• Berita
  • KMJ Unisba: Seni Jalanan sebagai Roh suatu Kota

KMJ Unisba: Seni Jalanan sebagai Roh suatu Kota

KMJ Unisba membedah seni jalanan sebagai medium kebebasan berekspresi. Seni jalanan bahkan mirip jurnalistik, yaitu teknik menyampaikan pesan atau kritik.

Diskusi Grafiti sebagai Bentuk Ekspresi Diri dalam acara tahunan KMJ Unisba: One Day With Jurnalistik di Armor Genuine Kiara Condong, Jalan Ibrahim Adjie, Kota Bandung, Minggu (23/1/2022). (Foto: Emi La Palau/BandungBergerak.id)

Penulis Emi La Palau24 Januari 2022


BandungBergerak.idKebebasan berekspresi, menyampaikan pendapat, akhir-akhir ini terasa dipersempit. Kritik yang disampaikan masyarakat melalui beragam bentuk, seperti seni jalanan sejenis mural dan grafiti nampak tak diberi ruang. Hal-hal yang bernada kritik selalu berakhir dengan penghapusan, lalu si pembuatnya dicari seperti buronan.

Contoh paling mutakhir, belum lama ini Pemerintah Kota Bandung mengeluarkan sayembara berupa uang tunai senilai Rp 10 juta bagi siapa saja yang menemukan pelaku vandalisme di dinding Babakan Siliwangi, Kota Bandung.

Tergerusnya kebebasan berekspresi melalui street art seperti mural dan grafiti mendorong Keluarga Mahasiswa Jurnalistik (KMJ) Universitas Islam Bandung (Unisba) tergerak untuk mengusung tema “Grafiti sebagai Bentuk Ekspresi Diri” dalam acara tahunan mereka: “One Day With Jurnalistik” yang kali ini berlangsung di Armor Genuine Kiara Condong, Jalan Ibrahim Adjie, Kota Bandung, Minggu (23/1/2022).

Ketua pelaksana acara, Hazzel Rayhan mengatakan ada pandangan sebelah mata pada mural dan grafiti. Bahkan ada upaya menghubungkan seni jalanan dengan label vandalisme.

“Makanya saya ambil konsep grafiti sendiri, saya mau mengenalkan bahwa grafiti itu bukan hanya sekedar vandalisme. Grafiti itu adalah bentuk seni, street art, dan untuk mengenalkan grafiti secara luas,” ungkapnya, ditemui Bandungbergerak.id di lokasi acara.

Menurut Rayhan, grafiti bisa menghiasai sudut-sudut kota yang kotor. Dari segi jurnalistik, graffiti bisa menjadi arsip atau pesan. “Si grafitinya juga bisa menyampaikan kritik-keritik keresahan kita,” katanya.

Rangkaian acara KMJ Unisba ini beragam, mulai dari diskusi mengenai grafiti yang menghadirkan langsung beberapa pegiat grafiti dan seniman street art, juga ada live painting dari Burn The Flower (BTF) Bandung, dan berbagai pentas musik.

Bentuk Ekspresi Diri

Grafiti merupakan ekspresi visual di ruang publik, jelas Andre Tirta, salah satu seniman jalanan yang sudah memulai aktivitasnya sejak 2006. Eekspresi visual ini tidak sebatas tulisan, tetapi ada yang berbentuk gambar dan lain-lain.

Ciri khas mural dan grafiti pada umumnya meninggalkan jejak di ruang-ruang publik, baik hanya berupa bentuk ekspresi seni, ekspresi diri, atau menyampaikan kritik yang tak tersampaikan kepada pemerintah. Namun seni jalanan ini tak mesti memiliki makna atau kritik, tak mesti harus berbobot karena sejatinya seni jalanan hanya cara mengeskpresikan diri.

Hal itu tergantung pula dengan latar belakang dari para pelaku seni jalanan masing-masing, yang humor akan mengekspresikan humornya, lalu mereka yang resah dengan isu sosial akan menyampaikan keresahan dan kritiknya.

“Kadang ada kadang ngak (pesan yang ingin disampaikan), justru tidak ada batasan harus berbobot atau ngak, jadi kadang pure estetik, atau ngak pure ekspresi, ada yang juga memang mau nyindir (mengkritik),” ungkap Andre Tirta, di acara yang sama.

Karena mural dan grafiti adalah ekspresi diri seseorang, maka modal utamanya adalah keberanian. Masalah kadang-kadang muncul pada pegiat yang baru terjun ke dunia seni jalanan ini. Kemampuan para pegiat baru ini biasanya beragam, ada juga yang belum terlalu mahir sehingga menghasilkan mural atau grafiti yang kurang bagus. Dampaknya, mural dan grafiti yang kurang bagus ini kurang mendapat tempat di masyarakat atau mendapat respons negatif.

“Makanya efek yang gak langsung gambarnya belum bisa diterima oleh umum tapi sudah mulai, efek negatifnya kadang dari situ juga,” terangnya.

