• Cerita
  • BANDUNG HARI INI: Taman Lalu Lintas Ade Irma Nasution dan Menurunnya Kualitas Taman Kota Kita

BANDUNG HARI INI: Taman Lalu Lintas Ade Irma Nasution dan Menurunnya Kualitas Taman Kota Kita

Taman Lalu Lintas Ade Irma Nasution merupakan salah satu dari sedikit ruang terbuka hijau di Bandung. Keberadaan RTH sangat krusial di tengah dampak perubahan iklim.

Pengunjung Taman Lalu Lintas Ade Irma Surya Nasution, 2022. (Foto: Virliya Putricantika/BandungBergerak.id)

Penulis Muhammad Akmal Firmansyah1 Maret 2024


BandungBergerak.id- Hari ini, bertepatan dengan 1 Maret 1958, Taman Lalu Lintas Kota Bandung atau Taman Lalu Lintas Ade Irma Nasution mulai diresmikan. Sejarah panjang mewarnai pendirian taman yang berfungsi menjadi sarana edukasi, rekreasi, dan tentunya taman kota atau ruang terbuka hijau (RTH).

Peletakan batu pertama pendirian taman dilakukan oleh istri Wali Kota Bandung Ny Enoch dan Gubernur Jawa Barat R Sanusi Hardjadinata pada 23 Maret 1956. Her Suganda dalam bukunya Jendela Bandung (2006) mengatakan, peletakan batu pertama tersebut sebagai upaya agar taman ini bisa diresmikan pada 17 Agustus 1956, tepat 11 tahun Indonesia Merdeka.

Kemerdekaan Indonesia ditandai juga dengan perubahan nama-nama taman yang memiliki unsur Belanda, seperti Taman Lalu Lintas yang semula bernama Insulinde Park menjadi Taman Nusantara melalui Sidang Dewan Perwakilan Rakyat Kota Bandung pada 28 April 1950.

Taman Lalu Lintas Ade Irma Nasution menjadi paru-paru Kota Bandung sebagai miniature hutan tropis. Namun taman ini kemudian beralih fungsi menjadi taman edukasi informal yang mengajarkan ketaatan berlalu lintas, perlahan paru-paru hutan berubah menjadi wahana pendidikan informal anak.

Sudarsono Katam dalam bukunya Insulinde Park (2014) menuturkan, taman hutan tropis ini berubah menjadi Traffic Garden atau Taman Lalu Lintas di bawah pengelolaan Badan Keamanan Lalu Lintas (BKLL) dan kemudian di bawah Yayasan Taman Lalu Lintas di tahun 1960.

BKLL merupakan Lembaga nonprofit yang membantu Dinas Pendidikan dan Kepolisian dalam pengetahuan displin lalu lintas pada anak usia dini dan remaja, didirikan di Jakarta pada tahun 1951.

“Beranggotakam pejabat-pejabat dinas pemerintahan secara eks ofisio yaitu Kepolisan, Dinas Pendidikan, Palang Merah Indonesia, dinas-dinas terkait lainnya, organisasi masyarakat sosial,” tulis Sudarsono Katam, menjelaskan struktur keanggotaan BKLL.

Di bawah pimpinan AKP H Nazaruddin, BKLL Cabang Bandung menghadap Wali Kota Bandung Mochamad Enoch agar bisa diberikan wahana penyelenggaraan kegiatan penyuluhan dan pelatihan. Sudarsono menyebut, rencana pendirian sebagai Traffic Garden atau Taman Lalu Lintas sudah ada sejak 1954. “Biaya yang dianggarkan untuk pembangunan Traffic Garden sebesar 800.000 rupiah,” sebutnya.

Pembangunan ini dilakukan tanpa merusak lingkungan hayati di sekitar taman. Pada tahun peresmiannya taman lalu lintas menjadi taman terbesar dan terlengkap di Indonesia dan bahkan Asia Tenggara. “Dilengkapi dengan sarana permainan dan rekreasi anak yang berhubungan dengan kelalulintasan, seperti jalan taman yang dilengkapi rambu-rambu lalu lintas, mobil-mobilan, sepeda roda tiga, kereta api lengkap dengan jaringan rel dan stasiun, viaduct perlintasaan jalan kereta dengan jalan, dan papan peragaan lalu lintas,” jelas Sudarsono.

