Catatan untuk Cerdas Cermat HAM Tingkat SMP di Kota Bandung
Banyak cara untuk menanamkan konsep hak asasi manusia pada anak-anak sekolah. Apa pun cara itu tujuan utamanya adalah pemahaman dan implementasi HAM.
Penulis Iman Herdiana11 Agustus 2023
BandungBergerak.id - Sejumlah sekolah setingkat SMP di Kota Bandung baru-baru ini mengikuti Lomba Cerdas Cermat Hak Asasi Manusia (HAM). Tujuan lomba ini agar anak-anak sekolah sejak dini memahami arti dari hak asasi manusia mulai dari hal yang sederhana.
“Misalnya cara mereka bertindak di sekolah tidak menimbulkan perundungan atau bullying. Sehingga mereka tahu sejak dini cara untuk saling menghargai, menghormati, dan peduli sesama teman," terang Kepala Bagian Hukum Setda Kota Bandung Santosa Lukman Arief, dikutip Jumat (11/8/2023) dari siaran pers Pemkot Bandung.
Arief mengatakan, pihaknya juga bekerja sama dengan Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham). Sebelum lomba, Kemenkumham memberikan penyuluhan terkait dengan HAM ke 10 sekolah ini.
Untuk materi yang dilombakan, Pemkot Bandung juga berkoordinasi dengan Kemenkumham. Para peserta diberikan satu modul untuk mempelajari mengenai HAM. Setelah itu baru dilombakan.
"Secara umum akan ditanya mengenai teori yang ada di seluruh dunia berkaitan dengan proses implementasi HAM di setiap negara termasuk Indonesia. Khususnya di Kota Bandung dalam cakupan kecilnya," imbuh Santosa.
HAM sendiri memiliki dimensi yang sangat luas. Bahkan jika dikaitkan dengan implementasi HAM di Indonesia maupun di Bandung, akan banyak sekali rinciannya. Jika dilihat dari kasus pelanggaran HAM, juga lebih kompleks lagi. Sebab sampai saat ini masih banyak kasus-kasus pelanggaran HAM yang belum tuntas ditangani negara.
Catatan HAM di Dunia Pendidikan
Mengenalkan materi-materi HAM sejak dini amat penting baik dalam bentuk lomba cerdas cermat maupun melalui mata pelajaran sekolah. Apalagi anak-anak sekolah merupakan generasi penerus yang akan menggantikan para orang tua di berbagai lini termasuk pemerintahan.
Tujuan jangka panjang dari pendidikan HAM ini agar anak-anak pada usia dewasa nanti tidak mengulangi kesalahan serupa seperti yang penah dilakukan para orang tuanya. Sebagai gambaran, Presiden Joko Widodo telah menerbitkan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 2 Tahun 2023 tentang rekomendasi penyelesaian non-yudisial pelanggaran HAM berat di masa lalu.
Dalam Inpres tersebut penanganan non-yudisial ini juga hanya terfokus pada korban 12 kasus pelanggaran HAM berat berdasarkan temuan Komnas HAM, yaitu Peristiwa 1965-1966; Peristiwa Penembakan Misterius 1982-1985; Peristiwa Talangsari, Lampung 1989; Peristiwa Rumoh Geudong dan Pos Sattis, Aceh 1989; Peristiwa Penghilangan Orang Secara Paksa 1997-1998; Peristiwa Kerusuhan Mei 1998; Peristiwa Trisakti dan Semanggi I – II 1998-1999; Peristiwa Pembunuhan Dukun Santet 1998-1999; Peristiwa Simpang KKA, Aceh 1999; Peristiwa Wasior, Papua 2001-2002; Peristiwa Wamena, Papua 2003; Peristiwa Jambo Keupok, Aceh 2003.
Menurut catatan dari lembaga atau organisasi HAM, masih banyak kasus-kasus pelanggaran HAM di luar daftar Inpres tersebut, sebut saja kasus pembunuhan pejuang HAM Munir yang mendorong munculnya aksi Kamisan di berbagai tempat di Indonesia, termasuk di depan Gedung Sate Bandung setiap hari Kamis.
Di Bandung sendiri kasus penggusuran yang bersinggungan dengan HAM, mulai penggusuran untuk proyek rumah deret Tamansari, Anyer Dalam, dan sampai saat ini warga Dago Elos masih berjuang mempertahankan tanahnya. Padahal Kota Bandung mengklaim diri sebagai kota ramah HAM.
