• Kolom
  • BIOGRAFI ACHMAD BASSACH (12): Rahasia Buku Karnadi Si Pencari Kodok

BIOGRAFI ACHMAD BASSACH (12): Rahasia Buku Karnadi Si Pencari Kodok

Film Karnadi membuat orang Sunda tersinggung. Akibatnya si pembuat film dituntut 100 gulden.

Atep Kurnia

Peminat literasi dan budaya Sunda

Jilid buku Rasiah nu Goreng Patut edisi Kiwari (1963) dan Rahmat Cijulang (1986). (Sumber: Atep Kurnia)

21 Januari 2022


BandungBergerak.idBaru-baru ini saya berhasil mendapatkan cetak ulang Rasiah nu Goreng Patut (rahasia si buruk muka) karya Achmad Bassach, dari pelapak daring. Penerbitnya Kiwari, di Bandung, tahun 1963. Bila membuka-buka memoar Ajip Rosidi (Hidup Tanpa Ijazah, 2008) kita akan tahu proses pencetakan kembali buku yang pertama kali terbit 1928 itu, termasuk sejarah penerbit Kiwari.

Oleh karena itu, saya pikir, penting untuk mengemukakan dulu riwayat Kiwari. Menurut Rosidi (2008: 284-286), pendirian penerbit itu dilatari masih jarangnya penerbitan buku Sunda pasca Indonesia merdeka, sehingga ia berkesimpulan “untuk menjaga agar tradisi membaca bahasa Sunda yang pada masa sebelum perang telah tumbuh dengan baik dalam masyarakat jangan sampai putus, haruslah ada usaha penerbitan yang menyediakan buku-buku dalam bahasa Sunda”.

PT Kiwari didirikan Ajip Rosidi bersama Ramadhan KH, Tatang Soeriaatmadja dan Obon Harris (direktur percetakan Galunggung di Bandung) pada 1962. Namanya diusulkan Ajip berlandaskan Dasar Pamadegan Kiwari yang dirumuskan Badan Pangulik Budaya (BPB) Kiwari. Tatang dan Ramadhan menjadi direktur, Obon dan Ajip sebagai komisaris, dengan tambahan tugas bagi Ajip menjad redaktur naskah Sunda. Buku pertama yang diterbitkannya adalah Lalaki di Tegal Pati: Sadjak-sadjak Sunda (Jantan di Medan Maut, 1963) karya Sayudi.

Karena punya, saya jadi mengetahui buku tersebut berkode KS-1, yang tentu berarti terbitan pertama Kiwari. Sementara Rasiah nu Goreng Patut berkode KS-6, ada keterangan dalam kolofon “Tjitakan mimiti, 1928, ku Dachlan Bekti. Mimiti tjitakan ka-II ku Penerbit Kiwari Bandung, 1963” (Cetakan pertama, 1928, oleh Dachlan Bekti. Mulai cetakan kedua oleh Penerbit Kiwari Bandung, 1963).

Informasi lain dari Ajip Rosidi adalah proses mendapatkan hak ciptanya. Katanya, “Untuk memperoleh izin penerbitan kembali karyanya itu, aku mencari jejak keluarganya. Ternyata Joehana itu nama anak satu-satunya tetapi sudah meninggal. Tapi aku dapat memperoléh alamat isterinya yang ketika itu sudah menikah lagi dengan pegawai Kantor Pengadilan. Aku meminta mereka agar mengusahakan Keputusan Pengadilan yang menyatakan bahwa isterinya adalah ahli waris satu-satunya dari Joehana. Dengan bantuan suaminya, keputusan itu dapat diperoleh dengan mudah dan dengan demikian bekas isterinya itu dapat mewakili pengarang membuat Surat Perjanjian Penerbitan dengan Kiwari dan menerima honorariumnya” (Rosidi, 2008: 288).

