• Kolom
  • BIOGRAFI RADEN AYU SANGKANINGRAT (1907-1944) #9: Anggota Komisi Sensor Film

BIOGRAFI RADEN AYU SANGKANINGRAT (1907-1944) #9: Anggota Komisi Sensor Film

Raden Ayu Sangkaningrat diangkat menjadi anggota Filmcommissie pada 24 Maret 1933 untuk menggantikan posisi yang ditinggalkan R.A. Mirjam.

Atep Kurnia

Peminat literasi dan budaya Sunda

Salah satu adegan dari film Pareh. (Sumber: De Telegraaf, 27 Oktober 1935).

6 Juni 2023


BandungBergerak.idSetelah ada reorganisasi Filmcommissie tahun 1934, nama Sangkaningrat masih tercatat sebagai salah seorang anggota lembaga sensor film Hindia Belanda itu. Selengkapnya susunan pengurus Commissie voor de Keuring van Films  adalah R.F. Ch. Smith (ketua), dengan anggota Nyonya P. Fromberg-Pyttersen, Nyonya C.H. Dorrenboom-Schlusser, R.A. Sangkaningrat, Nyonya M.H.C. Duynstee-Van Basten Batenburg, Mr. C.C. van Helsdingen, Landjoemin Gelar Datoe Toemanggoeng, F. Laoh, H.H. Kan, Mr. C.M. Brooshooft, R.A.A. Soejono, P.A. van de Stadt, Ir. C.P.H. Jagtman, L. Kamper, K. Stoker, dan Mr. A.W. van Zadelhoff (De Indische Courant, 8 September 1934).

Raden Ayu Sangkaningrat punya andil bagi perkembangan film di Hindia Belanda. Dua buktinya adalah keterlibatannya sebagai anggota Commissie voor de Keuring van Films atau semacam Lembaga Sensor Film (LSF) sekarang ini antara tahun 1933 hingga 1935 dan salah seorang yang membantu pembuatan film pertama yang bersuara di Hindia Belanda, yaitu Pareh (1936) karya Albert Balink dan Mannus Franken. 

Berbicara mengenai Commissie voor de Keuring van Films, lembaga ini menurut D.G. Stibbe, Mr.Dr. F.J.W.H. Sandbergen dan P.A. Tellings (Encyclopaedie van Nederlandsch-Indie, Achtste deel, 1939: 1643-1645) bertugas untuk mengawasi peredaran film di Hindia Belanda. Regulasi pengawasannya sendiri mulai termaktub dalam Ind Stb. (Indisch Staatsblad, lembaran negara Hindia Belanda) 1916 no. 276 yang lebih dikenal sebagai “Bioscoop-Ordonnantie”. Aturan tersebut mengalami perubahan dan amandemen yang tertuang dalam Ind. Stb. 1919 no. 377, Ind. Stb. 1919 no. 742, Ind. Stb. 1922 no. 668, dan akhirnya Ind. Stb. 1925 no. 477 yang  dikenal sebagai “Filmordonnantie 1925”. 

Filmordonnantie 1925” juga mengalami amandemen dengan aturan yang dimasukkan ke dalam Ind Stb. 1925 no. 478, Ind Stb. 1926 no. 7, dan Ind Stb. 1930 no. 447 serta 448. Dengan adanya “Bioscoop-Ordonnantie” mengisyaratkan persetujuan atas peredaran film-film oleh satu atau lebih komisi yang ditetapkan oleh gubernur jenderal Hindia Belanda. Dan pada praktiknya, “Filmordonnantie 1925” mulai efektif berlaku pada 1 Januari 1926 yang dipusatkan dan dipercayakan kepada Commissie voor de Keuring van Films atau lebih dikenal sebagai Filmcommissie, yang didirikan di Batavia, dan berada di bawah kendali Departement van Binnenlandsch Bestuur (departemen dalam negeri). 

