• Buku
  • Buku Asmara Hadi Sang Pengusul Istilah Pancasila segera Diterbitkan

Buku Asmara Hadi Sang Pengusul Istilah Pancasila segera Diterbitkan

Di umur 14 tahun, Asmara Hadi meninggalkan Bengkulu menuju Bandung untuk berguru langsung pada Sukarno. Buku Asmara Hadi saat ini dalam proses prapesan.

Buku Tentang Pancasila karya Asmara Hadi, murid sekaligus mantunya Sukarno. Buku ini diterbitkan Yayasan Ibu Inggit Garnasih, Bandung, 1 Februari 2022. (Sumber: Yayasan Ibu Inggit Garnasih)

Penulis Iman Herdiana12 Maret 2022


BandungBergerak.id - Nama Asmara Hadi lama terpendam dalam lipatan sejarah. Kini nama itu bangkit melalui buku karyanya berjudul Tentang Pancasila yang diterbitkan Yayasan Ibu Inggit Garnasih, Bandung. Dalam sejarah, Asmara Hadi disebut sebagai pengusul istilah Pancasila yang kemudian menjadi dasar negara Indonesia.

Sebagaimana judulnya, buku tersebut memuat tulisan-tulisan tentang Pancasila yang ditulis Asmara Hadi. Saat ini, buku Tentang Pancasila dalam proses prapemesanan untuk cetakan pertama, 1 Februari 2022. Buku ini diberi pengantar Tito Zeni Harmaen Asmara Hadi (anak Asmara Hadi atau cucu Inggit Garnasih), dengan editor Tri Joko Her Riadi (Pemimpin Redaksi BandungBergerak.id).

Bagi yang ingin memesan buku Tentang Pancasila, bisa menghubungi kontak pemesanan via WA: 0882-1800-8211 (Gatot) dengan harga prapesan Rp 47.000 (harga reguler Rp 59.000).

Profil Asmara Hadi

Asmara Hadi, kelahiran Talo, Bengkulu Selatan, 8 September 1914, memiliki banyak nama pena atau samaran. Antara lain, Abdul Hadi, Ipih dan H. R., singkatan dari Hadi dan Ratna. Di masa rezim otoriter Orde Baru, ia menciptakan nama-nama pena yang lain lagi, mulai dari Ibnu Fattah, Faridun Attar, Ahimsa, hingga A. Tallo.

Pada 1928, di umurnya yang masih 14 tahun, Asmara Hadi meninggalkan Bengkulu menuju Bandung untuk berguru langsung pada Sukarno. Di usianya yang masih belia itu ia mendapat gemblengan langsung dari Bung Karno, dan selalu mendampingi serta mengikuti ke mana pun Si Bung Besar pergi.

Asmara Hadi sempat aktif di Partai Indonesia (Partindo), partai politik yang dibentuk setelah Partai Nasional Indonesia (PNI) pimpinan Sukarno dibubarkan. Ia pernah menjabat wakil ketua Partindo cabang Bandung dari akhir 1933 hingga pertengahan tahun 1934, ketika ia diminta menyusul Bung Karno ke pembuangan di Ende, Flores.

Di bumi Flores inilah, Pancasila dikandung dalam rahim tanah Ende. Di situ jugalah terjadi diskusi dan pembicaraan antara Bung Karno dan Asmara Hadi mengenai dasar negara yang lima.

Asmara Hadi mengusulkan kepada Bung Karno agar dasar negara itu sebaiknya disebut Pancasila. Di hari lahirnya Pancasila pada tanggal 1 Juni 1945, ketika Panca Sila masih merupakan pidato politik dan belum menjadi dasar negara, disebutkan bahwa nama Pancasila merupakan “petunjuk seorang teman kita ahli bahasa”. Informasi bahwa Asmara Hadi-lah si “ahli bahasa” itu dibenarkan oleh SK. Trimurti, Mr. Sumanang, dan Soediro.

Baca Juga: Pidato Sukarno tentang Revolusi dan Sosialisme di Alun-alun Bandung
Sukarno dan Suharto Sama-sama Wariskan Buku Masakan di Akhir Kekuasan
BANDUNG HARI INI: Inggit Garnasih Lahir, Mendampingi Sukarno sampai Gerbang Kemerdekaan

Berjuang melalui Jurnalistik

Pada 1937, setahun setelah Partindo dibekukan oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda, Asmara Hadi bergabung dengan beberapa tokoh lain membentuk partai baru Gerakan Rakyat Indonesia (Gerindo) di Jakarta. Asmara Hadi menjabat sekretaris jenderal.

