Menelisik Kekerasan Seksual dan Aktivisme Perempuan Indonesia Zaman Penjajahan Jepang
Kate McGregor, indonesianis dari Melbourne University mengungkap para penyintas "Jugun Ianfu" dan aktivisme mereka dalam memperjuangkan hak-haknya.
Penulis Salma Nur Fauziyah9 November 2023
BandungBergerak.id - Pembahasan sejarah kekerasan seksual "Jugun Ianfu" atau "comfort women" pada masa penjajahan Jepang di Indonesia jarang sekali terdengar. Bahkan di buku-buku pelajaran sejarah di sekolah kisah kelam era kolonial ini tidak ditemukan.
Topik yang berat dan sensitif mungkin menjadi alasan mengapa isu ini jarang diangkat. Tetapi, kisah ini tetap perlu disampaikan untuk menumbuhkan kesadaran dan kepedulian terhadap penyintas kasus kekerasan seksual di masa lalu.
Kate McGregor, profesor dari Melbourne University berkesempatan hadir dalam kuliah umum yang dilaksanakan oleh Satuan Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (SPPKS) Universitas Pendidikan Indonesia (UPI), Bandung, Senin, 6 November 2023, yang dipandu oleh ketua SPPKS UPI Hani Yulindrasari.
Kate dengan kemampuan berbahasa Indonesia yang fasih ini sangat senang mendapatkan kesempatan untuk memberikan pemaparan mengenai buku terbarunya yang terbit pada Agustus lalu, yaitu Systemic Silencing: Activism, Memory, and Sexual Violence in Indonesia.
Secara singkat, indonesianis yang mengajar sejarah Indonesia di Australia ini menyampaikan fokus dalam buku yang sudah digarapnya itu. Dia menyebutkan ada dua fokus penting, seperti bagaimana pengalaman perempuan Indonesia menjadi "comfort women" pada masa pendudukan Jepang dan juga gerakan aktivisme perempuan Indonesia.
Semula, Kate memang sudah sering memberikan pelajaran mengenai topik ini di kelasnya dan cenderung bercerita mengenai pengalaman perempuan di Korea. Tetapi, dia selalu bertanya-tanya bagaimana pengalaman perempuan Indonesia menjadi penyintas.
Selain mengulik sejarah, Kate pun mengungkap ketertarikan untuk menelusuri bagaimana kegiatan aktivisme perempuan di Indonesia. Setelah menyelam cukup dalam, ia menyadari bahwa kegiatan aktivisme Indonesia (khusunya dalam kasus "comfort women" ini) termasuk agak terlambat dan kurang berdampak pada masyarakat dibandingkan negara lain. Peristiwa ini membuat Kate terpacu untuk menggali lebih dalam alasan yang menyelimuti keterlambatan gerakan tersebut.
Kuliah umum dan peluncuran buku ini berjalan kurang lebih selama dua jam, di Gedung Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (LPPM) lt. 3, UPI. Kegiatan ini pun disiarkan langsung secara luring di YouTube UPI TV, sehingga teman-teman yang terlewat dapat menyimak siaran ulangnya.
Polemik Penamaan Para Penyintas
Penamaan istilah tentu menjadi perhatian yang penting. Setiap penamaan memiliki nuansa berbeda. Hal inilah yang ditekankan oleh Kate saat memulai kuliah umum ini.
Di beberapa negara, penyebutan istilah “comfort women” ini beragam. Di Korea, para penyintas ini disebut halmoni berarti nenek. Hal serupa ditemukan di Filipina dengan sebutan Lola.
Kate mengatakan, banyak penyintas yang berkeberatan jika diberi penamaan “wanita penghibur” atau “budak seks”. Mereka (korban) beranggapan saat itu tidak merasa menjadi penghibur tentara Jepang. Mereka dipaksa melakukannya, bukan secara sukarela melayani tentara.
“So, semua istilah punya masalah. Tapi dalam buku saya, saya pakai kutip untuk ‘comfort women’, karena dengan pakai kutip saya ingin membuat jelas bahwa kata-kata masih belum tepat juga,” jelas Kate.
