Tandus Rancaekek
Rancaekek dahulu adalah dataran basah dan lumbung padi. Kini tandus karena industrialisasi dan tak terbendungnya bisnis properti.
Rancaekek dahulu adalah dataran basah dan lumbung padi. Kini tandus karena industrialisasi dan tak terbendungnya bisnis properti.
BandungBergerak.id - Tiga pasang kaki menapaki kerikil berdebu di jalan kampung Desa Linggar, Kecamatan Rancaekek, Kabupaten Bandung, Rabu, 11 Oktober 2023. Kaki-kaki para perempuan buruh tani itu mengenakan sepatu karet bersol keras, debu kelabu menutupi sepatu dan kulit kaki tak berkaus. Mereka berjalan sambil menggendong gabah padi hasil panen.
Tiga perempuan itu menyusuri jalan di sisi aliran Sungai Cimande (sebagian menyebutnya Cilanang) yang airnya hitam pekat berbau busuk. Tumbuhan semak belukar di kanan kiri jalan berbalut debu tebal berwarna coklat tembaga. Waktu masih menunjukan pukul 10 pagi, tapi cuaca panas sangat menyengat, di atas 30 derajat Celsius.
Di Kampung Jambu Leutik, seorang pria paruh baya asyik menyiram kebun sayur di sempadan sungai berair hitam itu. Ia menyiram tanaman ubi ungu, bawang daun, pohon pisang, dan ubi kayu.
"Nyebor (siram) tanaman pakai air sungai ini harus nunggu dingin, kalau jam 6 pagi airnya masih panas dan sangat berbau, rusak ke tanaman, kalau jam 10an kan sudah dingin, bisa disiram. Ya ini juga terpaksa nggak ada lagi sumber air lain. Dulu mah air Sungai Cimande bersih, nggak ada limbahnya," kata Ajat Sudrajat (62 tahun).
Pensiunan Kepala Sekolah SDN Linggar 1 ini mengisi masa waktu luangnya untuk bercocok tanam di sempadan sungai selama kemarau. Karena lebar sungai pasti susut, jadi bisa dimanfaatkan untuk bercocok tanam.
"Ini mah buat olahraga saja, bukan buat cari uang," katanya sambil tertawa.
Kampung Cihaur, Jambu Leutik, sampai Rancapait, merupakan wilayah Rancaekek yang rentan krisis air bersih terutama saat kemarau panjang seperti sekarang. Padahal Rancaekek dulunya adalah dataran lahan basah (sawah dan rawa) yang maha luas. Ranca sendiri dalam bahasa Sunda berarti rawa, ekek adalah sejenis burung paruh bengkok yang dulu mungkin masih banyak populasinya di sini.
Di masa Hindia Belanda, Rancaekek jadi tempat favorit para menak Sunda dan orang-orang Eropa untuk berburu burung-burung air seperti blekok, kuntul, ayam-ayaman, atau tikusan yang mendiami lahan-lahan basah Rancaekek.
Dua dekade silam, perjalanan kereta api saat melintasi lahan basah Rancaekek sangat menyenangkan. Masih terlihat lahan-lahan basah masa lalu yang tergambar seperti di lukisan-lukisan mooi Indie seniman Kampung Jelekong.
Sekarang, pemandangan itu berganti jadi permukiman, stasiun Kereta Cepat Jakarta Bandung (KCJB), dan lahan-lahan kering terbuka bakal komplek perumahan baru. Lahan basah di Rancaekek saat ini terus menyusut berganti dengan lahan-lahan kering. Seperti di Desa Linggar, sawah-sawah yang dibiarkan kering kini sudah milik pabrik tekstil raksasa.
Status Rancaekek pun berubah, dari lahan basah kini jadi salah satu kecamatan di Kabupaten Bandung yang rawan kekeringan saat kemarau. Seperti beberapa kampung di Desa Linggar. Warga di Kampung Cihaur dan sebagian di Rancapait membuat kolam-kolam retensi untuk menampung air sungai Cimande. Air di kolam-kolam ini akan kering lalu meresap ke sumur-sumur warga saat kemarau. Tapi itu dulu waktu airnya masih bersih, sekarang ini jika air sungai meresap, sumur-sumur warga malah tercemar.
Sebagian besar sumur-sumur warga di Kampung Rancapait juga kering, sebagian lagi masih ada airnya tapi keruh dan berbau. Warga akhirnya mengandalkan sumur artesis umum yang ada di pojokan kampung. Dalam 3 bulan terakhir ini pemandangan orang bolak balik sambil menjinjing ember atau galon air jadi hal biasa.
"Sehari bisa dua kali ambil air dari toren sumur artesis di ujung kampung, sumur di rumah kering, tak ada hujan sama sekali dalam 3 bulan terakhir ini. Kami mengandalkan air dari sumur umum untuk masak, minum, dan mandi," kata Amin ( 47 tahun). Jarak rumah Amin ke toren air sekitar 100 meter melalui jalan tanah berbatu.
Kampung Rancapait adalah salah satu permukiman di Desa Linggar yang paling terkena dampak kemarau panjang di Kecamatan Rancaekek. Kampung berpenduduk lebih dari 200 KK ini mengandalkan satu-satunya sumber air bersih berupa sumur artesis umum.
Untuk perawatan, warga membayar iuran bulanan seikhlasnya, disesuaikan dengan penggunaan air yang mereka ambil. Mulai dari 20.000-50.000 rupiah per KK. Kualitas air toren di sumur artesis umum ini menurut warga layak minum karena sudah pernah dilakukan uji laboratorium. Saat musim hujan tiba warga tak lagi punya keluhan tentang air, beda ceritanya saat musim kemarau seperti sekarang.
Sumber air kering jadi salah satu masalah. Masalah yang lain adalah tercemarnya Sungai Cimande.
"Pemerintah itu tak memikirkan dampak sosialnya saat Sungai Cimande disodet tahun 2019 lalu. Itu kan dulunya permukiman, jadi saat dibelah oleh sodetan otomatis kampung terbagi dua tapi jembatan cuma ada 2 dan jaraknya jauh. Lantas sodetan Sungai Cimande ini yang ngalir air limbah industri, hitam dan berbau busuk, airnya hanya bisa dipakai untuk nyiram kebun-kebun di pinggir sungai," kata Mumu (53 tahun).
Perkampungan di Bandung timur ini sudah berubah, dari lahan basah dan gudang beras di masa lalu, kini secara drastis bersalin rupa jadi kawasan industri. Sulit air bersih, sumber-sumber air permukaan kering, sungai-sungai jadi saluran pembuangan limbah industri. Jangan dianggap sepele, dari 14 desa di Kecamatan Rancaekek, lebih dari 255 hektare lahan pertanian mengalami dampak dari kemarau panjang saat ini.
*Foto dan Teks: Prima Mulia, mari menyimak Cerita Foto BandungBergerak.id lainnya
COMMENTS