Pergerakan di bidang politik membawa Asmara Hadi mencemplungkan diri juga di dunia jurnalistik. Pada tahun 1932, ia menjadi anggota staf redaksi Fikiran Rajat, mingguan politik yang diterbitkan oleh Bung Karno di Bandung. Di Gerindo, ia dipercaya sebagai Pimpinan Redaksi “Pelopor Gerindo”. Dari 1937 hingga 1941, nama Asmara Hadi muncul di kotak redasi beberapa majalah, termasuk Pelopor dan Pudjangga Baru.

Terlibat aktif dalam perintisan kemerdekaan, Asmara Hadi akrab dengan pelarangan dan penahanan. Berulang kali ia ditangkap oleh polisi intel Belanda (PID), baik di Bandung maupun di Jakarta. Pada 10 Desember 1941, Asmara Hadi ditahan PID di Jakarta bersama tokoh Gerindo lain, seperti Adam Malik dan Sumanang. Dari Jakarta, para tawanan ini dipindahkan ke kamp konsentrasi Sukabumi, Garut, lalu Nusa Kambangan. Gagal diberangkatkan ke Suriname, para tokoh politik ini dibebaskan tentara Nippon yang telah merebut Hindia Belanda.

Di era kemerdekaan, aktivitas politik dan jurnalistik Asmara Hadi tidak kendur. Pada 1945, ia menjadi anggota Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP). Pada 1955, ia terpilih sebagai anggota Konstituante wakil dari Gerakan Pembela Panca Sila (GPPS). Pada 1959, Asmara Hadi menjabat anggota Dewan Pertimbangan Agung (DPA), juga anggota MPRS. Ketika Partindo dihidupkan lagi, ia menjabat ketua umum dari 1959 hingga 1967.

Di jagat jurnalistik, pada 1951, Asmara Hadi bersama Djamal Ali, Z. A. Palindih, Sulaeman, dan Sakti Alamsyah menerbitkan surat kabar Harian Umum Pikiran Rakjat di Bandung. Nama itu dipilih untuk meneruskan nama mingguan politik yang dipimpin Sukarno di awal 1930-an: Fikiran Rajat (Pikiran Rakyat). Sebagai penulis dan kolumnis, artikel-artikel Asmara Hadi bertebaran di berbagai media massa hingga tahun meninggalnya 1976.

Sastra adalah bidang lain lagi yang digeluti Asmara Hadi. Buku memoir Di Belakang Kawat Berduri merekam pengalaman hidupnya di dalam tahanan pemerintah kolonial Hindia Belanda. Kumpulan sajaknya disunting oleh Yunan Nasution dan diterbitkan menjadi buku berjudul Asmara Hadi Penyair Api Nasionalisme (1965).

Pada tahun 1974, Asmara Hadi ditetapkan oleh pemerintah Indonesia sebagai Perintis Pergerakan Kebangsaan Kemerdekaan. Pada 1976, suami Ratna Juami ini meninggal di Bandung dan dimakamkan di TPU Sirnaraga. Pada 2014, makamnya dipindahkan ke TPU Porib Bandung.

Asmara Hadi dan Ratna Djuami

Hubungan Asmara Hadi dengan Sukarno lebih dari hubungan murid dan guru. Asmara Hadi menikahi Ratna Djuami yang tak lain putri Sukarno - Inggit Ganarsih yang diadopsi dari pasangan Sumarta dan Murtasih (kakak Inggit Garnasih).

Ratna Djuami diangkat anak oleh Sukarno - Inggit Ganarsih ketika masih bayi merah berumur 40 hari. Ranta pula yang menjadi pelipur keterasingan Sukarno - Inggit Ganarsih selama di Ende hingga Bengkulu pada 1934.

Tito Zeni Harmaen Asmara Hadi, yang memberikan pengantar untuk buku Tentang Pancasila, merupakan salah satu putra pasangan pasangan Asmara Hadi dan Ratna Juami.

Editor: Redaksi

COMMENTS

//