Agar Mutiara Hitam dari Pangalengan Lebih Berdaya
Pangalengan, Kabupaten Bandung, memiliki mutiara hitam dalam bentuk biji kopi. Petani kopi di sana memerlukan pelatihan agar kopi mereka memiliki nilai jual tinggi.
Kurniasih
Dosen Universitas Katolik Parahyangan (Unpar) dan pecinta kopi hitam.
6 Juli 2022
BandungBergerak.id - Mata saya seakan tak percaya dengan pemandangan yang terpampang dari balik kaca mobil. Pohon kopi berjejer di sepanjang jalan memasuki kawasan Dusun Srikandi, Desa Wanasuka Pangalengan Kabupaten Bandung. Jalanan berbatu membuat mobil yang membawa rombongan bekerja keras. Sesekali saya meringis khawatir mobil terguling.
Ketika mobil berkelok menelusuri jalan di sisi lembah, hamparan kebun teh pun terlihat. Sekelompok petani yang tengah memetik daun teh sejenak menengok kehadiran kami. Setelah jalanan berbatu terlampaui, saya beserta rombongan akhirnya tiba di dusun yang dihuni oleh 300 kepala keluarga.
Saya dan rombongan bertandang ke rumah Ketua RW, juga Kepala Dusun. Di halaman rumah sekitar Ketua RW maupun Kadus, pohon kopi tumbuh di halaman depan maupun samping rumah. Buahnya begitu lebat. Pak Kadus disertai beberapa perangkat desa lainnya menerima saya dan rombongan begitu ramah. Selayaknya tuan rumah, Pak Kadus segera menawarkan minuman. “Mau minum kopi atau teh?”
Menyaksikan pohon kopi yang berjejer tak jauh dari rumah, saya membayangkan tawaran dari Pak Kadus adalah kopi asli yang berasal dari sekitar Dusun Srikandi. “Saya kopi, Pak.”
Pak Kadus tertawa senang sambil berkata, “Wah ibu suka kopi ya?”
Lantas saya menjawab, “Saya mah minum kopi sejak di SMP, Pak. Dulu Aki saya di Garut pernah menanam kopi sekitar sepuluh pohon. Kopinya ya hanya untuk keluarga saya.” Pak Kadus manggut-manggut.
Dari ruang tamu, saya bisa melihat dapur yang memang tak jauh letaknya. Seorang bapak yang tengah menunggu air di dalam panci mendidih terlihat menenteng aneka jenis kopi saset. “Hei, untuk apa kopi saset tersebut ya?” Begitu kira-kira saya bertanya di dalam hati. Sesaat kemudian, aroma kopi saset yang tak asing menyeruak dari dapur. Seakan tak percaya, saya menyaksikan gelas kopi yang disodorkan ke hadapan saya ternyata berisi seduhan kopi saset. Perkiraan saya akan disuguhi kopi hitam asli yang segar meleset sudah.
Peristiwa tersebut terjadi di sekitar awal tahun 2021. Waktu itu adalah untuk pertama kalinya saya bergabung dengan tim Pengabdian Astra dan LPPM Universitas Katolik Parahyangan (Unpar). Momen tersebut menjadi salah satu kunjungan observasi untuk menemukan potensi ekonomi dari dusun yang dinaungi Desa Wanasuka melalui Badan Usaha Milik Desa (Bumdes).
Berangkat dari pengalaman sederhana di rumah Pak Kadus tersebut, saya sebagai ketua tim mencatat potensi penting ini. Beberapa pertanyaan sederhana saya ajukan. Misalnya pertanyaan jenis kopi yang biasa dikonsumsi oleh warga atau setidaknya oleh bapak-bapak yang ada saat itu. Memang banyak alasan keberadaan kopi saset di rumah Pak Kadus. Salah satunya adalah kepraktisan saat akan dikonsumsi. Selain itu, dari beberapa bapak yang hadir di pertemuan tersebut, umumnya dikatakan bahwa kopi yang telah dipanen langsung dijual kepada tengkulak. Hal ini artinya kopi yang dijual adalah bentuk buah atau cherry.