Dari keterangan Ajip, saya mendapatkan fakta baru terkait Joehana anak pungut Achmad Bassach yang paling tidak pada 1963 sudah disebutkan meninggal. Sementara Siti Atikah, mantan istri Achmad Bassach, sudah menikah lagi dengan pegawai kantor pengadilan. Barangkali ketika Tini Kartini dan kawan-kawan pada akhir 1970-an meneliti Achmad Bassach masih bertemu dan mewawancarai Siti Atikah. Namun, karena Siti Atikah kala itu sudah lanjut usia, informasi yang disampaikannya tidak akurat. Termasuk kekeliruan tahun kematian Achmad Bassach.

Lalu, bagaimana sebenarnya awal penerbitan Rasiah nu Goreng Patut?

Toko buku Koesradie mengiklankan buku-buku Achmad Bassach yang termasuk baru terbit. (Sumber: Sipatahoenan, 20 Maret 1929)
Toko buku Koesradie mengiklankan buku-buku Achmad Bassach yang termasuk baru terbit. (Sumber: Sipatahoenan, 20 Maret 1929)

Terbitan Tahun 1928

Dari cetakan kedua terbitan Kiwari  itu, saya tahu bukunya pertama kali diterbitkan pada 1928 oleh Dachlan-Bekti. Selain itu, pada 1928, dari berbagai sumber, saya mendapati paling tidak ada beberapa buku lagi yang ditulis Achmad Bassach, yaitu Raden Roro Ani, Moegiri, dan Goenoeng Gelenjoe: 50 Dongeng Pigoemoedjengeun.

Sumber paling lama yang dapat saya akses tentang penerbitan Rasiah nu Goreng Patut, Raden Roro Ani, dan Moegiri, adalah Sipatahoenan edisi 20 Maret 1929 dan 3 April 1929 serta Bintang Timoer edisi 17 Juli 1930. Dalam Sipatahoenan ada iklan Boekhandel (toko buku) Koesradie yang beralamat di Jalan Naripan 45 X dan cabangnya di Pangeran Soemedangweg 25. Di atas daftar buku yang diiklankan dikatakan, “Boekoe boekoe noe nembe kaloear laloetjoe matak goembira” (Buku-buku yang baru terbit menarik dapat membuat gembira). Dalam daftar ada tiga judul buku karya Achmad Bassach, yaitu Rasiah nu Goreng Patut seharga 60 sen, Raden Roro Ani (jilid pertama 50 sen dan jilid kedua 60 sen), dan Moegiri (jilid pertama dan kedua masing-masing seharga 50 sen).

Bila dalam iklan dikatakan baru, saya pikir barangkali memang ketiga buku Achmad Bassach itu memang baru diterbitkan, meski tidak mesti pada minggu ketiga Maret 1929, melainkan termasuk akhir 1928 yang waktunya tidak begitu jauh dengan iklannya. Karena yang membuat saya yakin tahun 1928 adalah gambar jilid kedua Moegiri yang dimuat dalam buku Tini Kartini dan kawan-kawan (1979). Di situ jelas  tertulis 1928. Bila dikaitkan Moegiri yang ditempatkan pada posisi ketiga, artinya bisa menunjukkan urutan terbit ketiga buku tersebut.

Sementara pada Bintang Timoer ada iklan Goedang Toekang Boekoe di Krekot yang memakai alamat N.V. Drukkerij Bintang Hindia, Weltevreden. Meski kebanyakan buku-buku yang diiklankannya berbahasa Melayu, ternyata banyak pula disertakan buku berbahasa Sunda. Di antaranya ada Siti Rajati, Aom Sentot, Zusje van Pasoendan (Kembang Para Nonoman), Pegat Toendangan, Roesiah Nonoman Garoet, Pabrik Seuri, Enden Retna, Djodo Sanes Pangreremo, Aki-aki Ogoan, termasuk beberapa karya Achmad Bassach, yakni Agan Permas, Neng Jaja, Rasiah noe Goreng Patoet, dan Sadjarah Pamidjahan.

