• Liputan Khusus
  • JELAJAH KUBURAN-KUBURAN DI BANDUNG (3): Nilai Sejarah dan Masalah di TPU Pandu

JELAJAH KUBURAN-KUBURAN DI BANDUNG (3): Nilai Sejarah dan Masalah di TPU Pandu

TPU Pandu yang kaya akan nilai sejarah, namun juga memiliki permasalahan yang tidak mudah dipecahkan, mulai pendataan, ruang terbuka hijau, hingga pembongkaran.

Mausoleum keluarga Ursone, juragan peternakan sapi perah di Lembang, di TPU Pandu, Kota Bandung, Minggu (6/6/2021). (Foto: Virliya Putricantika/BandungBergerak.id)

Penulis Reza Khoerul Iman28 Februari 2022


BandungBergerak.id – Tempat Permakaman Umum (TPU) Pandu merupakan salah satu permakaman di Kota Bandung yang memiliki banyak daya tarik. Makam yang terletak di Kelurahan Pamoyanan, Kecamatan Cicendo ini sering kali dikunjungi orang dari beragam kalangan selain peziarah, mulai dari pecinta sejarah dan heritage hingga akademikus atau peneliti.

Salah satu daya tarik yang membuat keberadaan makam ini cukup tenar adalah nilai historisnya. Makam yang telah didirikan sejak tahun 1932 itu menjadi tempat peristirahatan terakhir para tokoh yang turut mewarnai perkembangan pembangunan Kota Bandung pada masanya.

Pada tahun 1973, permakaman Pandu menjadi salah satu TPU untuk merelokasi permakaman Kerkhof Kebon Jahe di Jalan Pajajaran yang digusur. Lahan bekas Kerkhof Kebon Jahe kemudian menjadi sarana olahraga yang sekarang dikenal sebagai Sport Hall Pajajaran.

Sebagian makam yang kini terdapat di Pandu merupakan alumni dari penggusuran Kerkhof Kebon Jahe, seperti Mausoleumnya keluarga Ursone, pemilik peternakan sapi perah di Lembang. Namun nahasnya, sebagian besar makam di Kerkhof Kebon Jahe tidak dapat diselamatkan. Haryoto Kunto menyebut peristiwa itu sebagai kerugian besar bagi sejarah dan budaya Kota Bandung.

“Siapa sebenarnya yang patut “berduka” dengan pembongkaran Kerkhof di Jl. Pajajaran itu? tentunya, para “peminat” Sejarah Budaya dan warga Kota Bandung pada umumnya. Karena penggusuran Kerkhof Jl. Pajajaran di akhir tahun 1973, tanpa persiapan yang sistematis untuk menyelamatkan prasasti, batu nisan marmer dan tembaga, pot batu granit dalam segala bentuk dan ukuran, arca marmer/granit/batu/tembaga, topeng wajah, ornamen, pagar-pintu besi-tuang, pilar-pilar marmer dari Carara-Itali, tegel porselen dan patung “malaikat” – sungguh suatu kerugian yang tiada taranya bagi Sejarah dan Budaya Kota Bandung,” ungkap Haryoto Kunto, dalam buku Wajah Bandoeng Tempo Doeloe.

Profil TPU Pandu

Nama Pandu mungkin akan terdengar asing bagi sebagian orang. Hal ini disebabkan karena Pandu bukanlah sebuah nama yang sering dijumpai oleh masyarakat. Pandu diambil dari nama tokoh dalam wiracarita Mahabharata, ayah dari para Pandawa.

Kompleks permakaman tersebut dinamakan Pandu karena lokasinya terletak di wilayah permukiman dengan ciri jalan dari nama-nama tokoh pewayangan, seperti Jalan Kurawa, Jalan Nakula, Jalan Sadewa, Jalan Baladewa, dan lain-lain.

TPU Pandu berdiri di lahan seluas 83.000 meter persegi. Dari total luas tersebut, 69.945 meter persegi telah digunakan untuk permakaman, dan tinggal 13.055 meter persegi lagi yang masih lahan kosong, berdasarkan data Dinas Cipta Kaya, Bina Konstruksi dan Tata Ruang (Distaru) Kota Bandung 2017. Data ini memang data lama yang belum ada pemutakhiran.

