BIOGRAFI ACHMAD BASSACH (16): Manggung di Tasikmalaya, Meninggal di Bandung
Sepulang pementasan di Tasikmalaya, Achmad Bassach jatuh sakit dan ada kemungkinan dibawa ke rumah sakit, sehingga dapat diketahui penyebab di balik kematiannya.
Atep Kurnia
Peminat literasi dan budaya Sunda
18 Februari 2022
BandungBergerak.id - Sebagaimana yang sudah saya ungkap sebelumnya, dapat dibilang karier kepenulisan Achmad Bassach seiring sejalan dengan kegiatannya menghidupkan perhimpunan tunil. Pada beberapa hal tertentu bahkan aktivitas kepenulisan dan pementasan tunil tidak dapat dipisahkan. Karena roman-roman yang ditulisnya dijadikan repertoar tunil.
Bukti paling kuat mengenai hal ini adalah warta dari Soerapati edisi 19 Desember 1925. Di situ ada sanggahan redaksi terhadap tuduhan koran AID de Preanger-bode, yang menyangka pementasan Tjarios Eulis Atjih oleh grup tunil Galoeh Pakoean yang diusahakan oleh Achmad Bassach. AID menuduh hasil pementasannya didermakan untuk menghidupi kaum komunis yang tidak punya pekerjaan (“Ieu tooneel teh dipingpin koe Communist Achmad Bassach, sarta beubeunanganana bakal didermakeun ka pamingpin-pamingpin Communist noe teu boga kahiroepan”).
Dari kutipan itu, saya menduga perhimpunan tunil yang dimiliki Achmad Bassach itu bernama Galoeh Pakoean. Bisa jadi, itulah nama grup tunilnya yang pertama, sebelum nantinya pada 1929, namanya adalah Sport, Muziek en Tooneelvereeniging Sasaka Domas.
Pencantuman kata sport, musik, dan tunil pada suatu perhimpunan adalah hal lumrah terjadi di Hindia Belanda sejak lama. Misalnya, Scherm en Gymnastiek-Vereeniging Olympia yang didirikan oleh Wim Kuik pada Januari 1900, tidak melulu berurusan dengan anggar dan senam, melainkan juga dengan pagelaran musik. Olympia untuk pertama kalinya menyajikan pementasan musik pada 7 Juli 1900, di gedung Vereeniging Braga, dan yang kedua pada 21 Januari 1901 (AID, 5 Juli 1900 dan 23 Januari 1901).
Satu contoh lagi dapat ditimba dari Sport en Muziekvereeniging Diana yang didirikan di Tegallega, pada 1923. Perhimpunan ini konon berkaitan dengan “sagala anoe keur dipadjoe tina hal gymnastiek, pentja djeung musik” (segala ihwal yang sedang dilakukan berkaitan dengan gimnastik, pencak silat, dan musik) (Sipatahoenan, 15 Juni 1932 dan 20 Maret 1933).
Dengan demikian, yang dilakukan Achmad Bassach sejak memutuskan untuk menjadi pengarang Sunda sekaligus pengelola perhimpunan olahraga, musik, dan tunil adalah sesuatu yang sudah terbiasa dilakukan oleh orang-orang sebelumnya. Hanya saja, itu tadi, naskah-naskah pementasan (repertoar) yang dimainkan baik oleh Galoeh Pakoean maupun Sasaka Domas berasal dari roman karya Achmad Bassach.
Bahkan Achmad Bassach meninggal dunia setelah beberapa hari menampilkan tunil yang bahan pagelarannya diangkat dari roman-romannya. Ia meninggal di Bandung pada 12 Mei 1929 sepulang memanggungkan karyanya di Tasikmalaya antara tanggal 6 dan 7 Mei 1929 atau seminggu sebelum meninggal dunia.
Baca Juga: BIOGRAFI ACHMAD BASSACH (13): Masih Tidak Berpolitik?
