• Kolom
  • BIOGRAFI ACHMAD BASSACH (17): Penerimaan Awal Karya Joehana

BIOGRAFI ACHMAD BASSACH (17): Penerimaan Awal Karya Joehana

Karangan Achmad Bassach dituding porno. Sepanjang yang saya baca, di dalam Hoetang Njeri Bajar Njeri tidak ada gambaran yang bersifat porno itu.

Atep Kurnia

Peminat literasi dan budaya Sunda

Redaksi Parahiangan seakan menelan ludah sendiri setelah memuatkan karya Achmad Bassach, Hoetang Njeri Bajar Njeri. (Sumber: Parahiangan No. 15, 11 April 1929)

25 Februari 2022


BandungBergerak.idBagaimana penerimaan atas karya-karya Achmad Bassach? Salah satu gambaran awalnya dapat kita baca dari pernyataan S dalam obituari bertajuk “Johana alias Toean Achmad Bassach Meninggal Doenia” (Keng Po, 13 Mei 1929).

Dalam tulisan tersebut S nampaknya mengungkapkan anggapan umum terhadap karya-karya sastra yang ditulis oleh Achmad Bassach. Katanya, “Moesti diakoei bahoewa boekoe-boekoe dari Johana tida mementingken pada literatair, tapi isinja mengenaken hati. Toean terseboet sebagi anak dari volk menoelis keadaan jang terdjadi dalem volk. Dari itoe, bagimana djoega orang kata, boekoenja Johana di Preangen lakoenja seperti pisang goreng, sampe diplosok-plosok pegoenoengan Eulis Atjih dan Kasoewat koe Doeriat dibatja orang”.

Artinya, menurut S dan barangkali mewakili pandangan umum ahli sastra sezaman, karya-karya Achmad Bassach tidak terlalu memperhatikan aspek-aspek kesusastraan, dalam arti sastra yang bermakna tulisan indah. Yang diutamakan oleh Achmad Bassach justru kesesuaian dengan selera pembaca atau dengan kata lain lebih memilih mengabdi kepada harapan para pembacanya, ketimbang memperhatikan selera atau harapan para kritikus sastra Sunda sezaman.

Oleh karena itu, menurut S, Achmad Bassach sedari masa hidupnya sudah mendapatkan kritik. Di antaranya dari Dr. Djoendjoenan Setiakoesoemah. Kata S, “Dalem vergadering Pasoendan di Bandoeng Dr. Djoendjoengan telah critiek isinja ia poenja boekoe-boekoe. Tapi siapa tida critiek boekoe-boekoenja Emile Zola, Henri Barbuse dan Victor Margauritte? Malah Marie Corelli tida loepoet dari makian!”

Tulisan Drewes yang antara lain berisi kritik terhadap bahasa Sunda yang digunakan oleh Achmad Bassach. (Sumber: Djawa, Vol. 10, 1930)
Tulisan Drewes yang antara lain berisi kritik terhadap bahasa Sunda yang digunakan oleh Achmad Bassach. (Sumber: Djawa, Vol. 10, 1930)

Bahasa Sundanya Rusak

Barangkali hal yang sama ditekankan oleh Dr. G.W. J. Drewes, wakil kepala Balai Pustaka (“wd. Hoofdambtenaar v.d. Volkslectuur”) dalam salah satu tinjauannya, “Volkslectuur in 1930” (dalam De Locomotief edisi 19 Desember 1930 dan dimuat ulang dalam majalah Djawa Vol. 10, 1930). Dalam tulisannya, ia mula-mula membahas karya-karya sastra Sunda terbitan Balai Pustaka selama tiga tahun belakangan. Katanya, selama tahun 1928 ada 12 karya, tahun 1929 hanya ada 7 karua, dan tahun 1930 ada 8 karya. Totalnya, selama tiga tahun belakangan ada 27 karya sastra Sunda yang diterbitkan oleh Balai Pustaka, dengan catatan 20 di antaranya adalah karya baru.

