• Cerita
  • Daya Tarik Gedung Indonesia Menggugat di Tahun Politik

Daya Tarik Gedung Indonesia Menggugat di Tahun Politik

Diskusi-diskusi politik dilarang dilakukan di Gedung Indonesia Menggugat. Dalam sejarah, Sukarno menggugat politik kolonial Belanda di gedung ini.

Gatot Gunawan Djaya Hartono mengenakan topeng, dan M. Rayhan yang memakai pangsi hitam mengakhiri perjalanan menari selama 6 jam di Gedung Indonesia Menggugat Bandung (6/6/2023). (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)

Penulis Iman Herdiana10 Oktober 2023


BandungBergerak.id - Gedung Indonesia Menggugat (GIM) di Jalan Perintis Kemerdekaan, Bandung, baru-baru ini cukup menarik perhatian publik setelah relawan dari salah satu bakal calon presiden batal menggunakan bagian dalam ruangan gedung. Kelompok relawan ini terkendala izin penggunaan gedung dari Pemerintah Provinsi Jawa Barat.

Pemprov Jabar berdalih bahwa gedung-gedung milik pemerintah tidak bisa dipergunakan untuk acara-acara politik. Kebetulan, Gedung Indonesia Menggugat adalah gedung di bawah tanggung jawab Disparbud Jabar.

Di luar hiruk pikuk tahun politik yang mulai memanas, karena tinggal hitungan bulan lagi Pemilu 2024 yang terdiri dari Pemilihan Presiden (Pilpres) dan Pemilihan Legislatif (Pileg) dilaksanakan, Gedung Indonesia Menggugat memiliki sejarah panjang yang patriotis. Tak heran jika banyak kalangan yang ingin menggunakan gedung bersejarah ini dengan salah satu alasannya ingin memetik semangat patriotik tersebut.

“Pada bulan Agustus hingga Desember 1930 di gedung tersebut, Sukarno, beserta rekan-rekannya dari Partai Nasional Indonesia (PNI)—Maskun Sumadireja, Gatot Mangkupraja, dan Supriadinata—menjalani sidang. Mereka diadili oleh pemerintah Hindia Belanda. Saat itu, gedung tersebut telah berfungsi sebagai landraad (pengadilan tingkat pertama) pemerintah Hindia-Belanda (Voskuil 1999:43),” demikian tulis Achmad Sunjayadi di laman resmi Kemendikbud RI, diakses Selasa, 10 Oktober 2023.

Achmad menjelaskan, gedung ini dibangun dengan gaya arsitektur neoklasik yang telah disesuaikan dengan iklim tropis Indonesia. Awalnya GIM adalah rumah tinggal yang dibangun pada 1907. Kemudian bangunan itu direnovasi dan beralih fungsi pada 1917 menjadi gedung pengadilan (Gedung Landraad atau Pengadilan Negeri). Jalan tempat gedung itu berada disebut Landraadweg.

Menurut Achmad, oleh karena bangunan itu pada awalnya digunakan untuk tempat tinggal, maka desain ruangannya tidak seperti bangunan kantor pada umumnya. Dua ruang di sebelah kanan pada bangunan induk ketika masih berfungsi sebagai rumah oleh pemiliknya kemungkinan digunakan sebagai kamar utama. Di sisi kiri terdapat dua ruangan yang kemungkinan salah satu ruangannya menjadi ruang makan keluarga dan ruang tamu. Dinding ruangan tersebut dilapisi papan kayu jati.

“Ketika bangunan tersebut dijadikan gedung pengadilan, salah satu ruangan yang berukuran 3 x 6 meter menjadi tempat persidangan Sukarno dan rekan-rekannya (Suganda 2015: 106),” terang Achmad. 

Sukarno dan rekan-rekannya menjalani sidang setiap hari Senin - Kamis dari tanggal 18 Desember sampai 22 Desember 1930. Mereka dituduh melanggar pasal 153 bis 169 dan pasal 171 Kitab Undang-undang Hukum Pidana. Pasal-pasal tersebut termasuk de hatzaai artikelen (pasal-pasal penyebar kebencian).