TPU Pandu terbagi ke dalam lima blok, yaitu blok CA, CB1, CB2, T1 dan T2. Blok CA terdapat di sebelah timur atau kanan jalan utama, blok ini terus memanjang ke utara sampai ke Jalan Terusan Pasteur. Sementara blok CB1 dan CB2 terletak di sebelah barat, memanjang seperti blok CA. Adapun blok T1 dan T2 terletak di ujung paling barat. Peta blok permakaman Pandu dapat dilihat di depan kantor TPU Pandu.

Pantauan BandungBergerak.id, jumlah makam di TPU ini terlihat amat padat, sulit menemukan lahan kosong untuk permakaman baru. Adapun jika ada permakaman baru, prosesi penguburan akan dilakukan di bekas makam yang telah dibongkar.

BandungBergerak.id telah mengonfirmasi beberapa kali ke UPT di TPU Pandu mengenai pemutakhiran data permakaman. Namun UPT di bawah Distaru Kota Bandung ini tidak bisa menyediakan data terbaru. Saat terakhir kali dikonfirmasi, pihak UPT menyarankan agar permintaan data ini harus mendapatkan izin terlebih dahulu dari Kesatuan Bangsa dan Politik (Kesbangpol), Kota Bandung.

Baca Juga: JELAJAH KUBURAN-KUBURAN DI BANDUNG (1): Permakaman sebagai Media Literasi
JELAJAH KUBURAN-KUBURAN DI BANDUNG (2): Dari Banceuy ke Pajajaran
Mengenal Kecamatan Astana Anyar: Kuburan Tua di Tengah Kota

TPU Pandu, Kota Bandung, Minggu (6/6/2021). TPU Pandu berisi kuburan orang-orang beken Bandung tempo dulu. (Foto: Virliya Putricantika/BandungBergerak.id)
TPU Pandu, Kota Bandung, Minggu (6/6/2021). TPU Pandu berisi kuburan orang-orang beken Bandung tempo dulu. (Foto: Virliya Putricantika/BandungBergerak.id)

Makam Charles Prosper Wolff Schoemaker Nyaris Digusur

Perbongkaran makam di TPU Pandu kerap terjadi. Ini disebabkan karena masalah retribusi yang harus dibayar oleh ahli waris setiap tahunnya. Jika keluarga atau ahli waris tidak membayar retribusi tersebut, dan abai dengan tagihan atau peringatan yang dilakukan pihak TPU, maka makam mereka akan dibongkar.

Makam Prof. Charles Prosper Wolff Schoemaker merupakan salah satu makam yang pernah terancam akan dibongkar pada akhir Juli 2002. Selama sembilan tahun lamanya makam arsitek kenamaan itu tidak ada yang membayarkan retribusinya yang hanya Rp 20.000 per tahun. Namun rencana tersebut dibatalkan setelah putra mendiang Presiden Sukarno, Guruh Sukarnoputra, mengulurkan bantuan.

Charles Prosper Wolff Schoemaker merupakan pria kelahiran Banyubiru, Ambarawa, Jawa Tengah, 25 Juli 1882. Namanya berkibar sebagai arsitektur ternama di Kota Bandung. Bahkan Kota Kembang menjadi laboratoriumnya dalam menghasilkan banyak karya seni bangunan, salah satunya Masjid Cipaganti. Schoemaker memiliki hubungan erat dengan Sukarno ketika ia mengajar di Technische Hoogeschool Bandung (kini, ITB). Saat itu, Schoemaker adalah dosen Sukarno.

Sebelumnya, cucu Schoemaker, Juan Schoemaker, sudah lama mencari-cari makam mendiang kakeknya tersebut. Ia hanya mengetahui jika kakeknya adalah seorang arsitek ternama di nusantara. Berbekal informasi secuil, ia berkunjung ke Indonesia untuk mencari makam sang kakek. Usahanya mencari akam kakeknya selama bertahun-tahun itu membuahkan hasil pada tahun 2003.

