• Foto
  • Benteng Perang Melawan Sampah

Benteng Perang Melawan Sampah

Perang melawan sampah di Sungai Citarum akan tidak berujung jika tidak mendapat dukungan dari masyarakat. Masyarakat harus memulai pemilahan sampah sejak dari rumah.

Fotografer Prima Mulia17 Desember 2022

BandungBergerak.idCurah hujan kian meningkat mengguyur wilayah Bandung Raya pada pekan pertama bulan Desember 2022. Bicara Bandung Raya di musim hujan artinya bicara banjir mulai dari perkotaan sampai perdesaan. Banjir bandang dan sungai meluap jadi cerita tak berkesudahan.

Semua air bah di Bandung Raya bermuara ke Sungai Citarum. Anak-anak sungai di DAS Citarum yang melintasi wilayah Sumedang, Kabupaten Bandung, Kota Bandung, Kabupaten Bandung Barat, dan Cimahi, semua bermuara ke sungai terpanjang di Jawa Barat itu.

Sampah, lumpur, dan limbah industri pun menjadi nuansa muram bagi Sungai Citarum. Berton-ton plastik, popok bayi, styrofoam, batang kayu gelondongan, sofa bekas, kasur pegas plus bantal guling, eceng gondok, sampai bangkai kambing, semua mengarungi DAS Citarum tanpa hambatan. Mereka akhirnya tiba di garis akhir saat memasuki perairan waduk Saguling di Batujajar dan Cihampelas, Kecamatan Bandung Barat.

Setelah lewat terowongan air bebas hambatan di Curug Jompong, aliran Citarum memasuki kawasan Batujajar dan Cihampelas. Inilah benteng terakhir untuk mencegah sampah-sampah dari 5 kota kabupaten di Bandung Raya: jangan sampai sampah masuk ke perairan waduk Saguling. Batujajar sampai Cihampelas menjadi semacam penjaga gawang sampah.

Sektor 9

Hari masih belum menunjukkan pukul 10 pagi, Ahmad memicingkan matanya. Iring-iringan sampah seperti tak ada akhirnya, terbawa arus liar berwarna cokelat pekat. Rasa was-was tergambar jelas di wajah perwira lapangan yang menjabat Dansubsektor 9 Satgas Citarum Harum itu. Ia turun tangan bersama sejumlah prajurit dan sukarelawan lingkungan mengangkat hamparan sampah yang menutupi permukaan Sungai Citarum di Kecamatan Cihampelas, Kabupaten Bandung Barat.

Ahmad memberi arahan saat para petugas sibuk mendorong dan menggiring tumpukan sampah hanya menggunakan rakit-rakit dari bilah-bilah papan dan bambu yang terhubung dengan tali tambang agar tidak terbawa arus. Peralatan mereka hanya cangkul, garpu, golok, dan tongkat-tongkat pengait.

"Sangat berbahaya mas, makanya saya selalu hati-hati dan cerewet supaya anak-anak itu aman ketika bertugas. Ini dalamnya sekitar 40 meter saat musim banjir seperti sekarang, kalau salah perhitungan dan sampai jatuh, bisa fatal itu," kata Ahmad.

Walau sekarang tahun 2022, jangan membayangkan alat-alat modern dan canggih saat melihat mereka berjibaku mengangkat sampah dari permukaan sungai. Hanya ekskavator ampibi saja yang terlihat mentereng, sisanya semua harus manual dengan rakit bambu, perahu kayu, atau perahu karet tanpa mesin. Tak ada mesin boat yang mampu menembus tebalnya lapisan sampah di permukaan Sungai Citarum.

Ekskavator hanya bisa mengangkut sampah setelah rakit-rakit dan perahu tadi bisa menggiring sampah sampai ke dekat tepian sungai. Ada beberapa bentangan tali baja penyekat sampah yang membentang, jadi semua sampah harus digiring dulu oleh para petugas di atas rakit tadi supaya tali baja penyekat sampah itu tidak rusak saat ekskavator mengangkat sampah.

Di antara sisa tebaran sampah di pinggiran sungai, seorang pria mendayung perahu kayu berkelir merah biru yang mulai pudar. Tumpukan sampah-sampah plastik sudah memenuhi badan perahu, namun ia masih terus memunguti barang-barang yang memiliki nilai jual. Saat terik matahari semakin menyengat, ia menyandarkan perahunya ke pinggir sungai.

Diikatnya perahu ke pasak penambat di pesisir. Ia mengambil beberapa lembar karung dan mulai memasukan hasil buruannya ke dalam karung. Setelah selesai ia bergegas mengambil joran dan umpan berupa cacing dan lumut.

"Sekarang waktunya mancing, karung berisi plastik itu mah disimpan saja dulu di sini, nanti dijual kalau sudah terkumpul sampai 10 kg," kata pria 60 tahun yang mengaku bernama Jajang. Plastik-plastik itu dihargai bandar antara Rp 500 sampai 1.000 per kg.

Menurut Jajang, kerjanya saat mencari sampah plastik lebih mudah sekarang. Ia tak perlu mengarungi sungai sampai jauh, cukup berkutat di area penyekat sampah saja.