BIOGRAFI ACHMAD BASSACH (14): Cerita Bersambung dalam Majalah Parahiangan
BIOGRAFI ACHMAD BASSACH (15): Menyundakan Karya A. Hassan dan Pustaka Persatoean Islam
Pagelaran di Bioskop Galunggung
Rencana pementasan Sasaka Domas mula-mula mengemuka dalam Sipatahoenan edisi 30 Maret 1929. Di situ dikatakan, “Sawatara poe deui, ngan teu atjan tangtoe naon tanggal sabaraha, Toonelvereeniging Sasaka Domas ti Bandoeng baris nembongkeun kabinangkitaana di Tasikmalaja” (Beberapa hari lagi, hanya tanggalnya belum pasti, perhimpunan tunil Sasaka Domas dari Bandung akan mempertunjukkan kebolehannya di Tasikmalaya).
Dalam lanjutan berita tersebut dinyatakan masyarakat Tasikmalaya sudah menanti-nanti kedatangan perhimpunan tunil yang sudah demikian terkenal itu (“Geus moal salah deui, tangtoe oerang Tasikmalaja rea noe ngarep-ngarep hajang geura nongton kabinangkitanana toonoeelvereeniging anoe geus sakitoe kawentarkeunana”).
Berita di atas menyatakan pementasan yang jadinya diselenggarakan pada 6-7 Mei 1929 itu sudah dikabarkan hampir sebulan lebih sebelum pertunjukannya. Atau berita 30 Maret 1929 itu pementasan yang berbeda dari Sasaka Domas? Meski kemungkinannya sangat terbuka, mengingat sudah sedemikian terkenalnya perhimpunan itu, tapi karena mendapatkan berita lengkap setelah pementasannya saya yakin berita pada 30 Maret 1929 itu baru terlaksana pada 6-7 Mei 1929.
Laporan lengkap pementasannya ada dalam Sipatahoenan edisi 11 Mei 1929. Pada awal beritanya dikatakan, “Dina tanggal 6 djeung 7 boelan ieu, Sport, Muziek en Tooneelvereeniging Sasaska Domas ti Bandoeng, geus nembongkeun kabinangkitanana tina bab tooneel di Galoenggoeng Bioscoop Tasikmalaja” (Pada tanggal 6 dan 7 bulan sekarang, Sport, Muziek en Tooneelvereeniging Sasaska Domas dari Bandung telah memperlihatkan kebolehannya dalam hal tunil di Bioskop Galunggung, Tasikmalaya).
Sebagaimana diduga sebelumnya, dalam pementasan selama dua malam itu, Sasaka Domas menampilkan dua repertoar dari roman karya Achmad Bassach. Malam pertama yang dihidangkan adalah Kalepatan Poetra Dosana Iboe Rama dan malam kedua Hoetang Lara Bajar Lara. Dalam berita dikatakan, “Peuting ka I, lalakon Kalepatan Poetra Dosana Iboe Rama, dina peuting ka II, lalakon Hoetang Lara Bajar Lara. Ieu tooneel diloeloegoean koe Djoeragan Achmad Bassach”).
Mengenai Hoetang Lara Bajar Lara sangat menarik. Karena mengingatkan saya pada cerita bersambung Achmad Bassach yang dimuat dalam majalah Parahiangan antara 1 Desember 1928 hingga 7 Februari 1929. Hanya saja judulnya Hoetang Njeri Bajar Njeri. Dengan demikian, sangat terbuka kemungkinan setelah dimuat dalam Parahiangan, kisahnya dijadikan lakon tunil dan judulnya diganti menjadi Hoetang Lara Bajar Lara.
