BIOGRAFI ACHMAD BASSACH (15): Menyundakan Karya A. Hassan dan Pustaka Persatoean Islam
Dalam tempo dua tahun, antara 1928 dan paruh pertama 1929, Achmad Bassach sibuk menjadi penerjemah Sunda.
Atep Kurnia
Peminat literasi dan budaya Sunda
11 Februari 2022
BandungBergerak.id - Beberapa tahun lalu, saya sempat berkirim surat elektronik kepada ahli antropologi dan kritikus sastra Indonesia, C.W. Watson. Di antara salah satu korespondensi, saya diberitahu oleh Pak Bill –sapaan akrabnya – bahwa ada satu katalog cukup lengkap, yang melingkupi buku-buku dan majalah-majalah yang diterbitkan di Indonesia sejak paruh kedua abad ke-19 hingga paruh pertama abad ke-20.
Kemungkinan besar saat itu saya sedang menanyakan ihwal penerbitan buku-buku non-Balai Pustaka, karena mengingat tesis Pak Bill berkaitan dengan sosiologi novel Indonesia pada masa awal perkembangannya. Ia juga sempat beberapa kali menulis ihwal penerbitan novel Indonesia di luar Balai Pustaka dalam jurnal ilmiah.
Buku katalog yang dimaksudkan oleh Pak Bill adalah Catalogus van Boeken en Tijdschriften Uitgegeven in Ned. Oost-Indië van 1870-1937 (1940a) yang disusun oleh G. Ockeloen. Setelah lama berselang, saya sempat memesan fotokopian katalog versi bahasa Indonesianya dari Perpustakaan Nasional. Judulnya Catalogus dari Boekoe-boekoe dan Madjallah-madjallah jang diterbitkan di Hindia Belanda dari tahoen 1870-1937 (1940b).
Belakangan, saya juga dapat mengakses versi Belandanya, sehingga akhirnya dapat kesempatan untuk melihat-lihat dan menelusuri kedua versi katalog susunan Ockeloen itu. Salah satu yang saya telusuri adalah buku-buku terbitan Bahagian Poestaka Persatoean Islam, Bandoeng, terutama terjemahan Sunda. Maksud lebih khususnya menjejaki hasil-hasil terjemahan yang dikerjakan oleh Achmad Bassach.
Setelah saya telusuri, saya menemukan apa yang dicari-cari. Di dalam katalog itu saya menemukan antara lain Al-Djawahir: Ajat dan Hadits yang berbahasa Melayu (1940b: 16), lalu Al-Boerhan: Kitab Fiqih basa Soenda, disalin tina Al-Boerhan basa Melajoe, Al-Foerqan: Tafsir Qoeran Basa Soenda, dan Kitab Fiqh Al-Boerhan dan bahasa Melayu (1940b: 175).
Yang menarik, Al-Boerhan: Kitab Fiqih basa Soenda diberi keterangan tambahan bahwa bagian pertamanya disundakan oleh Mh. Anwar Sanuci dan Mh. Djoenaedi, sementara bagian keduanya disundakan oleh Achmad Bassach. Untuk Al-Foerqan: Tafsir Qoeran Basa Soenda diberi rincian bahwa bagian pertama, kedua, keempat, dan kelima disundakan oleh Mh. Anwar Sanuci dan Mh. Djoenaedi (“Bagian ka 1-2-4-5 Disalin tina Al-Foerqan basa Melajoe koe Mh. Anwar Sanuci djeung Mh. Djoenaedi”).
Lalu, pertanyaannya, sebenarnya dari ketiga karya itu mana yang lebih duluan terbit? Lalu, bagian mana saja yang disundakan oleh Achmad Bassach, selain yang sudah disebutkan di atas? Untuk menjawab pertanyaan pertama saya akan menggalinya dari koran Sipatahoenan antara 1928 dan 1929. Untuk menjawab pertanyaan kedua sebenarnya saya sudah lebih dulu mendapatkan buktinya dari pindaian Al-Djawahir dan Al-Foerqan versi Sunda kiriman penulis senior, Jajang A Rohmana.
Baca Juga: BIOGRAFI ACHMAD BASSACH (12): Rahasia Buku Karnadi Si Pencari Kodok
BIOGRAFI ACHMAD BASSACH (13): Masih Tidak Berpolitik?
BIOGRAFI ACHMAD BASSACH (14): Cerita Bersambung dalam Majalah Parahiangan
Al-Foerqan, Al-Boerhan, dan Al-Djawahir
Hasil penelusuran dari Sipatahoenan antara 1928-1929 membuktikan urutan penerbitan ketiga buku yang disebutkan di atas adalah Al-Foerqan, Al-Boerhan, dan Al-Djawahir, yang mula-mula terbit dalam bahasa Melayu, lalu disusul versi Sundanya, atau bahkan bisa jadi berbarengan.
