• Kolom
  • PERSATUAN ISLAM DI MASA HINDIA BELANDA #18: Persis Mendirikan Pesantren Perempuan

PERSATUAN ISLAM DI MASA HINDIA BELANDA #18: Persis Mendirikan Pesantren Perempuan

Selain membahas urusan penggunaan kata nyonya dan nona, diulas juga boleh atau tidaknya perempuan berorganisasi. Perempuan menjadi perhatian Persis.

Hafidz Azhar

Penulis esai, sejak September 2023 pengajar di Fakultas Ilmu Seni dan Sastra Universitas Pasundan (Unpas), Bandung

Kabar dari Persis yang akan mendirikan pesantren perempuan dalam majalah Al-Lisaan 22 April 1937. (Sumber: Majalah Al-Lisaan)

15 November 2022


BandungBergerak.id - Setelah mendirikan pesantren laki-laki pada pertengahan tahun 1936, para pengurus Persis kemudian mendirikan pesantren khusus perempuan. Hal ini mula-mula dikabarkan dalam Al-Lisaan nomor 17, 22 April 1937. Di situ diberitakan bahwa pengurus Persis di bidang pesantren perlu untuk mendirikan sekolah agama bagi kalangan perempuan, dengan persyaratan yang lebih ketat dari pesantren Persis laki-laki yang tengah berjalan.

Memang, dalam berbagai kajiannya, para pengurus Persis sering dihadapkan pada persoalan perempuan yang bukan saja berhubungan dengan aspek ibadah, tetapi juga dalam aspek muamallah (sosial). Alasan untuk mendirikan pesantren khusus perempuan bisa juga didasari karena perempuan mempunyai hak yang sama dengan laki-laki dalam menuntut ilmu. Apalagi dengan adanya Persistri di lingkungan Perstuan Islam, para pengurus Persis memangku harapan besar terhadap calon santri perempuan itu yang nantinya dapat menjadi para mubalighah.

Seiring dengan munculnya berbagai persoalan perempuan, pihak Persatuan Islam juga sering menunjukkan sikap yang jelas setelah masalah tersebut diamati. Salah satunya, yaitu tentang banyaknya penggunaan kata nyonya dan nona di sekitar masyarakat bumiputera. Sebuah tulisan dalam majalah Al-Lisaan nomor 15 menjelaskan bahwa bagi kalangan Persis dianjurkan untuk mengganti dua kata yang umum digunakan itu. Tulisan itu juga mengklaim jika istilah nyonya dan nona bukanlah berasal dari bahasa Jawa, Melayu atau Indonesia sehingga perlu untuk mengganti dengan istilah lain yang lebih baik dan lebih cocok untuk umat muslim, yakni menggunakan kata siti dan syarifah agar lazim diucapkan. Berdasarkan artinya, nama siti merujuk pada anak gadis, sedangkan syarifah diperuntukkan kepada perempuan yang sudah bersuami.

Pentingnya Persis dalam memandang perempuan tentu didasari dalil yang kuat bila hal itu berkaitan dengan ajaran Islam. Selain urusan penggunaan kata nyonya dan nona dalam aspek sosial, ada juga permasalahan yang berkaitan dengan konteks agama, yakni tentang boleh atau tidaknya perempuan berorganisasi yang termuat pada majalah Al-Lisaan edisi 27 April 1935. Masalah ini semula merupakan respons dari perbincangan di kalangan ulama Banjarmasin, sehingga dari persoalan ini pihak Persis perlu untuk memberikan dua jawaban. Pertama, bahwa Allah dan Nabi Muhammad tidak melarang perempuan berorganisasi. Kedua, suatu perkumpulan perempuan tidaklah berbahaya, bahkan terdapat manfaat yang besar yang sering dianggap sepele.

Selain itu, pandangan Persis terhadap kalangan perempuan tidak hanya berupa sikap yang berasal dari dalil-dalil ajaran Islam, namun juga ditunjukkan berupa dukungan atas hak yang dimiliki oleh kaum perempuan. Bukti bahwa Persis sangat mendukung kaum perempuan di bidang lain dapat dilihat dalam Majalah At-taqwa nomor 7, 1 Juli 1937, yang memuat pupuh berbahasa Sunda dengan judul, Piwoelang ka para Poetri. Konon, pupuh ini ditujukan sebagai bentuk dorongan untuk perkumpulan Jamiyyatul Banaat yang baru saja berdiri pada tahun 1937. Bahkan organisasi ini lahir dari rahim Persatuan Islam Istri (Persistri) yang sekarang dikenal dengan nama Pemudi Persis. Dengan nuansa ajakan, pupuh tersebut mengandung makna bahwa kaum perempuan mesti ingat terhadap hak dan harga dirinya, terutama dalam memajukan bangsa dan agama.