Pandu dan Permasalahannya

Selain kaya akan nilai sejarah, TPU Pandu juga punya segudang masalah. TPU yang menjadi tempat peristirahatan terakhir orang-orang beken Bandung tempo dulu ini menghadapi bencana lingkungan hingga tata kelola oleh Pemerintah Kota Bandung.

Mimin (60), pekerja serabutan di TPU Pandu, kerap mengeluhkan soal bencana alam yang terjadi di permakaman tua tersebut. Ketika musim hujan, blok CA kerap terjadi banjir. Banjir tersebut membuatnya harus bekerja ekstra dalam membersihkan makam-makam yang dipegang olehnya. Adapun ketika musim panas, suhu di Pandu sangat terasa menyiksa, makam beratap yang biasa dipakai untuk beristirahat pun dirasa tidak mengurangi suasana gersang tersebut.

Padahal permakaman adalah ruang terbuka hijau (RTH) yang berperan sebagai paru-paru kota. Permasalahan tersebut membuat permakaman Pandu menjadi tidak sinkron dengan konsep RTH yang ada.

Direktur Eksekutif Daerah Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Jawa Barat, Meiki W Paendong, mengatakan masalah lingkungan yang dihadapi TPU Pandu sebenarnya terkait dengan krisis iklim global akibat menyempitnya Ruang Terbuka Hijau (hutan), tingginya polusi udara hasil pembakaran energi tidak ramah lingkungan (BBM, batu bara dan sejenisnya), dan praktik manusia lainnya.

“Perspektif kami bukan permakamannya yang salah, karena semua permasalahannya terdapat dari hulu. Jika dilihat secara lingkungan mikronya, permakamannya tidak salah. Justru yang menjadi konteks permasalahan ini adalah perubahan iklim, tingkat curah hujan yang tinggi, atau bencana hidrometeorologi,” ungkap Meiki, kepada BandungBergerak.id.

Meskipun ada konsep rumputisasi permakaman yang ramah lingkungan, Meiki menyatakan bencana alam masih saja bisa terjadi jika permasalahan akarnya tidak dicabut. Kini untuk menjadikan permakaman sejalan dengan konsep RTH adalah dengan menambah vegetasinya dan mengontrol penambahan makam.

Peran RTH sangat penting dalam memperlambat pemanasan global, selain sebagai paru-paru kota yang memproduksi oksigen yang sehari-hari dihirup manusia. Namun luas RTH Kota Bandung sendiri jalan di tempat atau bahkan menyusut.

Memang dalam 25 tahun terakhir RTH Kota Bandung bertambah, yakni dari 132,31 hekatare pada 2006 menjadi 2.048,97 hektare pada 2020. Namun, jika dibandingkan dengan luas total wilayah Kota Bandung, proporsi RTH-nya baru ada di angka 12,25 persen. Jauh dari angka minimal yang diamanatkan undang-undang, yakni 30 persen dari luas total. 

Ruang Terbuka Hijau Kota Bandung seluas 2.048,97 hektare itu terdiri dari taman kota sebanyak 1,29 persen, kebun bibit sebesar 0,01 persen, tegangan tinggi sebesar 0,06 persen, sempadan sungai sebesar 0,14 persen, jalur hijau lahan sebesar 1,06 persen, sempadan rel kereta api 0,04 persen, hutan konservasi sebesar 0,02 persen, penanganan lahan kritis sebesar 2,49 persen, RTH bagian aset sebesar 0,51, serta RTH berstatus lainnya, seperti taman-taman di pemukiman warga, sebesar 5,73 persen.

Sedangkan permakaman, seperti TPU Pandu dan lain-lain, menyumbang luasan RTH sebesar 0,89 persen. Jadi, selain sebagai rumah terakhir bagi warga kota, TPU juga berfungsi menunjang kehidupan sebagai produsen alami oksigen dan penyaring polusi. Hal ini akan terjadi jika pemeliharaan TPU dilakukan dengan baik sesuai dengan konsep ramah lingkungan.

Begitu juga dengan TPU Pandu. Namun dengan permasalahan yang ada saat ini, terutama di bidang pendataan, tampaknya TPU Pandu punya pekerjaan rumah serius yang perlu segera dibenahi.

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//