• Berita
  • Ancaman Krisis Air Bersih di Bandung Raya karena Penurunan Tanah dan El Nino

Ancaman Krisis Air Bersih di Bandung Raya karena Penurunan Tanah dan El Nino

Produksi air bersih PDAM Tirtawening 3,2 juta kubik per bulan. Angka ini masih jauh di bawah kebutuhan air masyarakat Kota Bandung yang mencapai 7-8 juta kubik.

Seorang anak di Kabupaten Bandung mengambil air pada musim kemarau berkepanjangan, Selasa (7/9/2021). (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)

Penulis Iman Herdiana30 Juni 2023


BandungBergerak.id - Fenomena El Nino atau kemarau panjang diperkirakan akan berlangsung sampai Agustus 2023. Bahaya kekeringan maupun krisis air bersih pun mengancam kota-kota di Indonesia, tak terkecuali Bandung Raya yang meliputi kota/kabupaten Bandung dan Bandung Barat, serta Kota Cimahi.

Potensi krisis air bersih ini diperparah dengan penurunan muka tanah yang berlangsung dari tahun ke tahun. Selain itu, jumlah warga yang bisa mengakses air bersih ke Perusahaan Dagang Air Minum (PDAM) masih terbatas.

Di Kota Bandung, misalnya, produksi air bersih PDAM Tirtawening hanya 2.200 liter per detik atau 3,2 juta kubik per bulan. Angka ini masih jauh di bawah kebutuhan air masyarakat Kota Bandung yang mencapai 7.000 - 8.000 liter per detik atau 7 - 8 juta kubik per bulan.

Masalah terbatasnya produksi air bersih PDAM Tirtawening sempat menjadi sorotan Ombudsman RI Jawa Barat. Kurangnya produksi air bersih menjadi salah satu faktor yang menghambat pelayanan penyediaan air bersih. Hal ini menimbulkan masalah berulang, yakni tingginya pengaduan masyarakat terkait pelayanan publik ini.

Kepala Keasistenan Pengaduan Masyarakat Ombudsman RI Jawa Barat Fitry Agustine mengatakan, pengaduan berulang masyarakat pada pelayayanan pebulk PDAM Tirtawening meliputi keluhan air tidak mengalir, volume air yang kecil, dan air mengalir hanya pada waktu tertentu saja.

"Kemampuan suplai air bersih oleh Perumda Tirtawening di Kota Bandung belum bertambah sejak tahun 1990,” kata Fitry Agustine, dikutip dari siaran pers, Senin (20/02/2023).

Tak hanya itu, kawasan Cekungan Bandung atau Bandung Raya sudah lama mengalami penurunan muka tanah akibat pengambilan air tanah secara besar-besaran dan faktor lainnya.

Menurut penelitian Staf Pengajar Program Studi Diploma Teknik Sipil FTSP ITS Tatas dan Yudi Rahayudin dari Pusdiklat Geologi DESDM, Bandung, yang diakses Selasa (27/6/2023), di Cekungan Bandung telah terjadi kematian beberapa sumber air. Kedua peneliti menyatakan, awalnya muka air tanah Cekungan Bandung bisa mencapai di atas permukaan tanah, namun hampir 25 tahun berikutnya muka air tanah telah turun hingga puluhan meter di bawah muka tanah.

“Matinya mata air tersebut mengindikasikan bahwa recharge untuk mata air di daerah tersebut berkurang atau bahkan sudah tidak ada imbuhan lagi. Selain itu turunnya muka air tanah juga bisa menjadi sebab berkurangnya sumber air bersih,” terang Tatas dan Yudi Rahayudin.

Pada penelitian yang dipublikasikan 2010 itu kedua peneliti menyatakan rata-rata penurunan permukaan tanah di Cekungan Bandung berkisar antara 1 cm (di Rancaekek periode Juli 2002 - Juni 2003) hingga mencapai 19 cm terjadi di Cimahi, periode Pebruari 2000 - November 2001.

Baca Juga: Kobaran Semangat Eva Eryani selama Enam Tahun Melawan Penggusuran Tamansari
Trotoar dan Taman di Bandung Belum Sepenuhnya Layak bagi Kawan Difabel
CERITA VISUAL: Kronologi Perjalanan Sukarno di Bandung 1921-1934

Imbauan Hemat Air di Tengah Ancaman Kehausan

Direktur Utama Perusahaan Dagang Air Minum (PDAM) Tirtawening Kota Bandung Sonny Salimi telah mengumumkan bahwa puncak kemarau akan terjadi satu sampai dua bulan dari sekarang, yakni Agustus 2023. Sonny mengatakan, ada dua isu strategis yang menjadi fokus PDAM Tirtawening dalam menghadapi fenomena El Nino, yakni ketersediaan air baku dan bagaimana apabila terjadi penurunan drastis ketersediaan air baku.

Sonny mengatakan, saat ini ketersediaan air baku PDAM Kota Bandung masih aman. Dari dua lokasi sumber air baku yakni di Situ Cileunca dan Situ Sipanunjang, ketersediaan air baku masih di angka 90 persen.

Melihat angka tersebut, Sonny optimis ketersediaan air baku masih aman dengan catatan dipakai dengan bijaksana. "Jika air baku ini kita pakai secara bijaksana saya rasa kita dapat mengatasi kelangkaan air baku di puncak Kemarau," ungkap Sony, dikutip dari siaran pers, Selasa (20/6/2023).

Air merupakan kebutuhan dasar manusia. Dalam penelitian yang dilakukan Ginardy Husada, Maria Christine, Maria Fransiska dari Jurusan Teknik Sipil Fakultas Teknik Universitas Kristen Maranatha, Bandung, menyebutkan tingginya pertumbuhan penduduk dan laju pembangunan modern menyebabkan menurunnya kualitas air.

Ginardy dkk. Melaporkan peringatan serius yang muncul dari Lingkungan Indonesia 2009 di Jakarta yang menyatakan bahwa masyarakat dunia tak hanya terancam kelaparan namun juga kehausan. Kelangkaan air paling parah di kawasan Afrika. Sedangkan untuk Asia Tengah adalah Indonesia, khususnya di Jawa dan sepanjang pantai utara.

Penelitian ini memaparkan data dari Dinas Pekerjaan Umum yang menunjukkan sekitar 70 persen populasi Indonesia mengkonsumsi air yang sudah terkontaminasi zat-zat berbahaya. Hampir 100 juta orang Indonesia punya akses terbatas mendapatkan air bersih. Dari jumlah penduduk di Pulau Jawa, hanya sekitar 4,5 persen penduduk Pulau Jawa yang bisa mengkonsumsi air bersih.

Para peneliti juga menyoroti bahwa setiap tahun kondisi lingkungan hidup di Indonesia cenderung menurun. “Selain krisis air, negeri ini juga menjadi langganan bencana alam,” tulis menurunnya kualitas air Ginardy dkk.

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//