• Kolom
  • BIOGRAFI ACHMAD BASSACH (14): Cerita Bersambung dalam Majalah Parahiangan

BIOGRAFI ACHMAD BASSACH (14): Cerita Bersambung dalam Majalah Parahiangan

Achmad Bassach dicurigai kelompok kiri, diawasi pemerintah kolonial Belanda. Dalam situasi terjepit itu ia banyak menulis cerita dalam bahasa Sunda.

Atep Kurnia

Peminat literasi dan budaya Sunda

De Commissie voor de Volkslectuur di Batavia, sekitar tahun 1920. (Sumber: KITLV 4782)

4 Februari 2022


BandungBergerak.idSayang sekali saya tidak mendapatkan dua nomor contoh (proefnummer) Parahiangan, majalah terbitan Balai Poestaka (Balai Pustaka). Padahal, bila mendapatkannya saya bisa membaca lengkap cerita bersambung yang ditulis oleh Achmad Bassach, Hoetang Njeri Bajar Njeri (hutang nyeri dibayar nyeri, hukuman setimpal). Padahal, saya pikir, karya tersebut sangat penting, bukan dalam arti kualitasnya menonjol dibandingkan roman-roman lain karya Achmad Bassach, melainkan karena menjadi bukti diakuinya Achmad Bassach sebagai salah seorang pengarang Sunda yang karyanya diterbitkan oleh pemerintah kolonial.

Sebelumnya, kita sama-sama mafhum, Achmad Bassach berada dalam situasi serba terjepit. Pada obituarinya dalam Keng Po (1929), dia dikatakan berada di antara api dan api. Maksudnya baik oleh kalangan kiri maupun pemerintah kolonial Achmad Bassach tetap dicurigai.

Dengan terbitnya Hoetang Njeri Bajar Njeri dalam penerbitan resmi pemerintah kolonial bisa jadi pertanda berubahnya pandangan pemerintah kolonial terhadap Achmad Bassach. Barangkali sejak akhir 1928 dan awal 1929 dapat dikatakan Achmad Bassach tidak dianggap lagi oleh pemerintah sebagai sebuah ancaman bagi tata dan tertib (rust en orde) Hindia Belanda.

Meski dari sisi pertimbangan popularitas, barangkali keputusan penerbitan karya Achmad Bassach dalam Parahiangan dipengaruhi oleh keputusan para redaktur Sunda untuk mengangkat karyanya sebagai pendongkrak pula untuk pemerkenalan dan sosialisasi majalah Parahiangan. Mengingat saat itu Achmad Bassach sudah dikatakan malang-melintang sebagai pengarang Sunda.

Agar punya gambaran agak luas tentang Balai Pustaka berikut kebijakan serta produk literasinya, kita dapat membahasnya terlebih dahulu dengan mengetengahkan hasil bacaan dari Razif (“Bacaan Liar”: Budaya dan Politik pada Zaman Pergerakan, 1990), Hilmar Farid (“Kolonialisme dan Budaya: Balai Poestaka di Hindia Belanda”, dalam Prisma 10, Oktober 1991), Doris Jedamski (“Balai Poestaka : A Colonial Wolf in Sheep's Clothing”, dalam Archipel, vol. 44, 1992), dan Puisi Sunda Zaman Belanda (2021) karya Tom van den Berge.

Nomor 8 Hoetang Njeri Bajar Njerii dalam edisi keenam, 7 Februari 1929. (Sumber: Atep Kurnia)
Nomor 8 Hoetang Njeri Bajar Njerii dalam edisi keenam, 7 Februari 1929. (Sumber: Atep Kurnia)

Serigala Kolonial Berbulu Domba

Pendirian Balai Pustaka bermula dari gagasan J.E. Jasper. Dalam laporannya pada Desember 1905, pegawai kolonial itu meminta pemerintah untuk meningkatkan sistem sekolah desa, terutama di Jawa dan Madura. Dia menyarankan agar adanya pemusatan produksi, distribusi, dan penyimpanan bahan bacaan oleh Departemen Pendidikan dan Agama atau dengan kata lain, untuk memberi pertimbangan kepada Direktur Pendidikan memilih bacaan yang sesuai dengan rakyat (Jedamski, 1992).