Suatu mural dan grafiti bisa juga menjadi negatif karena masalah komunikasi. Menurut Andre, komunikasi penting jika seniman jalnannya mengomunikasikan dengan pemilik gedung yang akan ia gambar. Tetapi menjadi lain jika yang digambar adalah ruang publik.

Grafiti tak Melulu Vandal

Seniman street art lainnya, Jured, mengatakan selain sebagai bentuk eskpresi diri, grafiti bisa dikatakan sebagai self promot, pelakunya seringkali meninggalkan jejak di ruang publik. Di balik itu, grafiti memilih makna tersendiri dari masing-masing pembuatnya.

Jured juga mengatakan bahwa saat ini, grafiti sudah lebih diterima dibanding dengan zaman dulu. Saat ini banyak pelaku grafiti yang sudah bekerja sama dengan perusahaan besar. Grafiti tak melulu merusak, tak sedikit mural dan grafiti yang unik dan menarik.

“Padahal tidak semua grafiti seperti itu, hanya sebagian orang yang cari adrenalin buat kayak gitu, tapi itu juga tidak menutup kemungkinan dia juga punya gambar-gamar bagus, yang namanya self promote gimana saja,” kata Jured yang telah memulai aktivitas street artnya sejak tahuan 1994.

Sejak awal menggeluti dunia seni jalanan, Jured selalu mengusung unsur kritik sosial. Di sisi lain, kota besar seperti Bandung tak akan terelakan dengan seni jalanan. Bahkan seni jalanan ibarat ruh bagi kota besar.

“Ada istilah kota tanpa grafiti itu ngak ada jiwanya. Karena di dalam grafiti itu salah satunya masyarakat yang ada di kota tersebut itu untuk mengekspresikan dirinya, kalau seenggaknya ngak didengar sama pemerintah langsung ya coretan di jalan. Orang bikin graffiti itu pasti ada penyebabnya kenapa, nah itu yang harus dicari solusinya,” paparnya.

Acara tahunan KMJ Unisba: One Day With Jurnalistik di Armor Genuine Kiara Condong, Jalan Ibrahim Adjie, Kota Bandung, Minggu (23/1/2022). (Foto: Emi La Palau/BandungBergerak.id)
Acara tahunan KMJ Unisba: One Day With Jurnalistik di Armor Genuine Kiara Condong, Jalan Ibrahim Adjie, Kota Bandung, Minggu (23/1/2022). (Foto: Emi La Palau/BandungBergerak.id)

Baca Juga: Penghapusan Mural dan Persekusi Penciptanya di Mata Seniman dan Aktivis Bandung: Berlebihan dan Lucu
Menghapus Cerita Mural dan Grafiti dari Tembok ke Tembok
Mural “Jokowi Tutup Mata” di Bandung Dihapus, AJI Bandung: Kebebasan Berekspresi dalam Ancaman

Tak Perlu Diburu Layaknya Buronan

Reaksi pemerintah, mulai dari aksi penghapusan hingga pencarian pelaku seni jalanan, dinilai sebagai langkah berlebihan. Begitu juga dengan keputusan Pemkot Bandung dalam memviralkan pelaku seni jalanan di Babakan Siliwangi.

Andre tidak setuju seniman jalanan diperlakukan seperti buronan. Menurutnya, biasanya pelaku-pelaku vandal hanya diberi sangsi penahanan KTP atau disuruh membersihkan saja, tak perlu sampai membuat sayembara seperti mencari buronan.

“Kalau mau bikin buronan ya pelaku kejahatan seksual atau apa gitu yang emang bikin resah. Ini mah kenakalan semalam doang, jadi ya itu sih, keep open minded,” ungkapnya.

Pemkot Bandung seharusnya menyediakan ruang berekspresi, bukannya malah mempersempit ruang bagi pelaku street art. Pemkot Bandung bisa melakukan terobosan dengan menyediakan lokasi-lokasi yang dizinkan untuk menggambar di ruang-ruang publik.

“Ya kalau salah satunya sih, kalau buat pemerintah setidaknya bikin yang legalnya gitu. Jadi kalaupun ada pemerintah cari lah solusi, gimana enaknya, kalau aku pribadi sih bikinlah bikin lega,” ungkap Jured.

Ia menegaskan, masyarakat berhak mengungkapkan suaranya, baik kritik ataupun masukan kepada pemerintah. Penghapusan hingga pelarangan seni jalanan menunjukkan bahwa pemerintah antikritik dan tangan besi.

Seniman jalanan lainnya, Fland, menambahkan bahwa ruang publik dimiliki oleh publik tanpa ada batasan. Termasuk sebagai ruang menyampaikan ekspresi.

“Maksud saya lebih, kayak emang gak ada yang harus lebih diurusin lagi si pemerintah teh, daripada ngurusin coretan doang. Ya pembungkaman ekspresi,” Fland.

Ia menegaskan ruang publik adalah milik publik. Publik yang seharusnya hadir dalam berkegiatan di kotanya, termasuk merayakan kebebasan bereskpresinya.

Editor: Redaksi

COMMENTS

//