• Opini
  • Tantangan Mahasiswa, Memanfaatkan Teknologi Digital sebagai Ruang Kritik

Tantangan Mahasiswa, Memanfaatkan Teknologi Digital sebagai Ruang Kritik

Implementasi demokrasi di Indonesia terlihat dalam aksi demonstrasi mahasiswa pada 1998. Namun, sekarang keadaan sudah berbeda.

Carissa Yocelyn

Mahasiswi Universitas Katolik Parahyangan (Unpar).

Tiga Mahasiswa membawa poster saat berdemonstrasi menolak RKUHP di depan Gedung DPRD Jawa Barat, Jalan Dipenogoro, Kota Bandung, Kamis (30/6/2022). Mahasiswa nuntut penghapusan pasal yang mengatur urusan privat masyarakat, pasal karet, dan transparansi dalam penyusunan draft RUU KUHP. (Foto: Choirul Nurahman/BandungBergerak.id)

11 Juli 2022


BandungBergerak.idGenerasi muda sudah sangat akrab dengan kemajuan teknologi saat ini. Kemajuan pada media digital memberikan efek yang besar dalam memudahkan aktivitas masyarakat. Salah satu contohnya yaitu dengan kemajuan laptop yang pesat. Dengan laptop, kita dapat menggali informasi tentang apa pun, belajar, mempublikasikan gambar atau kritikan di media daring, melakukan panggilan telepon atau komunikasi lainnya, hingga menonton berita.

Melalui kemajuan media digital saat ini, kita juga dapat mengawasi kinerja pemerintah. Tentunya dengan hak kebebasan berpendapat terhadap kinerja pemerintah, kita bisa memberikan kritikan yang membangun sebagai partisipasi rakyat dalam penerapan demokrasi karena Indonesia adalah negara hukum demokratis [Bagir Manan, (1990), Hubungan Antara Pusat dan Daerah Berdasarkan Asas Desentralisasi, Bandung: Universitas Padjajaran, hlm. 245 (Manan, 1990)].

Sebagai mahasiswa, sudah sepantasnya kita lebih aktif dalam pembangunan negara menjadi lebih maju dengan ikut mengamati dan memberikan usulan terhadap permasalahan negara dan terjun langsung untuk merubah negara agar menjadi lebih maju ke depannya. Sebagai agen perubahan, generasi muda adalah masa depan bangsa. Usaha mahasiswa yang sudah tepat dalam implementasi demokrasi di Indonesia adalah ketika aksi demonstrasi mahasiswa pada bulan Mei tahun 1998.

Namun, sekarang keadaan sudah berbeda karena adanya perkembangan media digital yang seharusnya juga kita gunakan untuk menyalurkan aspirasi sebagai rakyat. Opini kritis mahasiswa di media daring sebagai agen perubahan merupakan langkah yang tepat dalam perwujudan konsep demokrasi selain dengan aksi demonstrasi.

Aksi demonstrasi atau unjuk rasa memang sebuah hal yang benar di Indonesia sebagai negara hukum demokratis. Aksi ini sebagai penerapan prinsip demokrasi dan diatur UU Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum. Aksi demonstrasi sebagai kebebasan berekspresi dan menyampaikan pendapat mengenai penolakan dan usulan terhadap kebijakan atau keputusan pemerintah. Biasanya aksi demonstrasi ini dilakukan langsung di lapangan.

Dengan adanya kemajuan teknologi dan internet, kita juga bisa menyampaikan kebebasan berpendapat di media daring. Kebebasan berpendapat bisa dilakukan lewat publikasi opini kritis di portal berita ataupun dari media sosial yang kita miliki secara pribadi. Dengan media daring juga dapat menjangkau masyarakat Indonesia yang lebih luas dan jelas lewat tulisan-tulisan mahasiswa dalam kritikannya.

Dalam pembuatan opini yang kritis, berarti seorang mahasiswa sebagai kaum intelektual berkewajiban untuk melihat fakta dan data yang aktual. Opini bukan berarti tanggapan kita berdasarkan perasaan dan pemikiran pribadi saja. Opini sering disalahartikan sebagai pandangan kita pribadi yang terkadang menjadi sebuah hujatan karena pemikiran yang subjektif.

Peran Mahasiswa

Sebagai kaum intelektual dalam mengamati dan berpendapat mengenai tindakan pemerintah mengatasi permasalahan negara, kita harus memakai pemikiran yang logis dan objektif. Dalam pembuatan kritikan, ada kalanya kita memerlukan kajian yang mendalam dan kehati-hatian. Jangan sampai, tulisan kita sebagai mahasiswa disalahartikan oleh pihak lain dan menyebabkan penyebaran berita palsu atau memprovokasi masyarakat yang kurang berliterasi ditambah mudah terprovokasi.

