• Berita
  • Refleksi atas Tiga Dosa Besar Negara dalam Aksi Kamisan September Hitam UPI Bandung

Refleksi atas Tiga Dosa Besar Negara dalam Aksi Kamisan September Hitam UPI Bandung

Aksi kamisan di kampus UPI Bandung mengusung tema besar September Hitam. Aksi ini mengkritik penghilangan, pembungkaman, dan penggusuran oleh negara.

Aksi kamisan September Hitam depan Villa Isola atau Rektorat UPI, Bandung, Kamis, 28 September 2023. (Foto: Rahmah Azzahra/UPI)*

Penulis Iman Herdiana29 September 2023


BandungBergerak.idAksi peringatan September Hitam dalam wadah kamisan bergulir ke ranah kampus, khususnya di Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung. Mahasiswa dari berbagai organisasi di kampus pendidikan ini memperingatkan bahwa negara sampai saat ini memiliki tiga dosa besar, yakni penghilangan, pembungkaman, dan penggusuran.

Aksi kamisan September Hitam dilangsungkan di gedung Villa Isola atau Rektorat UPI, Kamis, 28 September 2023. Sedikitnya 50 mahasiswa lintas organisasi dan jurusan dari internal UPI Bandung mengikuti unjuk rasa damai ini.

Rahma Husna dari Unit Kegiatan Studi Kemasyarakatan (UKS) UPI menjelaskan, aksi ini sekaligus ingin mengenalkan kembali aksi kamisan di UPI yang sudah lama vakum.

“Kamisan di UPI belum aktif lagi. Sekarang kita ingin kembali mengangkat, mengenalkan, dan mengingatkan kembali tentang HAM. September Hitam kita angkat sebagai tema utama karena kasus-kasus pelanggaran HAM banyak terjadi di bulan September. Kita berharap aksi kamisan ini terus ada ke depannya (di UPI),” terang Rahma Husna, saat dikonfimasi BandungBergerak.id, Jumat, 29 September 2023.

Dikutip dari siaran pers Aksi Kamisan UPI, September merupakan bulan penuh nestapa, banyak sekali peristiwa-peristiwa nonkemanusiaan dan pelanggaran HAM yang terjadi sepanjang bulan ini. Sampai saat ini, peristiwa tersebut belum juga diselesaikan oleh negara secara berkeadilan dengan mengedepankan prinsip-prinsip HAM yang menjunjung tinggi martabat korban. Meskipun, kasus Munir dan Tanjung Priok sudah terdapat mekanisme peradilannya, pengungkapan kebenaran dan juga akses pemulihan kepada korban masih absen dilakukan oleh negara.

September hitam adalah momentum merawat ingatan dan sebuah kampanye melawan kekerasan negara yang hadir tahunan hingga saat ini. Warga selalu dipaksa untuk diam dan melupakan banyaknya kasus pelanggaran HAM berat di masa lalu yang bisa mengancam kapan saja dan di mana saja.

“Pemerintah terus berganti, penindasannya tetap menjadi-jadi. Kebenaran tidak bisa dielakan lagi karena kekuasaan selalu melahirkan penindasan dan eksploitasi baru dari generasi ke generasi,” demikian dikutip dari pernyataan resmi Aksi Kamisan UPI.

Kekuasaan Orde Baru

Aksi Kamisan UPI juga menyatakan, sepanjang 32 tahun kekuasaan Orde Baru di Indonesia dipimpin oleh jenderal yang berlumuran darah ratusan hingga jutaan manusia. Jenderal ini berhasil menghancurkan perjuangan pembangunan kebangsaan Indonesia, menghancurkan demokrasi demi modal internasional, menjalankan kapitalisme-militeristik.

Pascakejatuhan Orde Baru pada tanggal 21 Mei 1998, nampaknya kekuasaan dan militerisme Orde Baru tidak pernah benar-benar jatuh. Kekuatannya masih bercokol dan beranak pinak menjadi oligarki yang kuat mencengkram segala lini kehidupan masyarakat, membajak cita-cita reformasi, dan menggerogoti demokrasi.

Semakin naiknya angka pelanggaran HAM saat ini menambah catatan hitam bahwa aparatur negara adalah penyuplai paling besar dari penghilangan orang, pembunuhan tanpa proses pengadilan dan tindakan tindakan diskriminatif lain yang dengan tameng birokrasi penguasa dan korporasi.

“Kita juga dapat menyaksikan tindakan yang terus menerus dilakukan dengan pendekatan dan corak militeristik di tanah Papua. Kasus-kasus kekerasan ini terjadi, tidak terlepas dari kebijakan dan kelalaian negara. Pendekatan keamanan terbukti tidak berhasil dalam menyelesaikan masalah dan justru berakibat pada masifnya berbagai peristiwa pelanggaran HAM,” ungkap Aksi Kamisan UPI.

