Waspada di Tanah Rawan Bencana Jawa Barat
Bencana banjir dan longsor di Jawa Barat disebabkan faktor alam seperti curah hujan tinggi. Longsor juga berpotensi terjadi di lokasi penambangan panas bumi.
Penulis Awla Rajul10 Januari 2024
BandungBergerak.id - Musim hujan mulai merata mengguyur Jawa Barat. Bencana banjir dan longsor susul menyusul di sejumlah daerah mulai dari kawasan Bandung hingga yang terbaru di Subang yang menelan dua nyawa warga. Masyarakat diharapkan meningkatkan kewaspadaannya karena tinggal di tanah rawan bencana.
Di Bandung selatan, bencana banjir menyebabkan SDN Bojongasih 2 Kabupaten Bandung ditutup untuk sementara. Para murid yang diliburkan bermain air saat banjir menggenangi sekolah dan permukiman di Kampung Bojongasih, Desa Dayeuhkolot, Senin, 8 Januari 2024, yang merupakan hari pertama sekolah setelah libur tahun baru dan semester.
Proses belajar SDN Bojongasih 2 terpaksa ditunda karena sekolah dan akses jalan desa terendam banjir luapan Sungai Citarum. Pelajaran akan digelar secara daring jika banjir tak kunjung surut.
Empat ruang kelas dan satu ruang guru ikut terendam. Minimnya jumlah danau pengendali banjir di Kecamatan Dayeuhkolot ditengarai jadi salah satu penyebab banjir berulang, sementara wilayah ini jadi muara banyak aliran sungai dari perkotaan Bandung. Dampaknya, sejumlah perkampungan di Bandung selatan ini selalu jadi langganan banjir saat musim hujan.
Banjir juga melanda Kota Cimahi. Tercatat sekitar 166 warga Kelurahan Cipageran, Kecamatan Cimahi Utara terdampak banjir bandang yang terjadi pada, Sabtu, 6 Januari 2024. Banjir bandang menyebabkan 51 rumah rusak, delapan di antaranya rusak berat.
Penjabat Gubernur Jawa Barat Bey Machmudin telah menetapkan status siaga darurat bencana di seluruh wilayah Jawa Barat melalui SK Gubernur nomor 360/Kep.764-BPBD/2023 tentang Penetapan Status Siaga Darurat Bencana Banjir, Banjir Bandang, Cuaca Ekstrem, Gelombang Ekstrem dan Abrasi, serta Tanah Longsor di Jawa Barat.
Di lingkup Jawa Barat, banjir telah merendam empat kecamatan dan lima desa di Kabupaten Karawang selama lebih sepekan, sejak awal Januari 2024. Banjir setinggi antara 10 centimeter hingga 250 centimeter ini telah membuat sebanyak 1.643 jiwa mengungsi.
Banjir di Kabupaten Karawang terjadi akibat curah hujan tinggi yang menyebabkan arus balik (backwater) dari Sungai Cibeet ke Sungai Citarum dan berimbas ke Sungai Cidawolong yang merupakan anak Sungai Cibeet.
Semetara di Kecamatan Tegalwaru, Kabupaten Purwakarta, telah terjadi bencana longsor yang mengakibatkan jalan desa terputus dan dua sumber air bersih tertutup longsoran. Menurut Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG), bencana longsor Purwakarta terjadi pada Kamis, 4 Januari 2024 pukul 16:30 WIB.
Jenis gerakan tanah ini diperkirakan berupa longsoran tanah yang terjadi di lereng bagian atas pemukiman. Bencana ini pun merusak lima bangunan rumah dengan rincian: empat bangunan rusak sedang, sembilan bangunan terdampak, seluas tiga hektare lahan sawah ikut terdampak, dan delapan tiang listrik roboh menutup akses jalan. Tercatat 520 kepala keluarga (KK) atau 1.797 jiwa mengungsi.
PVMBG mencatat, berdasarkan peta zona kerentanan gerakan tanah, lokasi daerah longsor berada di zona gerakan tanah menengah-tinggi. Artinya daerah ini mempunyai potensi menengah sampai tinggi untuk terjadinya gerakan tanah.
Selain faktor alam berupa kemiringan lereng dan curah hujan tinggi, bencana longsor juga dipengaruhi saluran drainase yang kurang baik.
Menelan Korban Jiwa
Bencana tanah longso bahkan menelan korban jiwa di Subang. Longsor terjadi di Kampung Cipondok, Desa Pasanggrahan, Kecamatan Kasomalang, Minggu, 7 Januari 2024. Lokasi longsor berada di tempat mata air untuk air baku PT. Tirta Investama milik perusahaan air minum Aqua dan PDAM.
Akibat bencana longsor ini dua warga dinyatakan meninggal karena tertimbun. Sementara sekitar 11 orang mengalami luka ringan, 300 warga yang terdampak dan harus mengungsi.
Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Jawa Barat menilai bencana longsor di Cipondok bukan hanya karena intensitas hujan yang tinggi. Berdasarkan hasil investigasi serta asesmen cepat yang dilakukan Walhi Jawa Barat sehari setelah kejadian, longsor diduga terjadi akibat gangguan pengeboran yang dapat memicu longsor ketika hujan deras.
“Dugaan lain, terpicunya kejadian longsor di kawasan tersebut karena setidaknya terdapat tiga sumur bor untuk kebutuhan privatisasi air kemasan yang dilakukan oleh PT. Tirta Investama (Aqua), meski informasi yang terhimpun hanya satu sumur bor yang aktif namun cenderung satu bor tersebut telah melampaui kemampuan daya serap tanah yang akhirnya menyebabkan tanah menjadi labil,” ungkap Wahyudin Iwang, Direktur Eksekutif Walhi Jawa Barat, dikutip dari siaran pers, Rabu, 10 Januari 2024.