Di kesempatan lainnya, saya berkunjung kembali untuk melakukan observasi lanjutan. Kali ini saya bertandang ke sebuah warung yang letaknya tak jauh dari rumah Pak Kadus. Perjalanan dari Bandung hingga ke Dusun Srikandi cukup melelahkan karena saya dan tim kali itu menggunakan sepeda motor. Lagi-lagi, saat bayangan kopi hitam yang segar menari-nari di pelupuk mata, hanya tersedia kopi saset aneka merek. Apa daya, kami akhirnya kembali menyeruput seduhan kopi saset sambil memandangi sederet benih kopi yang tengah dirawat, terletak tepat di samping warung tersebut.
Rasa manis yang pekat masih terasa di lidah saya. Dalam keadaan tersebut saya memotret benih kopi yang begitu cantik kelihatannya. Tiba-tiba seorang wanita keluar dari rumah. Saya menganggukkan kepala sambil tersenyum. “Teh, punten saya motret-motret tanamannya.”
Perempuan yang terlihat baru saja mandi itu segera membalas sapaan saya, “Sumuhun, mangga weh, teh.”
Dengan tanggapan perempuan tersebut yang dirasakan ramah, saya menyambung pertanyaan, “Ini bibit kopi ya, teh?” Perempuan tersebut menjelaskan bahwa tanaman tersebut merupakan bibit kopi liberika Spanyol. Bibit tersebut akan ditanam di kebun yang lebih luas. Tiba-tiba saya bertanya, “Teteh suka minum kopi?” Jawabannya adalah, “Suka sih sesekali. Tapi ah bukan kopi asli. Kopi asli mah asem rasanya.” Saya manggut-manggut menyimaknya.
Baca Juga: Sejarah yang Hidup dalam Secangkir Kopi Aroma
Mengubah Limbah Kulit Kopi Menjadi Makanan dan Minuman
Sri Jamrud di antara Kopi, Bunga, dan Jerat Utang
Membantu Warga Mengembangkan Kopi
Pilihan kopi, termasuk cara meraciknya hingga siap diseruput memang begitu beragam. Ada orang yang memilih untuk menjadi peminum kopi asli garis keras. Ini artinya, ia minum kopi tanpa tambahan macam-macam seperti gula, krimer atau susu. Ada pula yang doyannya minum kopi saset. Ada juga yang menyukai kopi jenis apa pun, bergantung pada situasi dan ketersediaan kopi yang ada.
Tetapi berdasarkan pengamatan sederhana tentang cara dan pilihan kopi yang disukai warga, baik dari pemilik kebun kopi atau warga umum, saya bersama tim menawarkan untuk membantu mengembangkan kopi. Tentunya jika petani memilih menjual buah kopi kepada tengkulak merupakan aspek yang pilihannya paling mungkin saat ini. Tetapi setidaknya kami ingin mengajak untuk bersama-sama mengembangkan kopi, misalnya untuk proses hulu, yaitu mengenai proses pascapanen yang baik.
Pengembangan produk terdekat dari buah kopi adalah dalam bentuk biji kopi (beras). Proses pelatihan pascapanen yang diikuti 30 orang petani kopi terlaksana dengan penuh antusias. Bersama Astra yang sangat mendukung pengembangan potensi desa, alat-alat yang diperlukan pun dipilih secara ketat agar menghasilkan dampak yang berkelanjutan. Proses untuk terus meningkatkan dan mengembangkan kopi perlu dijalani dengan taktis serta keterlibatan banyak pihak.
Barangkali tak berlebihan jika suatu saat nanti pamor kopi asli bagi warga setempat yang diracik sejak dari hulu hingga ke hilir jauh lebih tinggi daripada kopi pabrikan. Selain peningkatan mutu kopi yang diminum, juga dalam rangka meningkatkan potensi ekonomi di dalamnya. Hal ini dalam rangka mensyukuri kesuburan lahan kopi di Pangalengan ini seperti selarik puisi Joko Pinurbo: Kurang atau lebih, setiap rejeki perlu dirayakan dengan secangkir kopi.