Dengan adanya aturan tersebut, sejak 1 Januari 1926, film-film impor yang akan ditayangkan di bioskop-bioskop harus melalui kantor pemeriksaan terlebih dahulu di Tanjungpriok. Film-film tersebut akan diterima oleh staf Filmcommissie. Dari situ, setelah melewati sensor Filmcommissie, film-film baru bisa diterima oleh importir dan setelah bagian yang tidak dikehendaki digunting terlebih dahulu. Bila film tidak lolos sensor, maka film tersebut dikembalikan lagi ke negara asalnya. 

Itu sekilas mengenai sejarah dan tugas Commissie voor de Keuring van Films atau Filmcommissie. Lalu kapan persisnya Raden Ayu Sangkaningrat diangkat menjadi anggota lembaga sensor film itu? Menurut laporan tahunan Filmcommissie tahun 1933 (“Jaarverslag van de commissie voor de keuring van films over het jaar 1933”) yang dimuat dalam Soerabaijasch Handelsblad edisi 15 Februari 1934, karena ada beberapa anggota Filmcommissie yang berhenti atau mengundurkan diri secara terhormat, yaitu Monod de Froideville (8 Februari 1933), R.A. Mirjam (24 Maret 1933), Nyonya Ophof (10 Mei 1933), dan Honig van den Bossche (17 Juli 1933), maka sebagai gantinya diangkatlah Mr. C.M. Brooshooft, R.A. Sangkaningrat, Nyonya M.A. Helb dan Ir. C.P.H. Jagtman.

Dari berita singkat tersebut, bisa ditarik kesimpulan Sangkaningrat diangkat menjadi anggota Filmcommissie pada 24 Maret 1933 untuk menggantikan posisi yang ditinggalkan R.A. Mirjam, yang tentu saja perempuan bumiputra dari kalangan atas. 

Setelah ada reorganisasi Filmcommissie tahun 1934, nama Sangkaningrat masih tercatat sebagai salah seorang anggota lembaga sensor film Hindia Belanda itu. Selengkapnya susunan pengurus Commissie voor de Keuring van Films  adalah R.F. Ch. Smith (ketua), dengan anggota Nyonya P. Fromberg-Pyttersen, Nyonya C.H. Dorrenboom-Schlusser, R.A. Sangkaningrat, Nyonya M.H.C. Duynstee-Van Basten Batenburg, Mr. C.C. van Helsdingen, Landjoemin Gelar Datoe Toemanggoeng, F. Laoh, H.H. Kan, Mr. C.M. Brooshooft, R.A.A. Soejono, P.A. van de Stadt, Ir. C.P.H. Jagtman, L. Kamper, K. Stoker, dan Mr. A.W. van Zadelhoff (De Indische Courant, 8 September 1934).

Nama Raden Ayu Sangkaningrat sebagai anggota Filmcommissie tercatat pula dalam Regerings-almanak voor Nederlandsch-Indie 1934, Deel 2 (1934) dan Regerings-almanak voor Nederlandsch-Indie 1935, Deel 2 (1935).

Baca Juga: BIOGRAFI RADEN AYU SANGKANINGRAT (1907-1944) #8: Menggagas Sekolah Asrama bagi Gadis Bangsawan di Binjai
BIOGRAFI RADEN AYU SANGKANINGRAT (1907-1944) #7: Jongens Internaat
BIOGRAFI RADEN AYU SANGKANINGRAT (1907-1944) #6: Pendorong Perkembangan Industri Tenun Majalaya

Tokoh Machmoed dalam film Pareh yang diperankan oleh Rd. Mochtar. (Sumber: De Indische Courant, 31 Oktober 1936)
Tokoh Machmoed dalam film Pareh yang diperankan oleh Rd. Mochtar. (Sumber: De Indische Courant, 31 Oktober 1936)

Kontribusi untuk Pareh

Raden Ayu Sangkaningrat disebut-sebut berkontribusi dalam pembuatan film Pareh (De Telegraaf, 21 November 1936). Di situ antara lain dikatakan, film itu disutradarai Albert Balink dan Mannus Franken, diproduksi oleh Java Pacific Film Mij di Batavia dan bekerjasama dengan Raden Adipati Wiranata Koesnema (Regent van Bandoeng), Raden Ajoe Sangkaningrat Wiranata Koesoema dan Raden Toemenggoeng Aria Soeria Karta Legawa (Regent van Garoet).