Selain gangguan dari sumur bor PT. Tirta Investama, juga ada kebutuhan air baku yang telah dilakukan oleh PDAM. Walhi berkesimpulan bahwa terdapat pengambilan air di kawasan tersebut secara berlebihan yang mengakibatkan gangguan tanah yang memicu longsor.
Walhi Jawa Barat menduga terhadap mata air lain di kawasan tersebut yang mestinya mendapat perlindungan. Beberapa rekomendasi yang diberikan Walhi berkaitan asesmen cepat terkait longsor Subang, sebagai berikut:
1. Segera lakukan pemulihan kawasan yang mana kawasan tersebut memiliki fungsi daya serap air baik dan didalamnya terdapat mata air yang berlimpah.
2. Segera lakukan evaluasi dengan pihak perusahaan dari setiap aktivitas yang dilakukan diduga aktivitas yang terjadi melebihi dari ketentuan izin yang diberikan oleh pemkab.Subang kepada PT.Tirta atau kegiatan yang dilakukan oleh PDAM.
3. Kaji segera potensi ancaman sebagai upaya mitigasi agar kawasan tersebut dapat tidak mengancaman keselamatan nayawa manusia
4. Keluarkan kebijakan untuk membatasi perusahaan agar tidak melakukan kegiatan eksploitasi secara besar-besar yang melampaui batas.
5. Segera lakukan reporestasi kawasan bagian dari bentuk tanggung jawab perusahaan serta pemerintah terhadap kawasan yang sudah rusak akibat aktivitas yang selama ini dilakukan.
Baca Juga: Pegiat Lingkungan Jawa Barat Menagih Hutan yang Hilang di Cisokan
Mempertanyakan Hak-hak Publik dalam Operasional Kereta Cepat Whoosh dan Proyek Infrastruktur Lainnya
Tergusur Infrastruktur di Jawa Barat, Lingkungan dan Rakyat Kecil Dikesampingkan
Tanah Longsor karena Penambangan
Provinsi Jawa Barat merupakan wilayah dengan zona kerentanan gerakan tanah. Hal tersebut disebabkan topologi pulau Jawa yang bergelombang dan terjal. Tingkat pelapukan batuan vulkanik pun banyak yang rentan bila berinteraksi dengan curah hujan yang tinggi.
Menurut laman PVMBG Badan Geologi, pada rentang 10 Januari 2023 hingga 10 Januari 2024 telah terjadi 74 kejadian gerakan tanah di Jawa Barat dengan 29 korban jiwa. Wilayah Kabupaten Garut salah satunya sekaligus bagian dari zona gerakan tanah di Indonesia bagian barat.
Longsor di Jawa Barat memiliki riwayat panjang. Berdasarkan Bulletin of Scientific Contribution: GEOLOGY, Volume 16, Nomor 1, April 2018: 65 – 70, Fakultas Teknik Geologi Universitas Padjadjaran (Unpad), terjadi 18 kali kasus longsor pada tahun 2013 selama durasi kejadian Januari sampai Maret. Pada tahun 2016 terjadi banjir bandang dan longsor yang dipicu oleh hujan deras yang menyebabkan Sungai Cimanuk yang berada di sekitar Kota Garut meluap.
“Mitigasi longsor dan sistem peringatan dini perlu diupayakan. Longsor yang terjadi di lokasi hulu-hulu sungai sangat perlu diperhatikan, karena dapat berpotensi menghambat aliran sungai dan menyebabkan banjir bandang seperti yang terjadi pada tahun 2016. Selain itu tata guna lahan di bagian hulu perlu ditinjau ulang,” diakses dari jurnal, Rabu, 10 Januari 2024.
Longsor juga dapat terjadi akibat aktivitas pertambangan. Pada tahun 2015, Kampung Cibitung, Pangalengan dihantam longsor besar yang memakan korban jiwa. Selain karena curah hujan yang tinggi, bencana tanah longsor terjadi di sekitar penambangan panas bumi.
Aktivitas konversi panas bumi menjadi listrik menyebabkan gempa-gempa kecil di lokasi sekitar Pembankit Listrik Tenaga Panas Bumi. Hal ini membuat masyarakat sekitar menjadi sulit membedakan mana gempa bumi tektonik dan mana getaran akibat pengeboran sumur geothermal. Sayangnya, tak hanya aktivitas geothermal, daerah ini juga merupakan kawasan yang rawan bencana.
Linda Handayani dan Alamta Singarimbun dari Institut Teknologi Bandung (ITB), dalam artikel “Pemetaan Daerah Rawan Longsor di Sekitar Daerah Prospek Panas Bumi Provinsi Jawa Barat” yang terbit di jurnal JoP, Vol. 2 N0. 1, November 2016, menyebut Pangalengan sebagai daerah subur sekaligus rawan bencana. Secara umum, topografi di Bandung selatan ini bersifat kasar, lerengnya terjal, dan jarang dijumpai tanah datar yang luas.
“Hal ini menyebabkan daerah ini rawan terhadap tanah longsor. Jenis batuan yang mudah lepas-lepas, membuat tingkat kerawanan terhadap kemungkinan tanah longsor semakin meningkat,” tulis Linda dan Alamta.
Selain di Pangalengan, geothermal juga ada di Gunung Salak, Kabupaten Bogor. Bahkan tersiar kabar pula wacana pengembangan Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) di beberapa daerah lainnya di Jawa Barat.
*Liputan ini mendapat dukungan data lapangan dari fotografer BandungBergerak.id Prima Mulia, kawan-kawan juga bisa membaca artikel-artikel terkait Penambangan atau Proyek Strategis Nasional