Melalui Keputusan Pemerintah No. 12 pada 14 September 1908, berdirilah Commissie voor de Inlandsche Scholen en Volkslectuur (Komisi untuk Sekolah Pribumi dan Bacaan Rakyat). Saat itu G.A.J. Hazeu (Penasihat untuk Urusan Pribumi, dari Batavia) diangkat menjadi ketuanya dan anggota-anggotanya: G.J.F. Biegman (Pengawas Pendidikan Pribumi, Bandung), D. van Hinloopen Labberton (Dosen Bahasa Jawa, Batavia), Ph.S. Ronkel (Dosen Bahasa Melayu, Batavia), dan H.C.H. Bie (Kepala Pengawas Pertanian Pribumi, Bogor).

Pada 1910, D.A. Rinkes masuk. Sebagai konsultan bahasa-bahasa pribumi, dia adalah otak di balik keberhasilan Volkslectuur. Ketika pada 1913 Hazeu mudik ke Belanda, Rinkes yang semula menjabat sebagai sekretaris komisi itu diangkat sebagai penggantinya. Dengan bertambahnya pekerjaan komisi yang tidak semata-mata memberi pertimbangan, tetapi juga menerbitkan bacaan, didirikanlah Kantoor voor de Volkslectuur (Balai Poestaka) berdasarkan Keputusan Pemerintah No. 63 tanggal 22 September 1917. Dengan berdirinya Balai Pustaka, pekerjaan komisi bacaan diambil alih.

Salah satu tujuan penerbitan buku-buku Balai Pustaka adalah mencegah menjamurnya “bacaan liar” yang dikeluarkan penerbit swasta. Kata D.A. Rinkes, “Hasil pengajaran itu boleh juga mendatangkan bahaya, kalau orang yang telah tahu membaca itu mendapat kitab-kitab bacaan yang berbahaya dari saudagar kitab yang kurang suci hatinya dan dari orang-orang yang hendak mengacau. Oleh sebab itu, bersama-sama dengan pengajaran itu haruslah diadakan kitab-kitab bacaan yang memenuhi kegemaran orang kepada pembaca dan memajukan pengetahuannya, seboleh-bolehnya menurut tertib dunia sekarang. Dalam usaha itu perlu dijauhkan segala yang dapat merusakkan kekuasaan pemerintah dan ketenteraman negeri” (Razif , 1990).

Selain itu, menurut Jedamski (1992), Balai Pustaka bukan hanya rumah penerbitan, melainkan agensi multifungsi untuk kepentingan sosialisasi. Balai Pustaka memainkan peran penting dalam kerangka menyampaikan konsep-konsep barat mengenai kesadaran, yakni berupa perancangan dan penetapan nilai-nilai, model-model, tindak-tanduk, serta gugusan gagasan baru tentang peran sosial, yang kesemuanya berkorespondensi dengan perubahan menentukan dalam masyarakat kolonial di sekitar peralihan abad ke-20.

Redaktur Sunda Balai Pustaka

Sejak awal, Rinkes hendak melaksanakan program-programnya hingga mencapai bukan hanya golongan elite pribumi yang telah berpendidikan Barat, melainkan pribumi yang luas. Itu sebabnya, ia mendirikan seksi Sunda, Jawa, Madura, dan Melayu.

Untuk seksi bahasa Sunda, orang pertama yang bekerja untuk komisi adalah D.K. Ardiwinata. Ia guru bahasa Melayu di Sekolah Menak (OSVIA) di Bandung, yang karena keterampilannya mengarang, pada 1911, diangkat sebagai Kepala Redaksi Bahasa Sunda Volkslectuur. Namun, karena kesehatannya yang tidak memungkinkan untuk tinggal di Jakarta, pada 1917 ia minta dipindahkan lagi ke Bandung.

Sebagai pengganti D.K. Ardiwinta, pada 1918 R.K Poeradiredja diangkat sebagai redaktur Sunda, menjadi redaktur kepala pada 1922 hingga pensiun pada 1932. Pada 1928, R. Satjadibrata melamar ke Balai Pustaka dan diterima sebagai kepala redaksi Sunda, sampai era 1960-an. R. Memed Sastrahadiprawira masuk pada 1929. Semula ia bekerja sebagai pembantu ahli bahasa dengan tugas mempelajari kepustakaan Sunda yang berupa naskah-naskah di Museum Gajah. Moh. Ambri  masuk ke Balai Pustaka pada 1931, diangkat sebagai kepala redaksi Sunda hingga meninggal pada 15 April 1936. Menyusul M.A. Salmoen yang pada 1938 ditarik ke sidang redaksi, tapi pada 1943, keluar karena diangkat menjadi pegawai tinggi pamongpraja Banten. Antara 1948-1951, ia kembali bekerja untuk Balai Pustaka.