Selanjutnya, bagaimana para penonton pentas Kalepatan Poetra Dosana Iboe Rama dan Hoetang Lara Bajar Lara itu? Dalam laporan Sipatahoenan selanjutnya digambarkan sebagai berikut: “Gedong bioscoop anoe sakitoe gedena, dina peuting ka I mah, nepi ka ngarasa koerang gede, bakating koe rea-reana noe laladjo, nepi ka kapaksa rea noe baralik deui, lantaran teu bisa asoep” (Gedung bioskop yang demikian besar itu pada malam pertama terasa kekecilan, mengingat saking banyaknya penonton, sehingga terpaksa para penonton itu pulang lagi, karena tidak bisa masuk).
Bagaiamana malam kedua? Ternyata setali tiga uang, karena dalam laporan dikatakan, “Dina peuting ka II oge, henteu boeroeng rea anoe narangtoeng” (Pada malam kedua pun banyak para penonton yang harus rela berdiri).
Penyebab membeludaknya penonton itu, menurut penulis laporan, adalah di samping telah termasyhur permainannya pun sangat bagus, sangat persis dengan kejadian nyata, sehingga emosi para penonton turut hanyut. Seperti ketika ada adegan menyedihkan, konon, banyak penonton yang menitikkan air mata (“Meudjeuhna sanadjan rek kitoe oge, sari sababna, lain ngan doemeh geus mashoer bae ieu tooneelvereeniging teh, dina prakprakanana maen oge, enja, mani meh teu aja tjawadeunanan, sagala tjeples, sagala djiga, narikna kana hare noe laladjo, boh kana kagoembiraan, boh kana kasedihan katjida barisana, dina lebah nalangsa, nepi ka rea noe ragrag tjipanon teh lain heuheureujan”).
Meski demikian, konon, ada sedikit kekeliruan para pemainnya. Namun, tidak mengganggu keseluruhan jalan cerita. Sementara yang membuat terheran-heran penulis laporan adalah dalam rencana semula sekolah MULO Pasoendan Tasikmalaya hanya akan mendapatkan derma sepuluh persen dari hasil bersih pendapatan malam pertama (“Istoening henteu sangka pisan, da poegoeh henteu aja babadamian ti tadina, tina beubeunangan beresih peuting ka I, MULO Pasoendan Tasikmalaja meunang derma 10%”).
Rupanya di balik pagelaran Sasaka Domas di Tasikmalaya memang dilandasi keperluan Paguyuban Pasundan Cabang Tasikmalaya untuk mendapatkan biaya pembangunan gedung MULO. Meski pendapatan dari derma tersebut tidak terlalu banyak, tetapi tetap saja, menurut penulis laporan, besar artinya demi keperluan umum.
Dengan laporan itu, saya jadi dapat menyimpulkan Achmad Bassach punya kepedulian sosial yang besar. Pemanggungan Kalepatan Poetra Dosana Iboe Rama dan Hoetang Lara Bajar Lara di Tasikmalaya pada 6-7 Mei 1929 menjadi bukti berikutnya dari kebiasaan Achmad Bassach membantu orang atau pihak-pihak yang sedang kesusahan. Ini seperti menegaskan temuan Tini Kartini dan kawan-kawan (1979) bahwa Achmad Bassach, termasuk istrinya Siti Atikah, terlibat dalam penggalangan dana untuk korban bencana letusan Gunung Kelud. Demikian pula yang dibilang redaksi Soerapati, meski isinya menyangkal tuduhan AID.
Pada sisi lainnya, pementasan di Tasikmalaya menjadi bukti kedekatan Achmad Bassach dengan Paguyuban Pasundan, khususnya cabang Tasikmalaya. Apakah itu juga membuktikan komitmennnya yang kuat terhadap kesundaan, meskipun latar belakangnya lahir di Palembang dan besar di Bandung? Atau dengan kata lain, apakah itu merupakan bukti kuat betapa afiliasi Achmad Bassach terhadap kesundaan terbilang sangat besar?