Posisi Perempuan Indonesia saat Zaman Pendudukan Belanda
Tuminah merupakan penyintas pertama yang berani menceritakan pengalamannya ke media massa. Saat umurnya 19 tahun, dia dijual oleh keluarganya pada salah satu orang Belanda. Tuminah pun terpaksa menjadi pekerja seks untuk membiayai keluarganya.
Gambaran Tuminah ini menjadi salah satu contoh bagaimana posisi perempuan Indonesia pada masa itu. Hal ini tidak terlepas dari adanya sistem patriarki dan juga feodalisme.
“Dalam budaya yang bisa disebut lebih feodal, sering kali perempuan dan juga dari kelas lebih bawah, sering dikasih sebagai satu hadiah untuk keluarga yang punya status lebih tinggi,” jelas Kate mengenai bagaimana perempuan sering dipandang sebagai bentuk komoditas.
Saat zaman kolonial, banyak orang Belanda yang mengambil perempuan lokal untuk dijadikan nyai. Mereka bertugas sebagai orang yang melakukan pekerjaan rumah tangga dan juga menjadi partner ranjang tanpa adanya status pernikahan. Tak jarang dalam hubungan itu terlahir seorang anak yang tidak diakui.
Potret Perempuan Indonesia pada Masa Pendudukan Jepang
Suharti merupakan salah satu penyintas dan juga aktivis yang memperjuangkan hak para 'ianfu' lainnya. Kate berkaca dari kesaksian Suharti bagaimana budaya patriarki mempengaruhi posisi dan kapasitas dia untuk melawan kehendak kepala desa yang akan mengirimkannya pada tentara Jepang.
"Dia merasa tidak bisa melawan, tidak bisa menyatakan apa-apa karena posisi dia sebagai perempuan tidak bisa menolak," ungkap Kate.
Praktik-praktik 'perekrutan' ini beragam. Dalam kasus Suharti, dia diminta untuk mengikuti perintah yang dikeluarkan petinggi desa lewat sang ayah. Di lain sisi, penculikan dan penipuan menjadi cara lainnya dalam proses 'rekrut' paksa ini.
Para perempuan ini kemudian dikiriman ke comfort station di seluruh kota, dijauhkan dari tempat asal mereka. Setiap hari, perempuan itu mendapatkan perkosaan dari tentara Jepang. Bahkan banyak perempuan yang hamil dan harus menggugurkan kandungan.
Banyak perempuan Indonesia, usai pendudukan Jepang, memutuskan untuk memendam pengalaman itu karena menganggap hal itu sebagai aib. Banyak pula yang memutuskan untuk pulang kampung, cepat menikah, dan melupakan hal yang terjadi pada dirinya.
Baca Juga: Kamp Interniran Jepang di Bandung, Bagian Sejarah yang Terlupakan
Mengantisipasi Serangan Udara Jepang di Bandung
Masa-masa Kelam Perempuan di Zaman Pendudukan Jepang
Pengakuan Penyintas dan Pergerakan Aktivisme Perempuan Indonesia
Kemunculan dan pengakuan Kim Hak Soon sebagai penyintas 'ianfu' pada tahun 1992 menjadi inspirasi bagi Tuminah untuk memberanikan diri menceritakan pengalaman dirinya. Dia didukung dengan keponakan dan seorang pendeta Jepang serta aktivis perdamaian bernama Kimura Koichi. Sayangnya, kesaksian ini tidak banyak mendapat sorotan publik.
Kehadiran pengacara Jepang dari Federal Bar Association of Japan (Nichibenden) ke Indonesia pada 1993 menjadi pemicu adanya gerakan aktivisme di Indonesia. Maksud kedatangan mereka untuk mencari data terkait korban perang (dalam hal ini romusha pun ianfu). LBH pun dimintai bantuan untuk hal ini. Dari situlah terbuka ruang untuk gerakan aktivisme di Indonesia.
Kesempatan itu membawa Mardiyem datang. Ia adalah salah satu penyintas yang juga menjadi seorang aktivis bersama dengan kawannya, Suharti. Keduanya kemudian pergi ke Jepang dengan dukungan LBH dan Kimura Koichi untuk memperjuangkan haknya.
*Kawan-kawan yang baik bisa membaca tulisan lain dari Salma Nur Fauziyah, atau artikel-artikel menarik lain tentang Kolonialisme Jepang