Menurut pasal 153 perbuatan-perbuatan berbicara, menulis, baik yang dilakukan secara langsung maupun tidak langsung dikategorikan sebagai tindak pidana yang dapat mengakibatkan kekacauan dalam masyarakat. Pasal 169 memuat larangan organisasi-organisasi yang menganjurkan para anggotanya menyerang pemerintah. Sementara pasal 171 berhubungan dengan laporan-laporan palsu yang dirancang dengan maksud mengacaukan ketentraman umum. Di dalam pasal 153 juga meliputi segala macam kegiatan yang dapat dikategorikan sebagai tindakan melawan hukum.

Dalam persidangan, Sukarno dan rekan-rekannya didampingi oleh para pengacara. Mereka adalah Mr. Sartono, Mr. Sastro Mulyono dari Tegal, Mr. Suyudi dari Yogya, dan Idi Prawiradiputra dari Garut yang juga anggota Volksraad (Het Nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indië, 9/8/1930).

Pembelaan Sukarno yang mematahkan tuduhan pemerintah Hindia Belanda tidak berhasil. Para hakim selama dua puluh hari menyusun vonis setebal 66 halaman. Dalam sidang tanggal 22 Desember 1930, President (Ketua Majelis Hakim) Mr. R. Siegerbeek van Heukelom menjatuhkan hukuman empat tahun penjara untuk Sukarno, dua tahun untuk Gatot Mangkupraja, satu tahun delapan bulan untuk Maskun Sumadireja, satu tahun tiga bulan potong masa tahanan untuk Supriadinata (de Tribune, 18/04/1931). 

Achmad menyatakan, Gedung Landraad tempat Sukarno beserta rekan-rekannya disidang dan dijatuhi hukuman, kemudian diberi nama Gedung Indonesia Menggugat. Nama ini diambil dari judul pledoi (pembelaan) Sukarno di depan sidang pengadilan tersebut, yaitu Indonesië klaagt aan [Indonesia menggugat] pada 18 Agustus 1930 yang ditulis dengan tangan. Isi pembelaan tersebut mengenai keadaan politik internasional dan masyarakat Indonesia yang rusak karena penjajahan (Sukarno 1961).

Baca Juga: Kronologi Perjalanan Sukarno di Bandung 1921-1934
Tarian Sunyi Menyusuri Jejak Sukarno di Bandung
Sukarno, Kapitalisme, dan Jomblo

Indonesia Menggugat

Yerry Wirawan dari Universitas Sanata Dharma menjelaskan, Indonesia Menggugat merupakan pidato pembelaan yang disampaikan Sukarno dalam proses pengadilannya. Saat itu, Sukarno dan ketiga pemimpin Perserikatan Nasional Indonesia (PNI) [Maskoen, Soepriadinata, dan Gatot Mangkoepradja] didakwa tengah mempersiapkan sebuah pemberontakan bersenjata melawan pemerintah kolonial Hindia Belanda.

Selain dituduh dengan pasal penyebaran kebencian, Yerry Wirawan mencatat, Sukarno disebut “mengambil bagian dalam sebuah organisasi yang bertujuan menjalankan kejahatan di samping… menggulingkan kekuasaan Hindia Belanda yang telah ada…” (Adams 2017: 125).

Pidato pembelaan Indonesia Menggugat ditulis Sukarno di dalam penjara Banceuy. Setelah disampaikan di Landraad, pidato ini menyebarluas tidak hanya di Hindia Belanda, tapi juga hingga ke negeri Belanda. “Pidato ini semakin memperkuat rasa kebangsaan di masyarakat Hindia Belanda saat itu,” tulis Yerry, dikutip dari laman Kemendikbud.  

Yerry menuturkan, pledio Indonesia Menggugat dan pengadilan Sukarno dkk memunculkan banyak kritik dari para ahli hukum dan para pemimpin PNI. Dakwaan ingin melakukan pemberontakan bersenjata dinilai tidak berdasar. Hal ini memicu protes yang meluas di Hindia Belanda sehingga Gubernur Jenderal memotong hukuman Sukarno dari empat tahun menjadi dua tahun. Ia dibebaskan pada 31 Desember 1931. 