Gagal Jantung
Enam hari setelah mementaskan Kalepatan Poetra Dosana Iboe Rama dan Hoetang Lara Bajar Lara di Tasikmalaya, Achmad Bassach diwartakan meninggal dunia. Dari urutan pemberitaannya, saya kira yang pertama-tama mengabarkannya adalah surat kabar Keng Po edisi 13 Mei 1929, sehari setelah Achmad Bassach meninggal dunia.
Dalam tulisan obituari bertajuk “Johana alias Toean Achmad Bassach Meninggal Doenia”, S menyatakan “Dengen sedih hati pada malem Minggoe kemaren doeloe kita dapet telefoon dari Bandoeng bahoewa kita poenja sobat dan medewerker, Toean Achmad Bassach telah menoetoep matanja boeat selama-lamanja, kira-kira djam setengah delapan itoe sore, kerna hartverlamming”.
Dari berita Keng Po, kita jadi sama-sama tahu penyebab Achmad Bassach meninggal adalah karena hartverlamming atau gagal jantung. Barangkali sepulang pementasan di Tasikmalaya, Achmad Bassach jatuh sakit dan ada kemungkinan dibawa ke rumah sakit atau paling tidak diperiksa dokter, sehingga dapat diketahui penyebab di balik kematiannya.
Sementara redaksi Sipatahoenan mendapatkan kabarnya selang dua hari setelah Achmad Bassach meninggal (No. 39, 15 Mei 1929). Koran Sunda berbasis di Tasikmalaya itu juga mendapatkan kabarnya melalui telepon. Berikut ini warta selengkapnya: “Meunang kabar telefoon ti Bandoeng, jen Djoeragan Achmad Bassach pangarang roepa-roepa boekoe roman basa Soenda noe make ngaran samaran Joehana, sarta djadi Tooneel Directeur ti Sport, Muziek en Tooneelvereeniging Sasaka Domas di Bandoeng, dina malem Senen tanggal 12/13 boelan ieu geus tilar doenja. Inna Lillahi wa inna ilaihi rodjioen”.
Artinya kira-kira, redaksi mendapatkan kabar melalui sambungan telepon dari Bandung bahwa tuan Achmad Bassach, yang merupakan pengarang berbagai buku roman berbahasa Sunda dan biasa menggunakan sandiasma Joehana serta menjadi direktur Sport, Muziek en Tooneelvereeniging Sasaka Domas di Bandung, telah meninggal dunia pada malam Senin, tanggal 12/13 bulan ini. Inna lillahi wa inna ilaihi rajiun.
Koran Bahagia juga mengabarkannya pada 15 Mei 1929. Surat kabar terbitan Semarang itu mengutip obituari yang ditulis oleh S dalam Keng Po. Pada awal tulisannya, redaksi Bahagia menulis, “Pada malam Minggoe jl. di Bandoeng telah meninggal doenia Toean Achmad Bassach, kerena terserang hartverlamming”. Selanjutnya, untuk pengantar bahwa sumber tulisannya berasal dari Keng Po, redaktur Bahagia menulis, “Toean S dalam Keng Po telah menulis riwajatnja pengarang jang meninggal doenia ini, jang kita anggap ada penting djoega boeat dapat perhatian”.
Dari tiga berita di atas, ada perbedaan penyebutan hari ketika Achmad Bassach meninggal dunia. Keng Po dan Bahagia menyebutkan malam Minggu yang berarti Sabtu, sementara Sipatahoenan menyebutnya malam Senin yang berarti Minggu. Saya sendiri melihat persisnya dari kalender tahun 1929. Dari situ saya tahu yang betul Keng Po dan Bahagia. Achmad Bassach meninggal dunia di Bandung pada hari Sabtu, 12 Mei 1929.
Buku Riwayat Hidup
Karena menjelang akhir hayatnya Achmad Bassach erat kaitannya dengan Tasikmalaya, sangat wajar bila enam hari kemudian sudah tersiar kabar ihwal rencana penerbitan buku riwayat hidupnya yang ditulis dan akan diterbitkan di Tasikmalaya.