Iklan tersebut mengisyaratkan hingga tahun 1930 di Batavia masih banyak para pembaca buku-buku Sunda, sekaligus dapat dikatakan bahasa Sunda masih umum digunakan oleh orang-orang di Jakarta. Dan meski Achmad Bassach saat itu telah tiada, ternyata karya-karyanya tetap disukai para pembaca, termasuk Rasiah noe Goreng Patoet.

Sedangkan Goenoeng Gelenjoe: 50 Dongeng Pigoemoedjengeun terbitan Dachlan-Bekti adalah kumpulan lelucon yang dikumpulkan dan disusun oleh Achmad Bassach. Tetapi dalam jilid bukunya disebutkan “Kenging: Romans Bureau Joehana, Bandoeng, 1928” (Karya Romans Bureau Joehana, 1928). Fakta ini menarik, karena dapat menjadi bukti kinerja biro kepenulisan yang diusahakan Achmad Bassach sejak November 1927 itu. Artinya, agensi tersebut memang benar-benar diwujudkan oleh Joehana.

Lalu, bagaimana dengan penulisan Rasiah nu Goreng Patut?

Baca Juga: BIOGRAFI ACHMAD BASSACH (9): Siti Atikah, Istri yang Turut Bergerak
BIOGRAFI ACHMAD BASSACH (10): Di Antara Api dan Api, Menulis Eulis Atjih
BIOGRAFI ACHMAD BASSACH (11): Mendirikan Romans Bureau Joehana

Setelah dibuat pada 1930, film Roesia Gadis Priangan terus diputar di daerah-daerah lain di Indonesia, termasuk di Banjarmasin, Kalimantan Selatan, awal Maret 1931. (Sumber:  Bintang Borneo, 3 Maret 1931)
Setelah dibuat pada 1930, film Roesia Gadis Priangan terus diputar di daerah-daerah lain di Indonesia, termasuk di Banjarmasin, Kalimantan Selatan, awal Maret 1931. (Sumber: Bintang Borneo, 3 Maret 1931)

Soekria Sama dengan Roehiat Martadinata?

Dalam Rasiah nu Goreng Patut edisi 1963 terbitan Kiwari, edisi 1986 terbitan Rahmat Cijulang, dan edisi 2013 terbitan Kiblat Buku Utama, secara konsisten tertulis buku tersebut ditulis oleh dua orang, yaitu Soekria dan Joehana. Dengan catatan “disangling” (digosok, diperhalus, disadur) oleh Joehana.

Bagaimana proses penulisan yang melibatkan dua orang pengarang itu? Ada beberapa orang yang telah berusaha untuk memecahkannya. Tini Kartini dan kawan-kawan (1979: 15) menyatakan, “Tidak diketahui secara pasti bagaimana cara pelaksanaan kerja sama seperti itu. Hanya disebutkan bahwa roman itu disangling ’digosok, dihaluskan’ oleh Yuhana. Tetapi diduga bahwa roman itu ditulis oleh Yuhana sendiri berdasarkan kerangka cerita yang dibuat oleh Sukria”.

Senada dengan Tini Kartini dan kawan-kawan, Ajip Rosidi (Ngalanglang Kasusastran Sunda, 1983: 120) menyebutkan “Kajaba ti ngarang nu asli, Yuhana sok ’’nyangling’ karangan anu lian, dipasieup sarta dipapantes, ngarah pikaresepeun nu macana, antarana anu pangkasohorna nya eta karangan Sukria anu nyaritakeun jelema pangedulan nu sarakah, judulna Rusiah Nu Goreng Patut (1928) (Selain karya asli, Yuhana kerap menghaluskan karya orang lain, diperindah agar layak, agar khalayak suka membacanya, di antaranya yang paling terkenal adalah karya Sukria yang mengisahkan pemalas yang serakah, dengan judul Rusiah Nu Goreng Patut).