Tentunya dalam opini kritis yang dibuat tidak hanya memberikan tuntutan tidak berdasar kepada pemerintah. Dengan berpikir kritis, maka seharusnya kita dapat menghasilkan sebuah usulan yang baik, benar, dan objektif. Tentunya mahasiswa, tidak diharuskan hanya mengkritik pemerintah saja.

Mahasiswa juga bisa mengkritik aksi demonstrasi mahasiswa di jalanan yang tidak berdasar dan hanya serba ikut-ikutan saja. Dengan dibuatnya opini kritis yang berstruktur, diharapkan mahasiswa dapat memengaruhi banyak masyarakat untuk berpikir lebih terbuka dan terarah sehingga dapat menambah satu langkah maju menuju negara yang lebih baik.

Dengan kemajuan media digital, kita bisa mengawasi kinerja pemerintah. Tetapi, perlu diingatkan bahwa kritik atau opini kita juga bisa diawasi oleh pemerintah. Dalam pembuatan opini kritis, perlu diperhatikan bahwa isi dari kritik yang kita bawa bukanlah suatu hujatan kepada pemerintah. Pemerintah memang terbuka akan kritikan, tetapi bukan berarti kita bebas mengatakan apa pun tanpa batasan seperti ujaran kebencian.

Sering kali, masyarakat yang menyampaikan ujaran kebencian berlindung pada hak kebebasan berpendapat. Perlu diketahui bahwa hujatan atau ujaran kebencian berbeda dengan kebebasan berpendapat yang dimiliki setiap individu manusia. Ujaran kebencian lebih mengarah kepada tindakan menjelek-jelekan seseorang tanpa dasar dengan kata kasar dan menilai semua perbuatan yang dilakukan oleh orang lain tersebut salah.

Biasanya orang yang mengeluarkan ujaran kebencian cenderung bersandar kepada pemikiran subjektif pribadinya, meskipun orang yang ia benci melakukan hal yang benar. Sedangkan, kritikan biasanya disampaikan dengan menyampaikan kekurangan dari orang lain meskpun terkadang juga disampaikan dengan kalimat yang kurang mengenakan. Kemudian kritikan juga menambahkan sebuah solusi untuk memperbaiki kekurangan terhadap orang atau pihak lainnya.

Baca Juga: Komite Keselamatan Jurnalis: RKUHP Mengancam Kebebasan Berekspresi Warga dan Kebebasan Pers
Kebebasan Berpendapat di Media Sosial Ditinjau dari Perspektif Hukum dan HAM
Pelajar SMA, antara Kebebasan Berekspresi dan Larangan-larangan UU ITE

Kritik dan Ujaran Kebencian

Dengan adanya kemajuan teknologi, seharusnya membuat kita semakin peduli lagi dengan permasalahan yang dialami negara. Sehingga sudah sepantasnya kita sebagai kaum intelektual untuk ikut berpartisipasi sebagai penerapan prinsip dan konsep demokrasi di negara Indonesia. Mahasiswa seharusnya berperan sebagai agen perubahan demi membangun masa depan Indonesia yang lebih baik dan maju sehingga juga akan menyebabkan kesejahteraan warga negara yang lebih terjamin.

Tentunya dalam partisipasi itu bisa dilakukan dengan cara menyampaikan pendapat melalui aksi demonstrasi langsung di lapangan maupun pada media daring sebagai pemanfaatan kemajuan teknologi yang berguna oleh mahasiswa. Akan tetapi, dalam menyampaikan pendapatnya seorang mahasiswa seharusnya bisa membedakan ujaran kebencian dengan kritikan sebagai implementasi kebebasan berpendapat di negara demokrasi.

Mahasiswa sebagai kaum intelektual ada baiknya mempunyai pemikiran yang lebih maju dibandingkan masyarakat yang kurang pemahaman sehingga kita juga bisa mengarahkan mereka ke jalan yang benar. Menurut Indriyanto Seno Adji, Guru Besar Universitas Krisnadwipayana, dalam menghentikan ujaran kebencian sebagai hak kebebasan berpendapat perlu diadakannya pendekatan preventif yaitu dengan edukasi mengenai perbedaan ujaran kebencian dengan kebebasan berpendapat sebagai Hak Asasi Manusia (HAM).

Edukasi ini harus diarahkan kepada semua golongan, termasuk bagi para masyarakat dengan gelar yang tinggi karena berpendidikan tinggi belum tentu bisa membedakan ujaran kebencian dan kritikan sebagai hak kebebasan berpendapat. Sedangkan, pendekatan represifnya yaitu dengan penegakkan hukum bagi pelaku penyebaran ujaran kebencian yang tertuang pada Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, pasal 45 ayat 2 [Widiyati, Lidya Suryani. Ujaran Kebencian: Batasan Pengertian dan Larangannya. Bidang Hukum Info Singkat, Volume X No. 10 No. 06:2 2018].

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//