literasi.
Penulis Sarah Ashilah29 November 2021
BandungBergerak.id - Semenjak Covid-19 melanda Indonesia dalam waktu dua tahun ini, diskusi publik yang digelar komunitas di Bandung secara tatap muka jarang terdengar. Kalaupun ada, semuanya dilakukan serba daring yang penuh keterbatasan.
Dengan latar belakang tersebut, Klab Belajar Merdeka kembali menggelar diskusi. Kali ini, tema yang mereka usung tentang Tadarus Buku Pramoedya Ananta Toer berjudul Bukan Pasar Malam. Acara digerlar di warung kopi Huemai yang berlokasi di Balubur Town Square (Baltos) Lantai D1, Blok P-01, Minggu (28/11/2021).
Kegiatan ini terbuka bagi siapa saja yang ingin meresapi roman singkat kehidupan sosok pemuda yang diduga kuat Pramoedya Ananta Toer. Namun Klab Belajar Merdeka menargetkan diskusi ini bisa diikuti para generasi kekinian.
"Semoga dari Klab Belajar Merdeka ini, muncul betul inisiatif dari publik ya (untuk kembali mengkaji literasi). Kami mendefinisikan kata merdeka itu lewat bahan bacaan. Kajian awal kita mulai dari karya Pram, karena penggagas Klab Belajar Merdeka banyak terinspirasi oleh Pram," ujar Deni Rachman, membuka kegitan yang dimulai pukul 16.00 WIB dan dihadiri kurang lebih sepuluh orang peserta.
Deni Rachman lantas membacakan bab 1 buku Bukan Pasar Malam. Roman ini berkisah tentang seorang pemuda yang sedang bekerja di penerbit Balai Pustaka di Kota Jakarta, memutuskan untuk pulang kampung ke Blora setelah 25 tahun tidak menginjakkan kaki di tanah kelahirannya ini, demi mengunjungi ayahnya yang jatuh sakit.
Selama berada di kampung halamannya, si pemuda banyak dihadapkan gejolak realitas yang tidak pernah terbesit dalam benaknya sebelumnya. Bagaimana perbedaan pandangan dan pilihan jalan hidup antara si pemuda dan ayahnya, menjadi konflik utama dalam pergelutan batin si pemuda. Tetapi justru dari perbedaan-perbedaan inilah si pemuda semakin mengenal sosok ayahnya, di detik-detik terakhir hidup sang ayah.
Di masa lalu, ayah dari pemuda ini adalah seorang pegawai pemerintah Belanda yang ikut berjuang melawan kolonialisme Belanda dari pergerakan bawah tanah. Sebagian besar gaji ayah disalurkan untuk membiayai perlawanan bangsa Indonesia, alih-alih memperkaya kehidupannya sendiri.
Mirisnya, pengorbanan ayah si pemuda justru terabaikan begitu saja pada pascarevolusi. Sebagai seorang pejuang dan nasionalis sejati, menurut pandangan si pemuda, ayahnya seharusnya mendapatkan perawatan yang layak.
Kenyataannya, ketika negeri sudah menyatakan diri merdeka, ayahnya hidup menderita di dalam sebuah rumah reyot yang usang termakan waktu. Ayahnya mendapat perawatan seadanya di rumah sakit, dengan sikap perawat yang tak acuh, membuat penyakit TBC-nya kian memburuk.
Tetapi ayah si pemuda menerima kondisi yang dialaminya dengan sikap lapang dada. Hal ini membuat batin si pemuda semakin tecabik mengingat para penguasa negeri ini tengah asyik menghamburkan harta negara, kontras dengan ayahnya yang seorang nasionalis sejati dan harus teronggok tak berdaya menahan sakit dengan pelayanan yang tak layak.
Di tengah rasa sakitnya, si ayah tak lelah memberikan wejangan kepada si pemuda. Salah satunya, ayah mengingatkan si pemuda agar memaklumi sifat istrinya. Ayahnya paham betul akan adat istri si pemuda yang berasal dari luar Jawa Tengah.
Segala daya telah dilakukan agar ayah si pemuda kembali pulih. Tetapi tubuh tua itu tak lagi kuat menopang semangat kehidupannya dan akhirnya menyerah. Ayah meninggalkan dunia dengan menitipkan jiwa besarnya ke dalam relung hati ketujuh orang anaknya.
Sepanjang pembacaan buku setebal 112 halaman itu, diksi menangis yang muncul di dalam buku diucapkan oleh peserta tadarusan berulang kali. Tidaklah heran, karena isi dari roman ini memang dipenuhi pilu sejak awal bab hingga akhir.
Ojel Sansan Yusandi, seorang novelis yang salah satu bukunya adalah Portraits of Bad Religion, turut berpartisipasi dalam kegiatan ini dan membacakan kata demi kata dengan khidmat, sarat akan emosi.
Selain Ojel, hadir pula seniman pantomim Wanggi Hoed, yang di penghujung acara memanifestasikan saripati buku Pram ke dalam pertunjukkan pantomimnya.
Baca Juga: MEMORABILIA BUKU (12): Merayakan Pramoedya Ananta Toer di Bandung
Diskusi Film A Thousand Cuts: Yang Terjadi di Filipina, Terjadi Juga di Indonesia
Mendiskusikan Arok Dedes, Kisah Kudeta Pertama di Tanah Jawa
Tentang Klab Belajar Merdeka
Sophan Ajie, salah seorang penggagas Klab Belajar Merdeka menjelaskan awal mula terbentuknya klab diskusi tersebut yang berawal dari obrolan warung kopi antara dirinya bersama Dhoni Ariandhi, Deni Rachman, Ojel Yusandi.
Kala itu mereka berempat tengah membicarakan situasi sosial kultural dan politik yang kini terjadi di Indonesia, terutama di kalangan generasi Z. Menurut Ajie, anak-anak generasi Z semakin tidak mengenal identitas kebangsaan dirinya. Narasi-narasi local genuine kurang tersampaikan pada generasi muda ini.
Sophan Ajie mengaku terhenyak ketika menemukan kenyataan bahwa banyak dari generasi native digital ini tidak mengenal nama-nama pahlawan.
Arus informasi yang membludak, dengan kemampuan berpikir kritis yang semakin melemah di kalangan generasi Z juga merupakan landasan dari berdirinya Klab Belajar Merdeka. Diharapkan, dengan berjalannya Klab Belajar Merdeka secara konsisten, akan kembali menumbuhkan critical thinking dalam cara berpikir generasi Z.
"Ini bukan sebagai gerakan politik, melainkan sebuah pertemuan sosial dan budaya yang bisa dikatakan lintas generasi. Agar kita (generasi pendahulu generasi Z) juga bisa berkontribusi pada mereka. Klab Belajar Merdeka juga memfasilitasi semangat berkumpul yang tentunya tetap mempraktikkan prokes, juga memfasilitasi narasi-narasi identitas sosial di Indonesia," tutur Ajie.
Klab Belajar Merdeka ke depan akan direncanakan berjalan setiap dua minggu sekali dalam satu bulan.