Agar lebih jelas, mari kita telusuri sejarah pembuatan film Pareh yang judulnya ditimba dari bahasa Sunda: pare atau padi. Dalam De Indische Courant (23 Juli 1935) dijelaskan Java Pacific Film menyelesaikan perekaman film bicara pertamanya Pareh, het lied van de rijst. Persiapan serta perekaman suaranya dikerjakan Mannus Franken dan Albert Balink. Film ini semuanya dimainkan oleh orang Sunda serta mendapat bantuan dari orang-orang Sunda termasyhur. Pembuatan filmnya selama setahun dan sepenuhnya dikerjakan di alam terbuka. Komposisi musiknya disusun Paul Schramm. Sinkronisasi filmnya akan segera dimulai.

Sementara De Sumatra Post (5 Agustus 1935) mewartakan bahwa Java Pacific Film yang berkantor di Bandung, setelah memulai debutnya dengan film Gunung Merapi, kini setelah setahun persiapan dan pengambilan gambar telah menyelesaikan sebuah film baru. Rincian lain yang disebutkan oleh koran ini adalah semua aktornya orang desa, yang terdiri atas 12 “protagonis” dan banyak lagi yang lainnya. Pengambilan gambarnya dilakukan terutama di Priangan, kemudian di Kinderzee (Gunung Bromo), Candi Giri di Gresik, dan Nusa Kambangan.

Rencananya screening film Pareh akan dilakukan sekitar Natal tahun 1935. Filmnya akan ditujukan bagi kalangan orang Belanda, luar negeri, dan pribumi Hindia Belanda. Dalam praktiknya, karena ditujukan bagi kalangan pribumi maka skenario dan pengambilan gambarnya semuanya disesuaikan dengan data dan adat kebiasaan orang Sunda yang memerankannya. Selain itu, Mannus dan Albert mendapatkan bantuan Bupati Bandung Raden Adipati Aria Wiranatakoesoemah dan Bupati Garut Raden Toemenggoeng M. M. Soeriakartalegawa. Kedua bupati ini menjadi penasihat terutama berkaitan dengan adat kebiasaan orang Sunda serta pencarian aktor, saat mengalami kesulitan dalam memilih pemeran perempuan. Menurut Mannus, para pemain membuat sesajian saat pengambilan gambar di sekitar pohon keramat dan menolak menggunakan keris keramat asli untuk adegan penggunaan keris keramat (Algemeen Handelsblad, 12 Oktober 1935).

Meski dalam wawancara tersebut, Mannus tidak menyebut-nyebut nama Sangkaningrat, barangkali lupa atau terlewat, saya yakin peran Sangkaningrat dalam pembuatan film Pareh adalah dalam kerangka memberi informasi adat kebiasaan orang Sunda. Karena sebagaimana yang sudah saya tulis sebelumnya, ia menyusun buku kesehatan orang Sunda yang berlandaskan pada adat-istiadat yang terdapat di tengah-tengah orang Sunda pada tahun 1927.