Dalam Sipatahoenan edisi 7 Agustus 1928 ada iklan buku Al-Foerqan. Di situ antara lain disebutkan buku tersebut adalah “Satoe tafsir jang beloem pernah ada bandingannja di segala bahasa” dan cara menafsirkannya “Diartikan tiap-tiap satoe kalimah dari satoe ajat setjara Woordenboek, lantas diberi arti rangkaian, lantas diberi katerangan (noot), lantas diberi rengkasan boeat tiap·tiap ajat”. Di bawahnya diberi keterangan buku itu “Bisa dapat dari kantoor PERSATOEAN ISLAM” dengan alamat “Pangeran Soemedangweg Bandoeng”.
Kemudian dalam Sipatahoenan edisi 30 Oktober 1928 mulai ada iklan terjemahan Sunda Al-Foerqan. Di situ dikatakan “Bahagian I dan II soedah terbit. Bahagi (sic) III akan terbit pada 1-11-28. Sebahagian f 1 – ongkos vrij” dan “Al-Foerqan bahasa Soenda akan terbit pada 1-11-28, harga f 0.80”. Lalu dalam Sipatahoenan edisi 27 November 1928 ada iklan bertajuk “Kitab Fiqh dan Tafsir Qoeran”. Yang dimaksud kitab fiqih adalah Al-Boerhan yang diterangkan sebagai “Kitab hoekoem-hoekoem ibadat Islam, katerangannja hanja dari Qoeran dan Hadits bagian I f 1, - soedah terbit”. Sementara untuk Al-Foerqan yang berbahasa Sunda jilid pertama dikatakan sudah terbit (“Jang BAHASA SOENDA bahagian I f 0.80 soedah terbit”).
Memasuki Januari 1929, Al-Foerqan versi Sunda sudah terbit dua bagian dengan masing-masing seharga f. 80, sementara versi Melayunya sudah tiga jilid dengan harga f 1 (“Tafsir Qoeran bahasa Melajoe telah terbit 3 bahagian a f 1. Jang bahasa Soenda telah terbit 2 bahagian a f. 0.80”). Sedangkan untuk Al-Boerhan dikatakan “Kitab Fiqh bahasa Melajoe telah terbit bahagian pertama a f 1. Jang bahasa Soenda bahagian pertama f. 0.70”. Informasinya dalam Sipatahoenan edisi 26 Januari 1929.
Dua bulan kemudian, dalam Sipatahoenan edisi 20 Maret 1929 diiklankan baik versi Melayu maupun Sunda Al-Boerhan sudah terbit sebanyak dua jilid (“Telah terbit bahagian jang kedoea dari kitab: AL-BOERHAN. MELAJOE DAN SOENDA. Harga f I”). Dalam edisi 11 Mei 1929 atau sehari sebelum Achmad Bassach meninggal dunia, Sipatahoenan memuat iklan yang memberi tahu jilid ketiga Al-Foerqan versi Melayu dan Sunda sudah terbit, jilid kedua Al-Boerhan dalam bahasa Melayu maupun Sunda sudah terbit, ditambah Al-Djawahir jilid pertama.
Sebagai Penerjemah
Dalam buku Ockeloen di atas dikatakan untuk jilid pertama, kedua, keempat, dan kelima Al-Foerqan disundakan oleh Mh. Anwar Sanuci dan Mh. Djoenaedi. Dengan demikian, jilid ketiga tidak diterjemahkan oleh mereka. Inilah yang saya lihat dari pindaian yang dikirimkan oleh Jajang A Rohmana.
Dalam jilidnya terbaca “Al-Foerqan: Tafsir Qoeran. Disalin tina Al-Foerqan Malajoe. Karangan A. Hassan (Goeroe Persatoean Islam Bandoeng) koe Achmad Bassach alias Joehana hidji pangarang Soenda di Bandoeng” (Al-Foerqan: Tafsir Qoeran. Diterjemahkan dari Al-Foerqan berbahasa Melayu. Karya A. Hassan [Guru Persatuan Islam Bandung] oleh Achmad Bassach alias Joehana seorang pengarang Sunda di Bandung). Keterangan inilah yang menjawab soal siapa yang menerjamahkan jilid ketiga Al-Foerqan yang tidak dilakukan oleh Mh. Anwar Sanuci dan Mh. Djoenaedi.
Bila melihat ke dalamnya, bagian ketiga itu berisi tafsir atas Surat Al-Baqarah ayat 98 hingga ayat 177. Satu contoh hasil terjemahan Achmad Bassach bisa dilihat dari ayat 98 “Saha-saha djadi moesoeh ka Allah, ka MalaikatNa, ka rasoel-rasoelNa, ka Djibril djeung ka Mikail, mangka saenja-enjana Allah djadi moesoeh ka djelema-djelema noe kafir”. Satu contoh lagi ayat 176 yang disundakan oleh Achmad Bassach menjadi “Noe kitoe, nja eta sabab saenjana Allah noeroenkeun Kitab-kitab teh kalawan [mawa] kabeneran, tapi djelema2 noe patjektjokan tina hal Kitab2 tea di djero kasasaran noe djaoeh”.