Sebagai sebuah pidato pembelaan dan renungan intelektual, Indonesia Menggugat terdiri dari empat bagian dengan argumentasi yang terstruktur rapi, yaitu Imperialisme Tua dan Modern, Imperialisme di Indonesia, Pergerakan di Indonesia, dan Partai Nasional Indonesia. Pada bagian pertama, Sukarno menjelaskan mengenai hubungan antara imperialisme modern dan kapitalisme. Imperialisme modern tidak hanya terjadi pada bangsa kulit putih saja. Namun, bangsa kulit berwarna, seperti Jepang, juga tengah melakukan imperialisme seiring dengan berkembangnya negara tersebut. 

Pada bagian kedua, Sukarno menuliskan bahwa imperialisme di Indonesia telah dimulai sejak masa Vereenigde Oost Compagnie (VOC) yang memaksakan monopoli perdagangan kepada masyarakat yang kemudian menjadi bangsa Indonesia. Setelahnya, kesejahteraan masyarakat makin menurun. Setelah VOC dibubarkan, penindasan imperialisme berlanjut dengan sistem Cultuur Stelsel atau Tanam Paksa. Buruknya kesejahteraan telah menghalangi kemajuan ekonomi dan sosial mereka. Ia juga menekankan bahwa lebih banyak ekspor Hindia Belanda dibandingkan impor telah membuktikan eksploitasi akan hasil alam Indonesia yang dibawa keluar dan dinikmati oleh pemerintah Kolonial Belanda.

Pada bagian ketiga, Pergerakan di Indonesia, Sukarno menunjukan bahwa pergerakan dan perjuangan bangsa Indonesia adalah konsekuensi yang muncul atas penindasan yang dilakukan oleh imperialisme Belanda tersebut. Sebuah bangsa yang ditekan dan dieksloitasi pasti menginginkan kemerdekaannya. Para pemimpin pergerakan seperti dirinya “hanyalah menunjukkan jalan” agar “banjir itu bisa dengan sesempurna-sesempurnanya mencapai Lautan Keselamatan dan Lautan Kebesaran…” (Sukarno nd.: 61).

Di bagian terakhir, ia menuliskan mengenai PNI yang berjuang untuk mewujudkan kemerdekaan Indonesia. Menurut Sukarno, sebagaimana dijelaskan Yerry, kemerdekaan sebuah bangsa adalah kemampuan untuk mengatur dirinya sendiri. Hal ini tidak mungkin tanpa kekuasaan politik bagi rakyat jajahan. Sebagaimana kapitalisme dan imperialisme yang membakukan aturan-aturan kenegaraan untuk kepentingannya, gerakan kemerdekaan juga harus membuat aturan-aturan kenegaraan. Pembuatan aturan-aturan ini tidak mungkin tanpa kekuasaan politik.

PNI berusaha merebut kemerdekaan dengan usaha sendiri (self help) melalui penyebaran pemikiran di surat kabar, koperasi-koperasi, serikat-serikat buruh, dan menuntut konsensi-konsensi yang lebih adil bagi rakyat jajahan. Sukarno menolak dakwaan bahwa perjuangan PNI menggunakan jalur kekerasan bersenjata. Ia menjadikan Sociaal Democratische Arbeiders Partij (SDAP) di Belanda sebagai contoh.

“Dalam bagian ini, ia juga menolak jika semua pergerakan kemerdekaan dianggap ingin melakukan pemberontakan bersenjata,” tulis Yerry Wirawan.

Dengan sejarahnya yang kuat itulah tak heran jika banyak kalangan maupun politikus untuk memetik spirit Gedung Indonesia Menggugat, seperti yang ramai baru-baru ini.

* Mari membaca tulisan-tulisan lain Iman Herdiana, atau artikel-artikel lain tentang Sejarah Sukarno 

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//