Kabarnya mengemuka dalam Sipatahoenan edisi 18 Mei 1929. Di situ ada berita bertajuk “Sadjarahna djrg. Achmad Bassach”. Mula-mula dinyatakan tentang warta kematian Achmad Bassach dalam Sipatahoenan edisi nomor 39, disusul kabar tentang pencetakan buku riwayat hidupnya, untuk menjawab rasa penasaran mengenai siapa Achmad Bassach, bagaimana kehidupannya sejak lahir hingga meninggal.
Dalam Sipatahoenan tertulis demikian, “Koe sabab rea keneh anoe samar, saha tea Joehana (Achmad Bassach) teh djeung koemaha sadjarah dina keur hiroepna, ajeuna keur ditjitak, hidji boekoe anoe njaritakeun ti barang goemelar ka doenja nepi ka maotna. Geus moal boa ieu boekoe tangtoe pajoena, sabab pada hajang njaho ka djalma anoe sakitoe mashoerna”.
Rencananya buku itu akan dijual murah, seharga tidak lebih dari f 0.25 atau 25 sen. Penerbitnya Boekhandel en Drukkerij Galoenggoeng, Tasikmalaya, dan penulisnya orang yang menggunakan sandiasma Toenggara (“Soepaja rea noe njaho, hargana oge ngahadja dimoemoerah pisan, koe kira-kira moal leuwih ti f 0.25, baris dikaloearkeun koe Boekhandel & Drukkery Galoenggoeng di Tasikmalaja. Dikarang sarta dikoempoelkeun koe Toenggara”).
Iklan bukunya sendiri baru saya lihat dalam Sipatahoenan edisi 22 Juni 1929. Di situ ada iklan toko buku Indonesische Boekhandel Gentra yang beralamat di Kalidjaga No. 45, Tasikmalaya, yang antara lain menjual buku Joehana (Sadjarahna Pangarang) seharga f. 30 atau 30 sen. Sementara redaksi Sipatahoenan baru menerima bukunya pada awal Juli dan dikabarkan pada edisi 10 Juli 1929. Di situ disebutkan redaksi berterimakasih karena dikirimi buku Joehana dari Boekhandel en Drukkerij Galoenggoeng dan menyatakan sedikit isi bukunya.
“Anoe geus ngabakoe sok matja boekoe karangan Joehana, tangtoe hajang njaho kana ieu boekoe, komo deui dina ieu boekoe ditjaritakeun koemaha pamandanganana djalma rea ka andjeunna, ari hargana henteu sakoemaha ngan f. 30” (Yang terbiasa membaca buku karya Joehana, tentu akan penasaran kepada buku ini, apalagi di dalamnya diceritakan bagaimana pandangan orang banyak kepada dirinya. Sementara harganya termasuk murah, hanya f. 30). Demikian yang ditulis redaksi Sipatahoenan selanjutnya.
Iklan buku Joehana itu terus bertahan di Sipatahoenan. Hingga September 1929, saya masih mendapati iklannya. Misalnya, dalam edisi 4 September 1929, ada iklan tersendiri untuk buku itu. Di situ dikatakan Boekoe Sadjarah Joehana yang “dikarang koe Toenggara” (ditulis oleh Toenggara”) “Tiasa ngagaleuh ka oenggal toko boekoe, pangaos 30 sen” (bisa membeli pada setiap toko buku, harganya 30 sen’).
Sayang sekali, hingga hari ini, saya belum bisa mendapatkan buku riwayat hidup Achmad Bassach itu. Padahal, saya dan barangkali banyak juga yang lainnya sama-sama penasaran, sehingga saya sendiri berharap suatu hari nanti punya kesempatan untuk dapat melihat dan membacanya. Maksudnya tentu saja untuk memperkaya pengetahuan sekaligus memperluas cakrawala tentang sepak terjang Achmad Bassach.