Yus Rusyana dan kawan-kawan (Ensiklopedi Susastra Sunda, 1987: 90) juga menduga-duga. Kata mereka, “Bagaimana pelaksanaan penulisan novel Rasiah nu Goreng Patut 'rahasia Si Buruk Rupa' ini dikarang berdua, agak sulit diterka, kecuali apabila dihubungkan dengan Romans Bureau Joehana yang membuka usaha pekerjaan penulisan naskah. Dengan bantuan ini, diduga bahwa sinopsis cerita berasal dari Sukria, sedangkan penulisannya sepenuhnya oleh Yuhana. Hal itu jelas dari cerita itu secara keseluruhan, yang tidak menunjukkan adanya pergantian gaya bahasa serta sejalan dengan keterangan yang tertulis dalam jilid buku yang menyebutkan disangling 'digosok' 'dihaluskan' oleh Yuhana. Corak tema pun mirip dengan karangan-karangan Yuhana yang lainnya”.

Kemudian, apa yang saya dapat ajukan sekarang? Saya sendiri cenderung mengamini Yus Rusyana dan kawan-kawan, meski secara umum mereka semua senada pendapatnya. Mereka menyatakan kemungkinan besar Achmad Bassach sebagai penyadur kerangka cerita yang ditulis Soekria. Namun, Yus Rusyana dan kawan-kawan menyebut-nyebut Romans Bureau Joehana dan itulah yang akan sedikit saya elaborasi berdasarkan data yang saya peroleh.

Bukti yang saya ajukan terkait dengan identitas Soekria. Saya menduga namanya seperti Joehana, berupa sandiasma, karena nama aslinya sebagaimana yang saya temukan dalam buku Orang Indonesia yang Terkemuka di Jawa (1986: 286) adalah Raden Roehiat Martadinata. Pada tahun 1942, dia tercatat sebagai “pengarang Rikuyuu Sokyoku Bandoeng jg. bernama ‘Nan Sin’”.

Martadinata dilahirkan Cisayong, Tasikmalaya, pada 15 Agustus 1897. Pendidikannya antara lain ELS (1910) dan OSVIA (1916, d. com 1922). Pekerjaannya antara lain kerani di Departemen Peperangan Bandung (1917-1918) dan kerani biro di Jawatan Kereta Api Bandung (1918-1936). Konon, sejak 1918 hingga 1921, ia  memiliki “perhatian besar terhadap kesenian dan mengarang boekoe dan sandiwara; memboeat beberapa patoeng dari tanah keramiek (patoeng Pradjna Paramita)”. 

Sementara yang mengejutkan adalah mendapati “boekoe-boekoe dan sandiwara”-nya dengan judul Toedjoean Orang Hidoep, Salah Sangka, Pangeran Palsoe, Rasiah noe Goreng Patoet, dan Bis bae Katara. Nah kan, Rasiah noe Goreng Patoet tercatat sebagai karya Roehiat Martadinata. Lalu, apa berupa roman? Bila melihat kecenderungan Martadinata pada sandiwara atau tunil, saya pikir karya tersebut mestilah berbentuk repertoar tunil. Salah satu buktinya saya mendapati Bis bae Katara adalah repertoar tunil yang dimuat dalam surat kabar Siliwangi sebanyak delapan bagian pada 1921. Edisi terakhirnya dimuat dalam nomor 5, tahun pertama, 7 Juli 1921.

Dengan demikian, ada dua hal yang mendekatkan Roehiat Martadinata dengan Achmad Bassach. Pertama-tama mereka berdua bekerja di Jawatan Kereta Api, dengan tempat kerja hampir berdekatan. Pada 1918 Martadinata di Bandung, Achmad Bassach di Padalarang. Hal keduanya adalah punya kecenderungan yang sama pada tunil. Bahkan bila mengingat keterangan dari Siti Atikah mengenai aktivitas Bassach ke dalam dunia tunil sejak Gunung Kelud meletus besar (1919), itu lebih memperkuat lagi kedekatannya dengan Martadinata (sejak 1918). Dari sisi umur pun, antara Bassach dengan Martadinata dapat dikatakan sebaya, hanya berbeda sekitar tiga tahun lebih tua Bassach.