Selanjutnya dalam De Indische Courant (28 Desember 1935) mengemuka pendapat Mannus Franken tentang Pareh. Katanya, tidak ada pemain profesional yang terlibat dalam film itu. Semuanya orang pribumi yang tidak terlatih dan terdidik bermain film. Ada kemenakan perempuan jurutulis kabupaten yang terlibat. Pengambilan gambarnya sendiri dilakukan dari April hingga Oktober 1935, para gadis yang bermain film suka dijagai oleh saudara sepupunya dan saat itu kaum perempuan pribumi terlarang keluar malam, sehingga Mannus dan Albert menempatkan para pemain perempuan di halaman belakang. Di balik pembuatan film Pareh terkandung tiga maksud utama, yaitu “pertama, kami ingin membuat Hindia Belanda dikenal di Eropa; kedua, membuat film yang selaras sekali dengan adat masyarakat pribumi; dan ketiga, membuat film yang secara artistik terjustifikasi oleh para pembuatnya”.

Mannus kemudian menyatakan, “Semuanya dilakukan di Priangan. Dari delapan bulan kehadiran saya di Hindia, saya hanya libur dua hari Minggu. Kami bekerja keras. Dan sebagai asisten teknis, kami dibantu dua orang Tionghoa, yaitu Wong bersaudara. Kami tinggal di dekat studio pada hanya satu-satunya rumah gedung dari batu. Untuk pengambilan gambar yang pertama dilakukan selama sejam atau sejam setengah dengan menggunakan mobil”.

“Para aktor dan aktris berada pada mobil Ford besar, sementara kami bersama perkakas film dan peralatan lainnya pada mobil terpisah. Kami selalu menemukan hal-hal tambahan baru pada lokasi syuting. Kami juga mendapat bantuan dari Bupati Bandung dan Garut,” ujar Mannus.

Albert Balink juga tak ketinggalan menyatakan pendapatnya dalam De Sumatra Post (7 Februari 1936). Katanya, “Saat pertama kali menjumpai Priangan, saya anggap lokasi di Asia ini sebagai surganya sawah yang ditanami padi. Sawah berpematang yang berlatar-belakang lereng gunung-gunung biru, seperti kolam kelabu saat pagi menjelang atau riam putih padat yang tersorot cahaya matahari. Sawah yang berjumpa dengan tibanya malam tropis saat berkas akhir sinar matahari mengubah permukaan air menjadi skala porselen jasper yang berharga dan dari desa sebelah terbit nostalgia bagi cahaya yang hampir padam.”

“Gadis-gadi Sunda, yang kadang-kadang dikenal sebagai Gadis-gadis Paris dari Timur karena kepenuhan hati serta keriangannya, menyanyikan tembang musim panen dengan senyum terkulum dan harapan di hati.”

“Dalam gerumbul-gerumbul bambu di ujung sawah ada para pencuri padi, yakni burung-burung penyanyi dengan tubuh ramping berkibar-kibar dan menyapu-nyapu antara sawah ke sawah. Burung-burung itu kemudian akan diusir oleh seruan "hoooya, hoooya” anak kecil bertelanjang dada, yang mengguncang-guncang tali panjang untuk mengusir bandit bersayap itu.”

“Dan di kejauhan, suara air  berdesir-desir. Air yang membentuk jiwa orang-orang Jawa petani,” demikian kata Albert mengenang Priangan. Ia juga menyitir salah satu nyanyian untuk film tersebut. Katanya, “Dari mana punai melayang? Dari kayu turun ke padi. Dari mana kasih sayang? Dari mata turun ke hati”.

Akhirnya, rol-rol film Pareh tiba di Tanjungpriok, pada 4 Oktober 1936, melalui kapal laut “Poelau Tello”. Film yang dikerjakan hampir dua tahun itu akan diputar perdana di Rex Theater, Batavia, pada 14 Oktober 1936 dan 20 Oktober 1936 di bioskop Elita di Bandung. Sementara tayangan perdana di Eropa pada November 1936 (Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 9 Oktober 1936). Barangkali saat itu, Raden Ayu Sangkaningrat sudah tidak lagi menjadi anggota Commissie voor de Keuring van Films, atau kalau masih, berarti ia termasuk orang-orang Hindia yang pertama-tama menyaksikan film pertama bersuara yang dihasilkan di Hindia Belanda itu.

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//