• Foto
  • Jalan Menuju Sejuta Kebaya

Jalan Menuju Sejuta Kebaya

Warga Lembang antusias mendukung kebaya Indonesia ditetapkan UNESCO sebagai warisan budaya dunia. Langkah ini tak mudah karena tradisi kebaya ada di banyak negara.

Fotografer Prima Mulia6 Agustus 2022

BandungBergerak.id -  Pukul 4 sore, gemuruh dari sekitar 2.000 warga Bandung Barat membahana di langit Lembang saat duta kebaya Kabupaten Bandung Barat, Sonya Fatmala, yang datang bersama suaminya, Plt Bupati Bandung Barat, Hengky Kurniawan, tiba di pelataran alun-alun. Penantian warga yang menyemut sejak siang hari pecah. Tarian dan musik tradisional rampak kendang mengiringi pesta kebaya di alun-alun kota kecamatan di dataran tinggi Bandung utara.

“Dari jam 12 kita udah ngumpul disini, sampe riasan luntur,” kata Yani (35 tahun), warga Cijeruk yang datang bersama rombongan ibu-ibu berkebaya untuk ikut memeriahkan dan mendukung gerakan moral Kabaya Lembang Goes to UNESCO di Alun-Alun Lembang, Kamis (3/7/2022).

“Dengan kebaya, perempuan itu bakal kelihatan angguna dan ayu, semua peserta dan warga yang menonton acara gebyar kebaya ini agar diunggah ke media sosialnya ya, sebagai dukungan untuk kebaya Indonesia  agar mendunia,” kata mantan aktris dan gadis sampul itu.

Dengan antusias mereka menyatakan dukungannya agar kebaya Indonesia ditetapkan UNESCO atau Organisasi Pendidikan Keilmuan dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa menjadi warisan budaya bukan benda. Warga masyarakat, terutama ibu-ibu dan para pelajar perempuan hadir dengan poster dan spanduk-spanduk dukungan.

Kaum perempuan dari 4 kecamatan berbaur dengan warga masyarakat dari desa dan kampung sekitar berbaur di alun-alun di samping Masjid Agung Lembang. Dalam sebulan terakhir, kampanye kebaya agar diakui jadi warisan budaya dunia ini gencar digelar di beberapa daerah di Jawa.

Dalam Kongres Berkebaya Nasional yang digagas Perempuan Berkebaya Indonesia (PBI) tahun lalu, telah diusulkan soal penetapan Hari Berkebaya Nasional serta pendaftaran kebaya ke UNESCO. Karena itu berbagai kegiatan untuk menggaungkan keberadaan kebaya terus digalakan.

Kebaya sendiri diyakini sudah ada sejak masa leluhur dan jadi warisan budaya Indonesia. Perempuan di berbagai daerah di Indonesia sejak dahulu sudah memakai kebaya. Tak heran jika kebaya sudah dikenakan penari kesenian buhun atau kuno Ronggeng Gunung di Kabupaten Pangandaran. Mereka mengenakan kebaya. Tari buhun Ronggeng Gunung sudah dikenal sejak ratusan tahun lalu di wilayah Priangan Timur termasuk Pangandaran. Atau para abdi dalem di Keraton Kanoman dan Kasepuhan Cirebon yang mengenakan kebaya sebagai pakaian tradisi sejak berabad lalu.

Kata kebaya sendiri disebut berasal dari bahasa Arab, kaba yang berarti pakaian, ada juga sumber lain yang menyebutkan asal kata bahasa Arabnya yaitu abaya (pakaian longgar). Dalam catatannya, bangsa  Portugis menyebut kaum wanita priyayi di Indonesia sudah memakai kebaya pada abad 15, mereka menyebutnya cabaya.

Saat Islam masuk nusantara, kebaya mengalami penyesuaian dengan model menutup area dada, bagian belakang tubuh, dan lengan.  Penggunaan kebaya kemudian menyebar ke kawasan Asia Tenggara. Kebaya dikenal di sebagai pakaian tradisional di Jawa, Malaysia, Brunei, Bali, Sumatera, dan Sulawesi, termasuk daerah-daerah rumpun Melayu lainnya. Tahun 1600-an kebaya merupakan busana yang umum dipakai kaum wanita di Jawa.

Model kebaya juga dipengaruhi budaya-budaya lain, ada kebaya Jawa, kebaya Betawi, kebaya Melayu, kebaya Sunda, kebaya Madura, dan satu lagi, kebaya nyonya atau kebaya encim. Model kebaya ini masuk ke Indonesia kala gelombang migrasi penduduk dari Cina meningkat karena perdagangan. Di masa Hindia Belanda, kebaya juga dikenakan oleh wanita-wanita Eropa.

Menurut pemerhati kebaya dari organisasi Cinta Budaya Nusantara, Melok Besari, Cina banyak memberi pengaruh pada cara orang Indonesia berpakaian (pakaian tradisional). “Saya pikir kebaya juga terpengaruh dari Cina ya, bedanya, kebaya Cina atau kebaya encim (orang Malaysia menyebutnya kebaya nyonya) banyak berhias bordir dengan warna cerah, sementara kebaya kita lebih sederhana,” kata Melok di kediamannya di Rangamalela, Bandung.

Menurut adik kandung mendiang Ainun Hbibie ini, perjalanan kebaya untuk diakui UNESCO sebagai warisan budaya tak benda asli Indonesia masih panjang. “Pertama tentu proses pendaftaran dulu, sambil kita merunut sejarah pastinya kebaya Indonesia ini, ingat, Malaysia juga punya kebaya, Brunei juga. sekarang kita masih konsentrasi di penetapan hari kebaya nasional dulu, lalu menggaungkan gerakan sejuta kebaya itu,” katanya.

Jika merunut pada catatan bangsa Portugis yang menyatakan bangsa Indonesia sudah memakai kebaya sejak abad ke 15, mungkin ada benarnya. Para penari seni tari buhun atau seni tari kuno Ronggeng Gunung mengenakan pakain kebaya sejak ratusan tahun lalu.

Saya berkesempatan melihat tari Ronggeng Gunung di pedalaman Cijulang, Pangandaran, tahun 2018 lalu, semua penarinya memakai kebaya. Tentu modelnya sudah berkembang sesuai zamannya. Menurut penari dan para nayaga yang mengiringi tarian tersebut, kebaya sudah dikenakan para penarinya sejak ratusan tahun lalu. Pangandaran merupakan daerah asli asal tarian ronggeng gunung.

Di kesempatan lain saya melihat para putri dan kerabat Keraton Kanoman mengenakan kebaya saat melakukan prosesi pembersihan benda pusaka peninggalan Puteri Ong Tien sebelum pelaksanaan tradisi Panjang Jimat. Saat malam helaran Panjang Jimat, para abdi dalem membawa benda-benda pusaka dengan berjalan kaki menuju Langgar Agung, kaum wanitanya memakai kebaya berwarna kuning. Menurut para abdi dalem, kebaya ini merupakan pakaian tradisi yang dikenakan turun temurun sejak ratusan tahun lalu.

Keraton Kanoman sendiri berdiri sejak 1678, letaknya tak jauh dari Keraton Kasepuhan yang didirikan tahun 1430 dan mengalami perkembangan pembangunan komplek keraton tambahan lagi tahun 1529. Paling tidak pada abad ke 15 kebaya sudah jadi pakaian yang umum dikenakan oleh kaum wanita saat itu.

Teks dan Foto: Prima Mulia

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//