Seiring berjalan waktu, pada 26 Juni 1960 pengelolaan diserahkan kepada Yayasan Taman Lalu Lintas Bandung yang dibentuk sebagai badan hukum berdasarkan Akte Notaris Noezar tanggal 9 Juli 1960 No.58 dan Surat Keputusan Menteri Kehakiman Republik Indonesia. Pascameletusnya peristiwa G30S, nama Taman Lalu Lintas ini diubah menjadi Taman Lalu Lintas Ade Irma Nasution.

“Penambahan nama tersebut adalah untuk memperingati dan mengenang pahlawan cilik Ade Irma Suryani Nasution, Putri Jendral Abdul Haris Nasution,” beber Sudarsono.

Pengelolaan taman beralih kembali dari Yayasan Taman Lalu Lintas Bandung berganti nama menjadi Yayasan Taman Lalu Lintas Ade Irma Suryani Nasution.

Suasana keindahan Taman Lalu Lintas di tahun 1970-an perlahan pudar, banyak wahana lalu lintas yang hilang seperti jaringan rel kereta api dan banyak yang tidak terawat. “Pada tahun 1974 beberapa ibu-ibu dari organisasi Bandung iba melihat keaadan taman dan melakukan upaya pembenahan sehingga tampak asri kembali,” tutur Sudarsono.

Dari tahun 1980-an hingga sekarang orang-orang di Kota Kembang ini menyebutnya Taman Lalu Lintas ketimbang Traffic Garden.

Taman Lalu Lintas yang dibentuk dan dibangun sebagai taman pendidikan sempat beralih fungsi menjadi taman rekreasi keluarga. Dalam laporan BandungBergerak.id, Komunitas Aleut yang bergiat dalam kesejarahan Kota Bandung menilai pergeseran fungsi taman akan membahayakan keberadaan Taman Lalu Lintas.

Sebaliknya, Aleut mendorong supaya fungsi pendidikan Taman Lalu Lintas masuk pada kurikulum, seperti di Jawa Tengah. ” Pendidikan ini akan bisa lebih efektif lagi jika dinas terkait mampu memasukkan pendidikan berlalu lintas ke dalam kurikulum seperti yang dilakukan Provinisi Jawa Tengah, praktik pendidikan berlalu lintas dapat dilangsungkan di Taman Lalu Lintas,” tulis Aleut.

Menurut Aleut, pendidikan berlalu lintas di usia dini bisa mengurangi permasalahan lalu lintas dan penanggulangan permasalahan geng motor.

 Insulinde Park yang kini Taman Lalu Lintas, Bandung. (Sumber: OBJ Datastream)
Insulinde Park yang kini Taman Lalu Lintas, Bandung. (Sumber: OBJ Datastream)

Baca Juga: BANDUNG HARI INI: 14 Tahun Sabtu Kelabu atau Tragedi AACC, Luka Besar Jagat Musik Bandung
BANDUNG HARI INI: G30S Meletus di Jakarta, Situasi Sepi yang Ganjil di Kota Kembang
BANDUNG HARI INI: Hoaks Pemukulan Ratna Sarumpaet, Mewaspadai Kabar Bohong di Tahun Politik

Dari Insulinde Park dan Permasalahan Ruang Terbuka Hijau yang Semakin Menyusut

Di masa lalu, lahan di sekitar Taman Lalu Lintas adalah lahan kosong yang ditumbuhi rumpun-rumpun bambu. Masyarakat lokal kemudian mengolah lahan ini sebagai persawahan. Pembangunan kota tak bisa dihindarkan. Lahan tersebut berubah menjadi gedung-gedung dan rumah bagi anggota militer.

Sudarsono Katam mengatakan, tahun 1915 lahan di sekitar Taman Lalu Lintas masih asri meski sudah berdiri lapangan militer. Lahan ini terasa sangat bermanfaat terutama di musim pancaroba sebagai penangkal hawa panas dan angin kencang.

Peralihan fungsi lahan terjadi lagi di tahun 1920. Lapangan militer tersebut menjadi taman kota di sebrang gedung Paleis van de Leger Commandant (Rumah Panglima Bala Tentara Hindia Belanda). “Taman dilengkapi dengan jalan-jalan taman dan jemnatan untuk menyebrangi kanal taman,” tulis Sudarsono.