Banyak cara yang bisa dilakukan untuk mengenalkan HAM pada anak-anak sekolah, selain melalui cerdas cermat yang bersifat lomba. Namun yang menjadi catatan, metode pengenalan HAM ini jangan sampai keluar dari esensinya, yaitu memberikan pemahaman dan implementasi HAM itu sendiri, bukan menjuarai lomba atau mengejar prestasinya.
Sudah menjadi rahasia umum, pendidikan di Indonesia memiliki masalah tersendiri. Padahal pendidikan menjadi ranah krusial dalam pembelajaran hak asasi manusia. Dosen Fakultas Hukum Universitas Surabaya Suhartati dalam makalah “Pendidikan Anak Berbasis Hak Asasi Manusia” menyatakan, salah satu persoalan klasik pendidikan adalah masih belum mencukupi rasio antara kuantitas dan sarana prasarana pendidikan dengan jumlah anak yang membutuhkan.
“Pendidikan sering kali menjadi sebuah bisnis yang semata-mata profit oriented sehingga sering kali mengaburkan tujuan pendidikan yang hakiki,” tulis Suhartati, diakses Jumat (11/8/2023).
Suhartati menjelaskan, pendidikan bertujuan membantu anak dalam meningkatkan kemampuan intelektualitas maupun pembentukan karakter yang baik. Pendidikan akan sangat penting fungsinya untuk membentuk manusia secara utuh dengan mengembangkan aspek fisik, emosi, sisial, kreativitas, spiritual dan intelektual anak secara optimal.
Pada hakikatnya, Suhartati menjelaskan, pendidikan merupakan sebuah bentuk hak asasi manusia yang dimiliki oleh anak. HAM dapat diartikan hak dasar (asas) yang memiliki dan melekat pada manusia karena kedudukannya sebagai manusia.
Tanpa adanya hak tersebut, maka manusia akan kehilangan harkat dan martabatnya sebagai manusia. Hak asasi manusia adalah hak dasar atau hak pokok manusia yang dibawa sejak lahir sebagai anugerah Tuhan YME, bukan pemberian manusia atau penguasa.
Pendidikan yang bertitik tolak dari pemahaman bahwa pendidikan merupakan hak dari anak akan menjadikan anak bukan sebagai obyek melainkan sebagai subyek. “Akan tetapi, dalam kenyatannya sampai saat ini fenomena yang ada dalam masyarakat menunjukkan bahwa anak masih cenderung menjadi obyek,” katanya.
Baca Juga: Jalan Sunyi Pak Sariban
JEJAK-JEJAK LITERASI DI BANDUNG #1: Pasar Palasari di Persimpangan Zaman
Menanamkan Benih Cinta pada Bahasa Daerah di Festival Drama Basa Sunda 2023
Pendidikan Ramah HAM
Komnas HAM pernah memaparkan soal prinsip pendidikan ramah HAM. Komisioner Pendidikan dan Penyuluhan Beka Ulung Hapsara mengatakan, ada 10 prinsip yang harus dipenuhi dalam pendidikan atau sekolah yang ramah HAM.
Prinsip pertama yaitu, penghormatan terhadap harkat dan martabat manusia. Kedua, non diskriminasi. Ketiga, inklusi, keempat partisipasi semaksimal mungkin dan kelima, kesamaan akses sumber daya dan informasi.
“Negara harus menyediakan sebanyak mungkin kanal-kanal informasi,” jelas Beka.
Prinsip keenam yaitu, akuntabilitas dan transparansi. Ketujuh, pemberdayaan seluruh elemen dalam sistem pendidikan, kedelapan kesetaraan. Kesembilan, jaminan perlindungan, khususnya bagi kelompok minoritas, rentan, dan marginal.
“Ini bisa soal ketersediaan guru agama sesuai dengan kepercayaan yang dianut atau akses pendidikan untuk anak-anak masyarakat adat di daerah”, terang Beka. Prinsip terakhir yaitu, saling terkait atau bergantung dengan hak-hak yang lain.
Beka mengajak kepada seluruh masyarakat agar turut serta mewujudkan pendidikan atau sekolah yang ramah HAM. “Ada tugas besar kita bersama untuk mewujudkan sekolah atau pendidikan yang ramah HAM. Dalam catatan Komnas HAM, ada ancaman pelanggaran HAM yang terjadi di sekolah, misalnya diskriminasi, perusakan lingkungan, intoleransi, bullying, dan pengabaian terhadap penyandang disabilitas”, terang Beka.