Oleh karena itu, saya kira Soekria adalah nama panggung Raden Roehiat Martadinata, ketika mementaskan repertoar-repertoar tunil yang ditulisnya. Atau bisa juga nama itu diambil Achmad Bassach dari tokoh roman Tjarios Eulis Atjih (Yus Rusyana dan kawan-kawan, 1987: 90), mengingat Martadinata sendiri enggan menggunakan nama aslinya, misalnya karena tidak hendak disangkut-pautkan dengan Bassach yang mantan pentolan komunis di Bandung.

Film Roesia Gadis Priangan

Karena sebelumnya kerap dipanggungkan dalam pagelaran tunil, ketika naskahnya ditulis ulang menjadi roman oleh Achmad Bassach, Rasiah noe Goreng Patoet kian banyak dikenal dan digemari para pembaca.

Karya itu menjadi lebih terkenal setelah diekranisasi menjadi film layar lebar. Saya mengetahuinya mula-mula dari Misbach Yusa Biran (Sejarah Film 1900-1950: Bikin Film di Jawa, 2009: 75-76). Menurut Misbach, bersama dengan Atma de Visscher, Terpaksa Menikah, Karnadi Anemer Bangkong dihasilkan oleh Krugers-Filmbedrijf di Bandung. Film cerita komedi yang dilengkapi nyanyian lagu lucu, tetapi belum ada dialog itu konon membuat amarah pribumi. Pasalnya, tokoh utamanya Karnadi, bandar kodok, digambarkan sangat menjengkelkan, karena terlihat makan kodok akibat dagangannya tidak laku. Oleh karena itu, seorang penonton film ini di Bioskop Orient Bandung saat itu dikatakan filmnya konyol, memalukan dan menghina orang Sunda.

Orang lainnya yang membahas ekranisasi film dari roman karya Achmad Bassach itu adalah Christopher Allen Woodrich (Ekranisasi Awal: Bringing Novels To the Silver Screen in the Dutch East Indies, 2014: 38-41). Menurut temuan Woodrich yang didasarkan pada koran-koran sezaman, filmnya bukan berjudul Karnadi Anemer Bangkong, melainkan Roesia Gadis Priangan, sementara judul Karnadi hanya disandarkan pada ingatan Mochtar Enoh. Film ini sekaligus ekranisasi kedua oleh G. Krugers dari karya Joehana.

Seperti yang disebutkan Misbach, Woodrich menggarisbawahi kontroversi yang menerpa film bikinan Krugers itu. Selain soal Karnadi yang digambarkan memakan kodok, Woodrich menyebut Krugers melanggar aturan biro sensor. Menurut Bataviaasch Nieuwsblad (1 Oktober 1932), ia dilaporkan ke pengadilan karena melanggar aturan sensor film, berupa memasukkan lagi adegan-adegan yang sebelumnya disuruh dipotong, dan timbulnya protes dari para penonton pribumi.

Namun, baik Misbach maupun Woodrich tidak menjelaskan kapan film Roesia Gadis Priangan mulai ditayangkan. Saya sendiri berhasil melacaknya dari koran-koran berbahasa Belanda dan Melayu. Dalam De Indische Courant edisi 11 Oktober 1930 dikatakan pada hari Rabu, 15 Oktober 1930 akan dipentaskan film baru Indis bertajuk Roesia Gadis Priangan alias Don Juan Indonesia di Centraal-Theater, Pasar Turi, Surabaya. Dalam koran yang sama, edisi 16 Oktober 1930, disebut-sebut film itu akan diputar besok di Centraal-Theater. Dari kedua keterangan ini, saya jadi yakin Roesia Gadis Priangan mulai beredar pada 1930 atau dua tahun setelah penerbitan romannya. Bahkan bila mengingat Krugers berdomisili di Bandung, pemutaran filmnya bisa jadi dilakukan sebelum pertengahan Oktober 1930, seperti yang terjadi di Surabaya.