Sayang untuk Al-Boerhan hasil terjemahan Achmad Bassach hingga sekarang belum dapat saya peroleh. Oleh karena itu, saya hanya dapat bersandar kepada keterangan Ockeloen di atas. Ia menuliskan “Al-Boerhan. Kitab Fiqih basa, Soenda. Disalin tina Al-Boerhan basa Melajoe. Bagian ka I-II. Bandoeng, Persatoean Islam. 1929. Lambaran 1-123. I. Disalin koe Mh. Anwar Sanuci djeung Mh. Djoenaedi. (H) 1347 (AK) 1929. II. Disalin koe Achmad Bassach. 1929”. Dengan kata lain, Al-Boerhan sama sebagaimana yang diiklan dalam Sipatahoenan terbit dalam dua jilid, baik versi Melayu maupun Sunda. Terjemahan Sunda jilid pertamanya dikerjakan oleh Mh. Anwar Sanuci dan Mh. Djoenaedi sementara jilid keduanya disundakan oleh Achmad Bassach.
Terakhir, saya mendapatkan pindaian Al-Djawahir jilid pertama, juga dari Jajang A Rohmana. Setelah melihat jilidnya saya jadi tahu itu adalah satu buku yang menggunakan empat bahasa, yaitu Melayu, Jawa, Sunda, dan Belanda. Judul selengkapnya Al-Djawahir (Permata2): Seboeah kitab jang berisi beberapa ajat Qoer’an dan hadits Nabi jang penting2.
Lalu di bawahnya diberi keterangan para penulis dan penerjemahnya. Di situ terbaca “Diatoer dan dimelajoekan oleh Pemoeka2 Persatoean Islam, Bandoeng. Didjawakan oleh Toean A.D. Haanie, Pemoeka Wal-Fadjari, Djokja. Disoendakan oleh Toean Achmad Bassach alias Joehana, Bandoeng. Dibelandakan oleh Toean Fachroeddin Alkhahiri, A.M.S., Bandoeng”.
Sebagai salah satu contohnya, dapat saya ajukan hasil terjemahan bacaan taudz. Dalam versi Melayu adalah sebagai berikut “Akoe berlindoeng kepada Allah daripada (ganggoean) sjaithan jang terkoetoek”. Versi Jawanya “Jen kowe matja Qoer’an, njoewoena reksa marang Allah saka setan kang rinandjam”. Versi Sunda hasil terjemahan Achmad Bassach, “Lamoen matja Qoer’an maneh teh koedoe njalindoeng ka Allah tina (panggoda) setan noe dila’nat” dan bahasa Belandanya “Wanneer gij den Qoer’an leest, zoek dan bescherming bij Allah”.
Sebegitu jauh, apa yang dapat kita simpulkan dari uraian di atas? Hal pertama yang jelas adalah dalam tempo dua tahun, antara tahun 1928 dan paruh pertama 1929, Achmad Bassach sibuk menjadi penerjemah Sunda atas buku-buku yang diterbitkan oleh Bahagian Poestaka, Persatoean Islam Bandoeng. Ini dilakukannya di sela-sela pekerjaan utamanya menulis roman-roman dan buku-buku Sunda lainnya.
Ini juga dilakukannya di saat ia membuka usaha jasa kepenulisan (Romans Bureau Joehana) dan kesibukannya sebagai manajer, bahkan kemungkinan sebagai pemain, bagi perhimpunan tunil yang dikelolanya. Untuk keperluan pementasan, tidak jarang ia harus turut pula berkeliling ke daerah-daerah lain, dan nanti akan sangat kentara ketika menjelang kematiannya. Dengan demikian, penerjemahan itu dikerjakan Achmad Bassach di tengah-tengah kegiatan lainnya yang juga memakan waktu dan menguras tenaga serta pikirannya.
Hal kedua, dengan adanya ketiga terjemahan di atas sudah jelas memperlihatkan kedekatan Achmad Bassach dengan orang-orang yang terlibat di dalam organisasi Persatoean Islam, yang didirikan pada 12 September 1923 oleh para saudagar muslim yang telah lama pindah dari Palembang ke Bandung (Howard M. Federspiel, The Persatuan Islam: Islamic Union, 1966: 17-18). Kedekatan inilah yang saya kira memperkuat dugaan Prof. Iskandarwassid bahwa sebenarnya Achmad Bassach adalah keturunan orang Palembang, bahkan konon dilahirkan di Palembang, yang besar di Bandung dan mengidentifikasikan dirinya sebagai orang Sunda, sebagaimana para pemuka Persatoean Islam.
Hal ketiga dan yang terakhir, ketiga terjemahan Sunda yang dikerjakan Achmad Bassach membuktikan komitmennya terhadap Islam. Dengan kata lain, meski pada saat aktif-aktifnya dalam serikat buruh kereta api yang sangat lekat dengan ideologi kiri, demikian juga saat memimpin Sarekat Rakyat Bandung yang berafiliasi ke Partij Komunist India (PKI), tidak serta merta menyebabkan Achmad Bassach meninggalkan Islam. Sebab, sebagaimana yang dapat dilihat dari publikasi esai-esainya dalam surat kabar Poesaka (1919), Achmad Bassach seakan-akan menegaskan bahwa “menjadi kiri” tidak akan mengikis habis akar-akar Islam yang sudah tertanam sejak kecil, saat berada di bawah pengasuhan ayahnya, yang juga seorang penulis.