Selanjutnya ada dua orang Sunda yang diajak R. Satjadibrata untuk bekerja di Balai Pustaka. Pertama, Achdiat K. Mihardja, yang diminta menjadi redaktur bahasa Sunda menjelang Jepang tiba. Namun saat revolusi fisik berlangsung, Achdiat keluar dari Balai Pustaka. Baru pada 1948 ia kembali bekerja untuk Balai Pustaka, hingga akhir era 1950-an. Yang kedua, Rusman Sutiasumarga. Pekerjaannya di antaranya menerjemahkan. Karena tidak mau bekerja pada Belanda, maka pada 1947 ia pun keluar. Setalah pengakuan kedaulatan hingga masa pensiunnya pada 1973, Rusman kembali bekerja untuk Balai Pustaka.

Baca Juga: BIOGRAFI ACHMAD BASSACH (11): Mendirikan Romans Bureau Joehana
BIOGRAFI ACHMAD BASSACH (12): Rahasia Buku Karnadi Si Pencari Kodok
BIOGRAFI ACHMAD BASSACH (13): Masih Tidak Berpolitik?

Parahiangan edisi pertama, 3 Januari 1929. (Sumber: Atep Kurnia)
Parahiangan edisi pertama, 3 Januari 1929. (Sumber: Atep Kurnia)

Publikasi Majalah Parahiangan

Balai Pustaka tidak hanya menerbitkan buku pelajaran dan bacaan, melainkan juga almanak dan berkala. Mula-mula, Balai Pustaka menerbitkan Inlandsche Persoverzichten (IPO) sejak 1917 dan disunting Rinkes. Ia kemudian berpendapat Volkslectuur harus mempunyai organ pers pula. Itu sebabnya pada 1918 terbit Sri Poetaka, pada 1923 Pandji Poestaka dan pada 1926 mingguan berbahasa Jawa Kadjawen. Pada 1929, di bawah kepemimpinan T.J. Lekkerkerker, terbit mingguan berbahasa Sunda Parahiangan (Berge, 2021: xiv-xv).

Konon, menurut Berge (2021) upaya Komisi Bacaan menerbitkan berkala terbilang berhasil. Salah satu penyebabnya adalah hubungan antara fakta dan fiksi dalam berkala, karena “lebih mudah dibaca” dan mencapai kalangan yang oleh media lain tak tertembus. Untuk Pandji Poestaka, Rinkes didesak agar menjadikannya sebagai wahana propaganda “pengimbang berita-berita tendensius” pers berbahasa Melayu sehingga perlu ditingkatkan menjadi harian. Sementara Kadjawen dan Parahiangan didorong untuk mengikat elite tradisional dengan pemerintah (Jedamski 1990:161-162 dalam Berge, 2021: xv). Sebab, kaum elite memberikan dampak positif pada pembentukan pendapat umum di kalangan orang Jawa dan Sunda.

Dari pengalaman pembacaan Berge (2021: xv) sendiri, dia menemukan dari semua terbitan Parahiangan pada 1936 didapatkan sebuah sajak dan dari 1937 hingga 1942 dimuat sebuah sajak setiap minggu. Sementara saya, di sini akan berbagi ihwal tinjauan umum terhadap Parahiangan yang saya timba dari Ensiklopedi Sunda: Alam, Manusia, dan Budaya (2000) suntingan Ajip Rosidi, dari IPO nomor 49 (1929), dan majalahnya sendiri.

Dari sumber-sumber itu, saya tahu Parahiangan diterbitkan Balai Pustaka antara 1929-1942. Majalah yang terbit setiap hari Kamis ini pertama kali terbit pada 3 Januari 1929, tetapi sebelumnya diterbitkan dulu dua nomor contoh (proefnummer). Mengenai nomor contoh itu, ada uraiannya dalam IPO no. 49 (1929: 295). Menurut kabar tesebut, nomor contoh pertamanya diterbitkan pada 1 Desember 1928, sementara resminya akan diterbitkan sejak Januari 1929.

Dalam nomor contoh itu juga diterangkan majalah itu menggunakan nama Parahiangan karena merupakan nama tempat asal orang Sunda. Isi Parahiangan, katanya, akan sama seperti Pandji Poestaka dan Kedjawen, sementara maksud penerbitannya untuk membantu mengembangkan bahasa Sunda. Untuk nomor contoh pertama yang dihidangkan adalah artikel mengenai kongres pemuda di Weltevreden, tanaman buah-buahan di Cirebon, terbatasnya bacaan dalam bahasa Sunda, tindakan kesehatan yang dilakukan pemerintah kolonial, dan mengenai tarian Sunda. Selain itu, juga dimuat kronik dan cerita bersambung.