Karya-karya yang baru itu di antaranya buku catatan perjalanan ke Eropa yang ditulis oleh istri bupati Meester Cornelis, R.A. Abdoerachman, terjemahan Sunda surat-surat R.A. Kartini oleh R. Satjadibrata dan diinisiasi oleh R.A. Abdoerachman, dan roman Tjarita Mantri Djero karya R. Memed Sastrahadiprawira. Drewes memuji karya Memed tersebut sebagai buku yang sangat bagus karena punya citarasa yang baik bagi para pembaca Sunda dan menggembirakan, sekaligus tanggapan terhadap karya-karya berbau pornografi yang ditulis pengarang picisan dan membanjiri pasar. Meskipun karya Memed juga ditulis tidak dalam gaya modernis, melainkan lebih retoris seperti prosa literer Sunda.

Salah seorang pengarang Sunda yang dianggap oleh Drewes bahasanya rusak terdapat pada roman-roman karya Achmad Bassach. Kata Drewes, contoh bahasa yang rusak terdapat dalam novel-novel Joehana, salah seorang penghasil bahan bacaan, bila dibandingkan dengan gaya beradab dari para penulis dan penerjemah yang sudah dibahas (“Het taalbederf, dat b.v. in de romannetjes van Joehana, een der bovengenoemde fabrikanten van leesstof, welig tiert, staat wel in scherpe tegenstelling tot den weiverzorgden, beschaafden stijl van de bovenbesproken schrijvers en vertaler”).

Pendapat Drewes kiranya setelah mendapatkan masukan dari redaktur bahasa Sunda yang bekerja di Balai Pustaka atau ada juga kemungkinan dia membaca langsung karya-karya Achmad Bassach, atau paling tidak membaca komentar redaksi majalah Parahiangan setelah cerita bersambung karya Achmad Bassach, Hoetang Njeri Bajar Njeri, tamat dimuat dalam Parahiangan pada 7 Februari 1929.

Setamat Hoetang Njeri Bajar Njeri dimuat, memang redaksi Parahiangan menuliskan kesan terhadap karya tersebut dalam rubrik “Serat-Sinerat” (dalam Parahiangan edisi No. 15, 11 April 1929). Konteks adalah pihak redaksi sedang menanggapi pertanyaan atau pernyataan dari pelanggan Parahiangan bernomor 1267 dari Garut. Pada awal tanggapannya, redaksi menyatakan “Pangledjar oepami tamat Ngalindoeng ka Geloeng baris digentos koe karangan anoe ti Garoet” (rubrik Pangledjar setelah tamat Ngalindoeng ka Geloeng akan diganti dengan karangan yang berasal dari Garut).

Setelah itu, barulah redaksi membahas pengarang dan kualitas bahasa Sunda dalam Hoetang Njeri Bajar Njeri. Konon, “Noe ngarang Hoetang Njeri Bajar Njeri teu aja leuwihna, ngemblek dina noe parantos kaoeninga bae, istri deui, palatjoeran deui, djimat, pelet modelna, roehan pamohalan, basana jaktos lantjar tea mah namoeng edas ngadangdosanana awerat” (Pengarang Hoetang Njeri Bajar Njeri tidak ada kelebihannya, berkutat dalam hal-hal yang sama-sama sudah diketahui belaka, perempuan lagi, pelacuran lagi, jimat, modelnya mantra-mantra, menunjukkan hal-hal yang mustahil, bahasa yang digunakannya memang menunjukkan kelancaran tetapi menyuntingnya terbilang sukar).

Selebihnya, redaksi mengomentari umumnya para pengarang picisan. Katanya, “Tjarek bangsa lian tea mah, rereana oerang Soenda mah bisana ngarang teh ngan hal palatjoeran woengkoel” (Kata bangsa lain, kebanyakan orang Sunda hanya bisa mengarangnya terbatas pada hal-hal yang berkaitan dengan pelacuran”). Dengan demikian, redaksi mengajak agar karya-karya semacam itu jangan sampai disukai, dibaca, dan ditanggap (“Eukeur mah eukeur oerang Soenda teh. Tjing atoeh oelah pada nanggap”).

