• Nusantara
  • Survei Pagebluk, Ditemukan Keluarga dengan Ketahanan Keuangan hanya Dua Bulan

Survei Pagebluk, Ditemukan Keluarga dengan Ketahanan Keuangan hanya Dua Bulan

Ketika pandemi menghantam pada 2020, jumlah warga miskin Kota Bandung bertambah signifikan menjadi 100.020 jiwa.

Warga tunawisma bersama anaknya di atas gerobak melintasi jalanan di Bandung, Jawa Barat, Jumat (29/10/2021). Kaum marjinal seperti ini dipastikan luput dari pendataan penerima bantuan sosial pemerintah saat pandemi Covid-19. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)

Penulis Iman Herdiana29 Maret 2022


BandungBergerak.idPagebluk Covid-19 jelas memukul perekonomian keluarga. Pemerintah pusat maupun daerah harus mengeluarkan kebijakan yang mencakup penanggulangan dampak pagebluk pada ekonomi keluarga, selain mengurus ekonomi makro.

Besarnya dampak pagebluk bisa dilihat di Kota Bandung. Data Badan Pusat Statistik (BPS) Kota Bandung menunjukkan bahwa jumlah penduduk miskin Kota Bandung mengalami tren penurunan sejak tahun 2013. Dari 117.700 orang penduduk miskin pada tahun tersebut, jumlahnya berkurang pada tahun sebelum pagebluk, 2019, yakni 85.670 orang. Ketika pandemi menghantam pada 2020, jumlah warga miskin Kota Bandung bertambah signifikan menjadi 100.020 jiwa.

Tak hanya itu, pagebluk memicu penambahan jumlah pengangguran. Merujuk dokumen Kota Bandung dalam Angka 2021 yang diterbitkan oleh BPS Kota Bandung, tingkat pengangguran terbuka Kota Bandung tahun 2020 sebesar 11,19 persen atau setara 147.081 orang. Angka ini jauh lebih banyak dibandingkan jumlah penganggur terbuka tahun sebelumnya sebanyak 105.067 orang. 

Dampak pagebluk juga dirasakan masyarakat menengah ke atas, seperti terlihat pada hasil survei Euis Sunarti, Guru Besar Ilmu Keluarga dan Konsumen, Fakultas Ekologi Manusia IPB University. Hal yang disurvei antara lain mengenai kepemilikan tabungan oleh suatu keluarga. 

Pada survei pertama, ditemukan sebesar 52,8 persen, pada survei kedua sebesar 45 persen dan pada survei ketiga terdapat sebesar 67 persen keluarga dengan kemampuan memenuhi kebutuhan keluarga hingga 1-2 bulan.

“Artinya jika terjadi Pemutusan Hubungan Kerja (PHK), dia hanya punya tabungan untuk menghidupi keluarga selama 2 bulan. Bayangkan jika belum punya rumah dan memiliki berbagai cicilan, artinya tekanan ekonominya tinggi,” ungkap Euis Sunarti, dikutip dari laman resmi IPB University, Selasa (29/3/2022). 

Euis menjelaskan surveinya dilakukan untuk mengetahui kerentanan keluarga terhadap pandemi. Survei dilakukan 3 kali dan diikuti keluarga pada anggota keluarga dengan pendidikan Diploma sampai S3, sebesar 75-80 persen, tersebar dari seluruh Indonesia. Peserta terbesar berasal dari Jawa Barat dan Jakarta.

Menurutnya, keluarga secara mendalam dapat dimaknai sebagai tempat bergantung, saling melindungi. Makna keluarga lebih terasa pada saat pandemi. Rasa ketakutan terkena COVID-19, ketakutan kehilangan anggota keluarga serta suasana kematian yang menyeramkan menjadi penyebabnya.

“Kondisi awal pandemi menyebabkan harus tetap berada di rumah sehingga keluarga harus mengelola kesehariannya. Hasil survei pertama menunjukkan persentase yang besar, mengaku bahwa wabah ini mendorong interaksi suami istri menjadi lebih baik. Mereka lebih memaknai arti keluarga. Pengasuhan anak juga diakui para keluarga menjadi lebih baik dan menjadi lebih sabar serta mengelola waktu jadi lebih baik,” paparnya.

Selain itu, imbuhnya, ditemukan gejala stres seperti gangguan tidur, gangguan makan hingga mudah cemas dan gelisah dialami 1 dari 2 keluarga. Hal ini merupakan pengakuan bahwa pandemi mendatangkan gejala stres.

Baca Juga: Warga Bandung Kekurangan Ruang Publik Memadai
Selama Pagebluk, Layanan Pengaduan Nonpemerintah terkait Kasus Kekerasan terhadap Perempuan Lebih Siap Diakses
Perjuangan Panjang Menghapus Tabu Kejahatan Seksual di Kampus

Kemampuan untuk Bangkit

Di tengah tekanan ekonomi serta stres yang tinggi, Euis menemukan 98 persen keluarga yakin mampu melalui kondisi pandemi dan bangkit kembali. Ada 93 persen keluarga yang yakin mampu menghadapi ketidakpastian, 97,6 persen keluarga dapat berkomunikasi mencegah konflik serta 98 persen meyakini bahwa wabah ini merupakan cobaan dan ujian.

Ia juga menemukan fakta bahwa kesehatan mental maupun kasus perceraian yang tinggi. Hal ini menjadi temuan yang melengkapi dari problem yang dihadapi suatu keluarga di masa pandemi.

Menurutnya resiliensi (kemampuan untuk bangkit) merupakan ketahanan keluarga dalam menghadapi krisis yang ditimbulkan pandemi menjadi kunci utama. Keluarga yang memiliki resiliensi tidak akan mudah pecah seperti gelas kaca, melaikan akan seperti bola.

“Jatuh namun akan seperti bola yang dilempar ke bawah dan membal ke atas. Jika ada krisis keluarga itu tidak akan pecah berantakan,” ungkapnya.

Editor: Redaksi

COMMENTS

//