Tokoh-tokoh perintis penerbitan Parahiangan antara lain R. Satjadibrata, yang merupakan redaktur Balai Pustaka. Dalam 16 halaman edisi pertama (“Nomer 1, 3 Januari 1929, Tahoen Ka I”), ada enam rubrik, yaitu “Kabinangkitan”, “Kasehatan”, “Guguyon”, “Pasamoan Raad Provincie Pasundan”, “Unak-Anik: Petikan tina Surat-surat Kabar Sejen”, dan “Panglejar”.

Di situ juga ada termaktub maksud diterbitkannya majalah tersebut. Di situ, antara lain, dinyatakan, “Di ditoena mah ieu teh doemeuheus ka para djoeragan, bade njoehoenkeun ditaksir, roepi, eusi miwah kaajaan, manawi aja noe bade ngoengsi harti, ngawoewoehan kaoeninga, perloe ngahehegar manah. Mangga oerang mimitran. Manawi bahan katampi, loemajan keur pangbeberah manah, aoeseun salira sapoetra-garwa, sanggem toegoer sanadjan saheulaanan...”. Maksudnya, penerbitan Parahiangan adalah wahana hiburan untuk keluarga. Tentu saja bagi keluarga yang sudah melek aksara Walanda atau Latin. Dengan catatan, pada awalnya penerbitan tersebut merupakan upaya uji coba yang dilaksanakan oleh Balai Pustaka.

Redaksi kemudian menambah rubrik-rubrik baru, antara lain, “Pakasaban”, “Serat-Sinerat” (Nomor 2, 17 Januari 1929), guguritan (mulai Nomor 6, 7 Februari 1929, “Atikan” (mulai Nomor 7, 14 Februari 1929), “Kamajuan Istri”, dan “Taman Murangkalih”. Sementara tradisi penerbitan cerita pendek dalam majalah ini baru ada pada Nomor 8, 20 Februari 1930. Di situ dimuat dua cerpen Sunda, yakni “Sujud ka Caroge” karangan M.A. Salmoen dan “Abong-abong” karya Bapa Saleh.

Sejalan dengan Kebijakan Kolonial

Itulah yang menjadi latar belakang pemuatan cerita bersambung karya Achmad Bassach, Hoetang Njeri Bajar Njeri,  dalam dua nomor contoh Parahiangan, yang berarti sejak 1 Desember 1928, hingga tamat pada nomor 6, tahun pertama, 7 Februari 1929. Dengan demikian, cerita bersambung itu terbit sebanyak delapan nomor.

Seperti yang diungkap pada awal tulisan, saya tidak dapat memperoleh dua nomor contohnya. Saya membaca Parahiangan sejak terbit resmi pada 3 Januari 1929. Dalam edisi pertama itu, cerita Hoetang Njeri Bajar Njeri sudah tiga edisi. Untungnya edisi itu menyertakan ringkasan kisah sejak dua nomor sebelumnya, “Pondokna Tjarita noe geus dimoeat dina nomer tjonto 1 djeung II”. Isi ringkasannya tertulis demikian, “Mas Tanoesapoetra, anemer batoe, diragadji koe mama H. Kaboel soepaja pepegatan djeung bodjona sarta diadoe-adoe sangkan ngahidji djeung Enden Banon, poetra Naib Pareman” (Mas Tanoesapoetra, pemborong batu, digoda untuk oleh H. Kaboel supaya bercerai dengan istrinya dan dibujuk agar menikahi Enden Banon, putri naib pensiun).

Dalam nomor dua, 10 Januari 1929, dikisahkan H. Kaboel berkunjung ke rumah Naib Pareman yang disusul Mas Tanoesapoetra untuk melamar Enden Banon, sementara istri Mas Tanoe, Nji Aisah, di Garut, sedang hamil tua dan menanti kelahiran. Karena disurati sebanyak dua kali tidak berjawab, akhirnya Nji Aisah menyusul ke Bandung. Ternyata Mas Tanoe, yang sebelumnya sudah mengirimkan surat talak ke Garut, sedang menikah dengan Enden Banon, dan karena kesal Mas Tanoe dilempar batu oleh Nji Aisah. Dalam nomor tiga, 17 Januari 1929, dikisahkan Nji Aisah ditangkap polisi hingga akhirnya kembali ke rumah orang tuanya di Garut dan mendapati surat talak dari suaminya.

Sebagaimana judulnya, akhir kisah Hoetang Njeri Bajar Njeri, berakhir sedih pada pihak yang berlaku zalim, Mas Tanoesapoetra, dan berakhir bahagia pada Nji Asiah yang penyabar. Rumah tangga Mas Tanoe dengan Enden Banon dikatakan gagal karena istri barunya bersikap boros, kebelanda-belandaan, memaksakan membaca buku dan majalah berbahasa Belanda serta merokok.