“Eling-eling kaom istri (Sadarlah kaum perempuan),

sing emoet ka harga diri (ingat kepada harga diri),

sabab istri teh pamatri (karena perempuan itu pematri),

rohna kamadjoean nagri (rohnya kemajuan negeri)

Poetri Islam geus mangsana (Perempuan Islam sudah waktunya),

tembong ka Kaislamannana (menunjukkan keislamannya),

ngadjalankeun sakoer haqna (menjalankan haknya),

djeung wawanen saenjana (dan juga keberaniannya)

Istri lain tjotjoan (Perempuan bukan barang mainan),

heureujkeuneun kaoelinan (yang dijadikan lelucon),

tapi boga kawadjiban (namun punya kewajiban),

ngabantoe ka oenggal medan (membantu setiap medan)

Baca Juga: PERSATUAN ISLAM DI MASA HINDIA BELANDA #15: Polemik Persis dengan Al-Ittihadiyatul Islamiyah
PERSATUAN ISLAM DI MASA HINDIA BELANDA #16: Polemik Persis dengan Machfoed Siddik
PERSATUAN ISLAM DI MASA HINDIA BELANDA #17: Persis Menggelar Sunatan Massal

Mendirikan Pesantren Perempuan

Sementara itu, program untuk mendirikan pesantren perempuan rencananya akan dibuka sesudah bulan Ramadan tahun 1356 Hijriyah. Atas nama Ahmad Hassan sebagai ketua pesantren Persis, majalah Al-Lisaan edisi 22 April 1937 menyebutkan juga berbagai persyaratan dan pelajaran yang akan diberikan kepada calon santri, seperti tambahan pelajaran yang berbeda dengan pesantren laki-laki. Selain itu penjagaan yang ketat, seperti rumah yang disediakan khusus dengan dijaga oleh guru-guru bersama istrinya dan beberapa orang perempuan; ruangan belajar khusus yang tidak dilakukan di gedung sekolah seperti yang dilakukan oleh santri laki-laki; tidak boleh keluar rumah meskipun hanya setapak; tidak boleh bertemu dengan laki-laki kecuali dengan mahramnya; tidak boleh bertemu dengan perempuan lain kecuali ada izin dari guru; lalu semua santri perempuan juga diwajibkan memakai pakaian yang diatur oleh guru sesuai dengan syariat Islam (Al-Lisaan nomor 17 22 April 1937).

Bagi santri yang akan belajar di pesantren perempuan, pengurus Persis mematok biaya yang sudah dirinci. Antara lain f15 untuk tempat tinggal, makan, minum, dan mencuci pakaian; setiap satu bulan santri harus menyisihkan f 1 untuk celengan; buku-buku pelajaran dibeli dari uang sendiri; begitupun dengan keperluan tidur, santri harus membayar f 20 dengan membayar uang muka sebesar f 5 dengan dua kali bayar; sedangkan untuk santri yang tidak menetap di asrama hanya dikenakan f 4.

Di samping persyaratan biaya, pengurus pesantren juga memberikan syarat lain, yakni berhubungan dengan karakteristik calon santri. Pihak pesantren berhak menerima santri bila sudah genap berumur 12 tahun. Selain itu santri juga diwajibkan mampu membaca dan menulis huruf Latin dan Arab untuk memudahkan pemahaman dalam menerima berbagai pelajaran yang diajarkan. Lalu terdapat beberapa keterangan penting berkenaan dengan biaya dan jumlah santri yang masuk. Di antaranya ihwal pengurus yang tidak menerima santri secara gratis. Di samping itu calon santri wajib untuk mendatangi pengurus pesantren sebelum persyaratan itu dipenuhi. Bahkan pesantren akan dibuka jika santri yang masuk minimal berjumlah 12 orang.

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//