Film Roesia Gadis Priangan terus diputar di daerah-daerah lain di Indonesia pada 1931. Film itu diputar di Banjarmasin, Kalimantan Selatan pada awal Maret 1931. Saya menemukan iklannya dalam Bintang Borneo edisi 3 Maret 1931. Di situ disebutkan judul lengkapnya Roesia Gadis Priangan atawa De Indonesische Don Juan, disertai keterangan, “Perloe sekalian menjatakan ini film Indonesia jang paling baroe dan termain oleh Toean2 dan Nonah2 Soenda di Bandoeng”.

Kemudian dalam koran terbitan Bandung, Kiauw Po edisi 9 Mei 1931, ada keluarga Tionghoa kaya di Bandung yang menikahkan anaknya dan sebagai hiburannya, di antaranya memutar film. Di situ dikatakan, “Hari Saptoe j.b.l. djam 8 malem di Chineesche Kerkweg telah dibikin dengen sanget rame boeat merajaken nikahnja Nona Tjoa Djoe Njo dapet pada toean Tan Siauw Hong dari Kertosono. Tetamoe-tetamoe lebih dari 1000 orang sedeng orang-orang jang toeroet nonton dan berdatangan sadja begitoe banjak”.

Sebagai hiburannya “tiga perkoempoelan muziek” dan “Sebrangnja itoe pekarang depan, ada dipertoendjoekken bisocope jang mengambil lelakon ‘Kernadi’ atawa Rasiah Priangan film bikinan Java, stamboel, ronggeng, wajang wong, dlls.”

Berita bertajuk “Roesia Gadis Preanger” dalam Mustika edisi 3 Agustus 1931 lumayan banyak memberi penjelasan. Koran yang berbasis di Yogyakarta itu antara lain mengabarkan “Dalam gedoeng biskoep National Biograph di Patoek, tadi malam dipertoendjoekkan film dengan nama sebagi di atas, bikinan di Indonesia. Film masih bagoes dan pandjang.” Namun, penulis berita menyayangkan film baru buatan Indonesia itu “semata-mata akan dibikin senda goerau sadja, maski senda goerau ini ta dapat samboetan dari penonton, karena kasarnja.”

Mengapa disebut kasar? Menurut koran itu adalah karena “Isi film pertama-tama, menampar benar kepada pendoedoek di Priangan. Maski penganten Karnadi jang roepanja amat boeroek dan ta’ ada oebahnja seperti kera itoe soedah lebih daripada tidak patoet apabila dikawinkan dengan seorang anak hartawan si tjantik manis, sebab Karnadi mengakoe djadi hoepanemer nama Soemtama si-kaja raja, ia dikawinkan djoega dengan gadis itoe. Karena oeang inilah, maka si-tjantik anak hartawan itoe kena pikat atas desekan orang toeanja. Sampai kawin ...!”

Padahal, sebenarnya “Njatalah bahwa Karnadi hanja toekang pentjari kodok sadja dan amat miskin”. Atas penggambaraan film tersebut, penulis berita akhirnya bertanya: “Betoelkah bangsa kita di Priangan sematjam itoe tabi'atnja?”

Akhirnya, kontroversi film itu dibahas di pengadilan pada 23 Maret 1933. Surat kabar yang melaporkannya antara lain Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie (23 Maret 1933), De Koerier (24 Maret 1933), dan De Locomotief (25 Maret 1933). Dari ketiga koran itu saya tahu G.E.A. Krugers dihadapkan ke De Raad van Justitie di Batavia dengan tuntutan denda sebesar 100 gulden atas tindakannya memasukkan adegan-adegan yang sebelumnya dilarang komisi sensor film.

Menurut, Lim Eng Soen, orang Tionghoa dari Cimahi dan menjadi distributor film, sekitar setahun yang lalu (1932), polisi mendatangi rumahnya untuk menyita film De Indonesische Don Juan (Rahasia jang Gadis Priangan). Ada tiga set film yang sudah selesai dan satu set negatif film yang disita, dengan total sebanyak 100 kaleng. Ia tidak tahu menahu film itu sudah diisi lagi adegan-adegan yang sebelumnya dilarang. Alhasil, saksi dan pembelanya, Mr. Sartono, menolak semua tuduhan.

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//