Demikianlah antara lain gambaran mengenai Enden Banon, “Kitoe kapalajna Enden Banon, ari saoer andjeunna mah kablandaan. Andjeunna mah tara pisan angkat ka dapoer, bentik tjoeroek balas noendjoek, damelna ngan woengkoel heheotan, atawa manjanji, maos boekoe djeung soerat kabar. Soerat kabar oge koedoe basa Walanda, kadjeun ngarti ngan saoekoer saketjap doe ketjap, asal gagah katingalina. Ajeuna mah katambahan koe sedep njesep sigaret, ditangtoekeun njesepna teh koedoe maspero. Di boemina dipasang telepon, paranti ngobrol djeung sobat-sobatna, atawa paranti pesen koeh-koeh ka toko Walanda ...”

Artinya kira-kira: “Demikian kehendak Enden Banon, menurutnya itu adalah kebelandaan. Ia tidak pernah pergi ke dapur, hanya telunjuknya belaka yang bekerja, kerjanya hanyalah bersiul, atau bernyanyi, membaca buku dan surat kabar. Surat kabarnya pun harus berbahasa Belanda, meski hanya mengerti satu-dua kata belaka, yang penting terlihat gagah. Sekarang bertambah dengan kegemaran menghisap sigaret, mereknya pun sudah ditentukan harus maspero. Di rumahnya dipasangi telepon, sebagai wahana untuk berbincang dengan kawan-kawannya, atau untuk memesan kue-kue dari toko Belanda ...”.

Kutipan itu, saya pikir jelas mewakili pandangan umumnya zaman kolonial, yaitu orang Eropa sebagai masyarakat kelas satu tidak boleh bercampur gaul dengan pribumi yang derajatnya di kelas tiga, atau sebaliknya orang pribumi tidak diizinkan bergaul dengan kalangan Eropa. Karena bila dilakukan akan mendapatkan kemalangan. Seperti tindak-tanduk Enden Banon di atas yang hendak bersikap kebelanda-belandaan dan banyak menuntut ternyata berbuah siksaan bagi suaminya. Atau seperti dituliskan dalam ringkasan nomor 6 (nomor 3, 17 Januari 1929), “Enden Banon, djalma kapalang pangadjaranana, Wawalandaan, toengtoengna boeroendoel” (Enden Banon, orang yang tanggung pelajarannya, berskikap kebelanda-belandaan, hingga akhirnya menyebabkan kebangkrutan).

Saya kira, pandangan yang sejalan dengan kebijakan pemerintah kolonial itulah yang menyebabkan karyanya bisa lolos, bisa dimuat dalam majalah Parahiangan. Karena pada saat yang sama, secara tersurat atau tersirat, Achmad Bassach juga mengajak pembacanya untuk hidup hemat, tidak boros, rajin bekerja dan menabung, memerangi ketakahyulan (yang diwakili oleh H. Kaboel yang irasional) serta mengedepankan nalar.

Dengan kata lain, Hoetang Njeri Bajar Njeri selamat dari sensor yang dilakukan Satjadibrata dan kawan-kawan. Karena, menurut Hilmar Farid (1991: 46), Balai Pustaka melakukan kontrol ketat terhadap barang cetakan sejak dari pemilihan dan penyuntingan naskah hingga penjualan. Bagi yang karya yang tidak lolos kontrol, Balai Pustaka berarti “berhasil mencampakkan karya-karya tertentu keluar dari sejarah kesusastraan Indonesia modern yang bahkan tidak dikenal pada masa-masa selanjutnya”.

 

Dengan demikian, Hoetang Njeri Bajar Njeri berbeda nasibnya, misalnya, dengan naskah Nyawer (1912) karya M. Ardiwinata, Tilu Dongeng ti Cirebon (Mas Ahmad, 1925), Piluangeun (M. Partadiredja, 1910), Tujuh Puluh Pantangan (M. Sastrawiria, 1912), dan Dongeng Pangeling-ngeling (Sastradiredja, 1912). Naskah-naskah itu bagian dari 23 naskah yang dikirim tetapi tidak diterima atau ditolak Komisi Bacaan (Edi S. Ekadjati, Naskah Sunda: Inventarisasi dan Pencatatan, 1988. Rinkes. Naskahnya sekarang tersimpan di Universiteit Bibliotheek Leiden, Belanda, sebagai koleksi dari D.A. Rinkes.

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//