Pendapat redaksi Parahiangan tersebut sangat aneh. Sebab, bukankah yang memilih (barangkali meminta langsung kepada pengarangnya) dan memutuskan untuk memuat Hoetang Njeri Bajar Njeri adalah mereka sendiri. Namun, setelah karya tersebut dimuat, mereka sendiri yang kemudian menyesali keputusan yang telah diambilnya. Seakan-akan mereka hendak menelan kembali ludah yang sudah kadung mereka keluarkan (“ngaletak ciduh sorangan”). Lalu, ditinjau dari isi karangannya, sepanjang yang saya baca, di dalam Hoetang Njeri Bajar Njeri tidak ada gambaran yang bersifat porno. Bagaimana bisa dikatakan karangan tersebut berisi pelacuran?

Mengenai hal ini, kita diingatkan pada konteks ketika Parahiangan diluncurkan pada tahun 1929. Saat itu, umumnya para pengarang Sunda, menurut Tom van den Berge (Puisi Sunda Zaman Belanda, 2021: 54) masih dikuasai oleh bentuk puisi, meskipun telah memasuki alam modern. Kata Tom, “Zaman modern mendatangkan banyak perubahan tetapi mesti diselaraskan dengan budaya sendiri. Kata-kata yang tercetus dapat menggugah kata-kata lainnya. Namun, asosiasi kata dalam puisi Sunda tidaklah bebas. Penyair Sunda dibatasi oleh pilihan katanya sendiri. Puisi Sunda adalah hasil rekacipta. Bagi penyair Sunda, puisi bukanlah seni melainkan bidang pengetahuan”.

Pendapat demikian merupakan kelanjutan dari pendapat Holle yang menyatakan bahwa di Tatar Sunda, transfer pengetahuan yang relevan diperantarai oleh puisi. Coolsma juga memahami hal yang sama. Baru Hidding yang menganggap puisi bukan lagi sebagai wahana transfer pengetahuan melainkan sebagai seni, dalam arti bentuk sastra. Dia memandang puisi bukan semata-mata sebagai pengajaran melainkan sebagai karya rekaan.

Baca Juga: BIOGRAFI ACHMAD BASSACH (14): Cerita Bersambung dalam Majalah Parahiangan
BIOGRAFI ACHMAD BASSACH (15): Menyundakan Karya A. Hassan dan Pustaka Persatoean Islam
BIOGRAFI ACHMAD BASSACH (16): Manggung di Tasikmalaya, Meninggal di Bandung

Achmad Bassach adalah pengarang yang sepenuhnya sadar diri. Ia kerap muncul dalam karangannya sendiri, termasuk dalam buku kumpulan lelucon. (Sumber: Goenoeng Gelenjoe, 1928)
Achmad Bassach adalah pengarang yang sepenuhnya sadar diri. Ia kerap muncul dalam karangannya sendiri, termasuk dalam buku kumpulan lelucon. (Sumber: Goenoeng Gelenjoe, 1928)

Pengarang yang Melampaui Zaman

Saya pikir, temuan Tom itu sudah dikemukakan terlebih dulu oleh M.A. Salmun. Dalam karyanya Kandaga Kasusastran Sunda (1958: 142-143), Salmun antara lain membahas periode sastra Sunda yang disebutnya sebagai “Jaman Sepuh, 1909-1929” dan “Jaman Parahiangan, 1929-1941” beserta ciri-cirinya. Khusus “Jaman Sepuh” yang mewadahi Moch. Ambri dan Joehana, Salmun menganggap zaman tersebut mempunyai ciri-ciri sangat memperhatikan tata bahasa, bahasanya didaktis, masih ada yang menggunakan bahasa ikatan, kisahnya banyak yang sudah realistis, pengaruh pesantren sudah hampir hilang, kebanyakan bersifat didaktis, mulai banyak prosa tetapi masih ada yang tetap menggunakan dangding (bahasa ikatan), dan mulai ada penerbitan surat kabar Sunda.