Di tahun 1925 di zaman Hindia Belanda, pemerintah kota Bandung menamai taman ini dengan nama Insulinde Park. Sebelumnya, di tahun 1923, arsitek asal Belanda, Hendrik Petrus Berlage mengajukan usul supaya taman kota ini lebih menonjolkan sisi tropisnya. Salah satu rancangan tropis adalah taman menjadi tempat terbuka bagi warga kota untuk mengakrabi alam, Hasilnya, taman di zaman Hindia Belanda ini  memiliki 96 jenis tanaman keras dan tanaman bunga.

Waktu memang tidak pernah diam di tempat. Pembangunan secara ugal-ugalan terjadi di Kota Bandung di kemudian hari. Haryato Kunto dalam Semerbak Bunga di Bandung Raya (1986) mengkhawirkan kondisi taman lalu lintas yang beralih fungsi menjadi taman kreasi tinimbang hutan tropis.

“Taman adalah taman! Suatu lahan hijau dalam kota yang lebih mengutamakan dan menonjolkan semerbak bunga dan hijaunya pepohonan,” tulis Kuncen Bandung.

Lahan hijau di Kota Kembang ini masih jauh dari standar minimun RTH sesuai amanat Undang-Undang No.26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang sebesar 30 persen. Taman Lalu Lintas sendiri masuk dalam Perda Kota Bandung No,25 Tahun 2009 tentang Hutan Kota.

Kintan Anisa dan Weishaguna dalam Jurnal Riset Perencanaan Wilayah dan Kota (JRPWK) 2023 menyatakan banyak hutan kota di Bandung yang belum memenuhi standar secara kualitas maupun kuantitas berdasarkan Peraturan Menteri Agraria Nomor 14 Tahun 2023 tentang Penyediaan dan Pemanfaatan Ruang Hijau.

Dua peneliti dari Universitas Islam Bandung (Unisba) melakukan anaslisis terhadap 11 hutan kota di Kota Bandung. Yang dianalisis terdiri dari luasan, radius pelayanan, dan tutupan pohon hutan kota.

Secara luasan, Kintan Anisa dan Weishaguna menyimpulkan, sebagian besar luasan hutan kota di Kota Bandung belum memenuhi kriteria yang dijadikan acuan yaitu 100.000 meter per segi. Luasan yang belum memenuhi  kriteria  tersebut  yaitu  Babakan  Siliwangi,  Eks  TPA  Cicabe,  Eks  TPA  Pasir  Impun,  Kawasan  Punclut, Taman Cilaki, Taman Hutan Raya Ir. H. Djuanda (Curug Dago), Taman Lalu Lintas, Taman Maluku, dan Taman Pramuka. Sedangkan hutan kota yang telah memenuhi luasan kriteria yang digunakan yaitu Kebun Binatang Bandung dan Taman Tegallega.  

Berdasarkan hasil analisis radius pelayanan didapatkan kesimpulan bahwa keseluruhan dari 11 hutan kota di Kota Bandung telah memenuhi atau telah melingkupi Kota Bandung. Namun ada beberapa bagian di SWK Gedebage dan SWK Ujung Berung yang tidak terlingkupi oleh radius pelayanan 5.000 meter. Sedangkan masing-masing  SWK  telah  terlingkupi  bahkan  radius  ini  mengenai  SWK  yang  berada  di  dejarnya  bahkan  hingga keluar dari Kota Bandung, yaitu hingga Kabupaten Bandung dan Kabupaten Bandung Barat.

Berdasarkan analisis tutupan hijau, didapatkan hanya dua hutan kota yang memenuhi kriteria, yaitu Taman Cilaki dengan luasan tutupan hijau sebesar 49.776,48 m2 atau memiliki persentase sebesar 151 persen dan Taman Pramuka dengan luasan tutupan hijau sebesar 15.114,79 m2 atau memiliki persentase sebesar 118 persen. “Sedangkan hutan kota lainnya belum memenuhi kriteria ini,” tulis Kintan Anisa dan Weishaguna.

Kedua penulis menegaskan, kurangnya luasan RTH akan berdampak negatif pada kehidupan, seperti  memicu kenaikan suhu. BMKG mencatat, perbandingan suhu Bandung di tahun 1975 yaitu 22,60 C dan di tahun 2020 naik signifikan menjadi 25,690 C. “Dampak lainnya yaitu banjir yang diakibatkan oleh kurangnya daerah resapan air,” tulis kedua peneliti.

*Kawan-kawan dapat membaca tulisan-tulisan lain Muhammad Akmal Firmansyah, atau membaca artikel-artikel tentang Bandung Hari Ini

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//