"Sejak ada tentara, selain operasi pengangkatan, air sungai juga jadi bersih, limbah pabrik sudah banyak berkurang, dulu mah air di sini warnanya hitam berbau. Sekarang banyak jenis-jenis ikan yang bisa kami pancing. Dulu cuma ada ikan sapu, sekarang sudah ada keting, nila, lele, atau betok," kata Jajang.

Sampah yang mencemari Sungai Citarum masih jadi masalah pelik yang belum terselesaikan. Menurut data dari Dinas Lingkungan Hidup Jawa Barat, total timbunan sampah di Daerah Aliran Sungai Citarum dari hulu sampai muara yang melintasi 8 wilayah kota dan kabupaten mencapai 15.838  ton per hari.

Di Sektor 9, saat operasi pengangkatan sampah dari sungai mencapai puncaknya saat musim hujan dan banjir), dalam sehari tak kurang dari 35 unit truk harus mengangkut gunungan sampah dari Citarum.

"Satu truk bisa memuat 6-7 ton sampah termasuk eceng gondok, nah tinggal dikalikan 35 unit truk, itulah sampah yang kami angkat dari sungai dalam sehari," kata Komandan Sektor 9 Satgas Citarum Harum, Ahmad Yani. Ia memilih untuk tinggal di Posko Sektor 9 bersama anak buahnya untuk memberi dukungan moril pada mereka.

Pengendalian dan penanganan Sungai Citarum di sektor ini hanya diperkuat oleh 63 personel anggota TNI, mencakup sekitar 80 desa yang tersebar di Kecamatan Cihampelas dan Batujajar. Batujajar dengan luas wilayah sekitar 32,04 Km2 dan Cihampelas membentang seluas 3.762 hektare, bukan pekerjaan mudah.

Dengan anggaran minim dan sumber daya manusia yang juga minim, semua urusan mulai dari kampanye, penyuluhan, pembenahan ekosistem sungai, pembibitan pohon, penanganan sampah dan limbah, sampai patroli dan penindakan pabrik-pabrik nakal, secara intens terus digeber sejak tahun 2018 sampai sekarang.

Pelibatan militer dalam percepatan pengendalian pencemaran di sungai Citarum sebenarnya bukan barang baru, sudah digagas sejak tahun 2016 dalam program Citarum Bestari. Di mana saat itu ribuan personel TNI Kodam III Siliwangi sudah dilibatkan untuk menangani horor sampah yang menggunung di muara-muara sungai di DAS Citarum.

Komunitas-komunitas pemerhati lingkungan di DAS Citarum juga banyak terlibat dan bersinergi dengan Satgas Citarum Harum yang berlatar militer. Mereka sangat antusias saling mengisi terutama dalam mengedukasi bagaimana pentingnya merubah pemahaman dan perilaku masyarakat untuk mulai memilah dan mengolah sampah mereka sendiri. Paling tidak ada perubahan perilaku di masyarakat untuk tidak membuang sampahnya ke sungai, terutama saat debit air meningkat di musim hujan.

Konsep pentahelix yang diusung kali ini mencoba melibatkan semua kalangan dari unsur masyarakat, pemerintah, maupun lembaga-lembaga nonprofit demi tercapainya target Citarum Harum di tahun 2025 nanti.

Perilaku Masyarakat

Inisiator Citarum Harum, Doni Monardo, mewanti-wanti  untuk menyiapkan ujung tombak baru dalam penanggulangan Citarum saat berakhirnya Perpres Nomor 15 Tahun 2018 tentang Percepatan Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan DAS Citarum tahun 2025 nanti. Menurut Doni, peran keterlibatan TNI di Citarum Harum juga akan berakhir di tahun 2025. Wakil Gubernur Jawa Barat, Uu Ruzhanul Ulum, malah berharap payung hukum terkait Citarum ini bisa diperpanjang untuk memastikan semua program penanganan tetap terkendali.

Dari beberapa obrolan ringan dengan para warga kampung, petugas di lapangan, dan mereka yang langsung berjibaku dengan masalah sampah Sungai Citarum, ada hal yang sangat menarik dan menohok. Kesimpulan dari obrolan pinggir kali saat itu, mau digelar ratusan diskusi tentang Citarum dengan pakar-pakar bergelar mentereng yang dihelat di hotel mewah sekalipun, jika masalahnya ribuan ton sampah yang mengapung di sungai, hanya ada satu kata, angkat!

Sederhana sekali, jika masih belum ada perubahan perilaku terkait membuang sampah ke sungai, solusinya cuma satu, sampah yang mencemari dan menutupi permukaan sungai itu harus diangkat. Jika perilaku masyarakat masih tak berubah, buang sampah sebanyak-banyaknya saat debit air sungai  naik di musim hujan, maka Cihampelas dan Batujajar tetap akan jadi benteng terakhir penahan sampah. Lantas siapa nanti yang mampu mengangkat ratusan ton sampah itu di tahun 2025?

Teks dan Foto : Prima Mulia

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//