Barangkali, pihak redaksi Parahiangan mewakili pandangan “Jaman Sepuh” ini, sementara Achmad Bassach, termasuk Moch. Ambri, sudah melampaui zaman ini, sehingga oleh Salmun dikatakan “Basana, salian ti Joehana jeung Moh. Ambri, ‘basa guru’” (Bahasanya, selain Joehana dan Moh. Ambri, menggunakan ‘bahasa guru’). Dengan demikian, saya pikir, pihak redaksi Parahiangan dapat dikatakan mengukur baju sendiri dengan baju orang lain, dalam arti menilai karya Achmad Bassach dengan takaran yang sudah ketinggalan zaman.

Apalagi Achmad Bassach sendiri terbilang pengarang yang sudah sadar diri. Dalam banyak karyanya, ia kerap memunculkan dirinya. Misalnya dalam Mugiri (1928, cetakan kedua, 1989: 110) ada kutipan demikian, “Hanjakal mama geus teu ngarang deui” ceuk ramana. “Keun urang dongengkeun ka Joehana sina dikarang!” (“Sayang mama sudah lagi mengarang,” kata ayahnya. “Kita kisahkan saja kepada Joehana biar nanti dibuatkan menjadi karangan!”).

Dalam Rasiah nu Goreng Patut (1928, cetakan kedua, 1963: 74) pun ada petikan yang menggambarkan Achmad Bassach juga. Di dalamnya ada kutipan ini, “Meunggeus Eulis entong tjeurik, da geus tamaha urang, geuwat bae urang naksi, malah ulah tjektjok, bisi kadenge ku ... Joehana tukang ngarang tea!” (Sudahlah Eulis, jangan menangis, nasi sudah menjadi bubur, cepat-cepat kita bersaksi, malah jangan cekcok, biar tidak terdengar oleh ... Joehana tukang mengarang”).

Satu lagi dapat kita timba dari buku kumpulan lelucon yang disusun oleh Achmad Bassach, Goenoeng Gelenjoe: 50 Doengeng Pigoemoedjengeun (1928). Di situ ada satu lelucon yang berkaitan dengan buku Eulis Atjih. Pada awal lelucon dikatakan “Boekoe Tjarios Eulis Atjih karangan Joehana tea, geus kamashoer kaawoen-awoen, nepi ka ditaroenilkeun. Malah ajeuna mah kamashoerna teh bakal njebar kaloear, nja eta ka Europa djeung ka Amerika djeung djaba ti eta, lantaran didjieun pilem tea [dibioskoepkeun]” (Buku Tjarios Eulis Atjih karangan Joehana telah terkenal, sehingga banyak dijadikan tunil. Bahkan sekarang kemasyhurannya akan menyebar ke luar, yaitu ke Eropa, Amerika, dan sebagainya, sebab dibuat film atau dibioskopkan).

Demikianlah, oleh para kritikus sastra Sunda sezaman yang masih dipengaruhi oleh paham yang ditanamkan Holle, sejak awal roman-roman karya Joehana ditempatkan sebagai karya picisan, yang kandungannya serba murahan. Di samping itu, bahasa Sunda yang digunakannya tidak adiluhung, “tidak bersih”, seperti bahasa Sunda yang digunakan oleh kaum literati Sunda sejak zaman R.H. Moehamad Moesa. Padahal kita tahu, Achmad Bassach membawa semangat zaman, yang memang tengah berubah ke arah modernitas yang menghendaki karya-karya sastra yang kian prosais, bukan puitis, serta realitas yang terjadi.

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//