Rezim yang sekarang berkuasa dinilai telah menunjukkan watak fasis sejatinya. Tanpa segan aparatus militer, polisi hingga para-militer sipil memberangus semua perlawanan rakyat yang menentang rentetan undang-undang yang bermasalah, sebut saja UU Cipta Kerja, KUHP versi baru, UU ITE yang tentu saja merombak habis perundang-undangan dengan minimnya partisipasi publik.
Solusi Palsu Reforma Agraria

Aksi Kamisan UPI juga menyoroti solusi palsu Reforma Agraria Perhutanan Sosial (RAPS) yang dijalankan rezim saat ini, di tengah banjir investasi asing yang merampas tanah dan sumber kekayaan agraria bagi perluasan perkebunan sawit skala besar, pertambangan, dan taman nasional.
Tidak kalah bengis adalah perampasan tanah massal bagi ratusan proyek infrastruktur strategis nasional yang ditopang dengan utang luar negeri yang sangat besar dan membebani APBN hingga anak-cucu. Kehancuran ruang hidup rakyat perdesaan dan kelestarian lingkungan sungguh kerusakan yang tiada terkira.

“Seluruh aliran kapital asing yang takut membusuk di negeri-negeri induk imperialis tersebut dipoles dan dimanipulasi atas nama pembangunan infrastruktur fisik dan digital, konektivitas dan inklusivitas, yang tak lebih hanya akan memperlancar beroperasinya ekspansi kapital asing yang semakin mendekatkan rakyat yang telah jatuh daya belinya dalam jurang kemiskinan massal dan cepat,” kata Aksi Kamisan UPI.
Kasus Dago Elos

Tak hanya itu, Aksi Kamisan UPI juga mencermati kasus sengketa lahan Dago Elos. Sejak 2016 kehidupan warga Dago Elos diusik. Sengketa lahan digagas oleh tiga bersaudara Muller yang menggugat paksa warga Dago Elos atas kepemilikan tanah yang ditinggali warga di sana. Heri Hermawan Muller, Dodi Rustendi Muller dan Pipin Sandepi Muller, cucu George Henrik Muller, bersekongkol dengan PT Dago Inti Graha untuk menggugat tanah yang pernah dihuni ribuan orang selama puluhan tahun.

Warga pun terus menerus memperjuangkan sertifikat lahan, namun tak pernah digubris oleh pihak BPN. Serta dianggap telah melakukan perbuatan melawan hukum. Puncaknya pada Senin, 14 Agustus 2023, warga Dago Elos mendatangi Polrestabes Bandung sekitar pukul 10.00 WIB untuk melaporkan keluarga Muller yang merupakan pelaku penipuan terkait lahan sengketa di Dago Elos.

Kemudian, pukul 22.48 WIB polisi mendatangi warga Dago Elos yang memblokade jalan. Polisi juga menembakkan gas air mata hingga mendobrak pintu rumah warga sambil membawa senjata. Tak hanya jurnalis, beberapa warga pun mendapatkan kekerasan fisik. Bahkan, beberapa anak kecil dilaporkan kehilangan kesadaran dan mengalami luka akibat represi ini.

Baca Juga: September Hitam dan Parade Melawan Kekerasan Negara
Menonton dan Mendiskusikan Film Dago Elos Never Lose, Menggaungkan (Kembali) Suara Perlawanan
Solidaritas dari Bandung untuk Rempang Galang

Rempang Galang

Di belahan Indonesia lainnya, penggusuran terjadi pada masyarakat di Pulau Rempang Galang. Pada tanggal 7 September 2023, aparat gabungan tanpa belas kasihan menghajar dan menembakkan gas air mata pada warga Rempang Galang. “Penggusuran di Pulau Rempang adalah kegagalan pemerintah menjalankan mandat konstitusi Indonesia untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia,” kata Aksi Kamisan UPI.

Di saat yang sama, negara dinilai gagal menjalankan UU Pokok Agraria Pasal 33 yang menyebutkan bahwa bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Sebaliknya, melalui penggusuran paksa itu, negara mempertontonkan keberpihakan nyata kepada investor yang bernafsu menguasai Pulau Rempang untuk kepentingan bisnis mereka.

Aksi Kamisan UPI kemudian menyampaikan pernyataan sikap dan tuntutan:

1. Mendesak Presiden dan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Republik Indonesia untuk mengevaluasi dan mencabut proyek Rempang Eco-City sebagai Proyek Strategis Nasional, karena hanya akan menjadikan masyarakat sebagai korban dan melanggengkan krisis sosio-ekologis

2. Mendesak Kepala Kepolisian Republik Indonesia dan Kepolisian Daerah Kepulauan Riau untuk segera membebaskan sejumlah warga ditahan, serta menarik seluruh aparat bersenjata dari lokasi konflik. Menghukum aparat yang terbukti terlibat dalam tindak kekerasan, penangkapan dan gas air mata

3. Mendesak pemerintah pusat dan daerah untuk bertanggung jawab melakukan pemulihan kepada perempuan dan anak-anak dan warga terdampak brutalitas, dengan mengedepankan perspektif HAM.

* Simak tulisan-tulisan lain Iman Herdiana, atau tulisan-tulisan menarik tentang Sengketa Tanah dan Hak Asasi Manusia

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//