Mengikis Stigma pada Mantan Narapidana
Tidak sedikit perusahaan yang menolak lamaran pekerjaan dari mantan narapidana (residivis), baik perusahaan pemerintah maupun swasta.

Sandraputra Fabian Privianesta
Mahasiswa Universitas Katolik Parahyangan (Unpar).
3 Agustus 2022
BandungBergerak.id - Sebagian masyarakat masih memandang narapidana dengan sebelah mata atau dari sisi negatifnya, di mana narapidana dianggap sebagai sampah masyarakat dan selalu dikucilkan. Mantan narapidana atau residivis dianggap tidak dapat kembali sebagai anggota masyarakat pada umumnya, bahkan setelah menjalani masa hukumannya pun mereka tetap dinilai sebagai manusia negatif dan beban negara.
Stereotip negatif seolah residivis tidak memiliki tempat di antara masyarakat dan harus disingkirkan, membuat mereka menjadi manusia yang tidak memiliki hak untuk kembali ke masyarakat. Seperti contohnya, hampir sebagian besar perusahaan di Indonesia tidak mau menerima lamaran pekerjaan dari seseorang yang merupakan mantan narapidana, baik perusahaan pemerintah maupun perusahaan swasta.
Narapidana merupakan seorang terpidana yang sedang menjalani masa hukuman pidana sehingga hak kemerdekaan narapadipana dicabut sementara, karena telah melanggar hukum yang berlaku serta sesuai dengan kentetuan pidana yang tertera. Pada umumnya, tujuan diberinya sanksi pidana adalah untuk menghukum, bukan untuk memberi efek jera, sehingga sebagian mantan narapidana kembali melakukan kejahatan setelah keluar dari penjara.
Meskipun tujuannya adalah menghukum, hak yang dimiliki narapidana sebagai manusia juga tetap dilindungi oleh pemerintah melalui sistem pemasyarakatan Indonesia. Untuk mengetahui sikap masyarakat terhadap narapidana memerlukan pandangan dari sisi narapidana itu sendiri dan masyarakat secara umum.
Residivis Perspektif Masyarakat
Secara hukum narapidana memiliki hak yang sama untuk menjalankan kehidupan mereka. Salah satu permasalahan yang terjadi dalam lingkungan masyarakat yang terus terjadi hingga saat ini, bahkan cenderung menjadi sebuah budaya yang secara tidak langsung melekat dalam kehidupan sosial saat ini, adalah terkait stigma negatif yang tumbuh. Dalam lingkungan sosial, masyarakat sering kali memiliki ketakutan tersendiri kepada mantan narapidana, ketika suatu saat mereka akan mengulang kesalahan yang sama. Perasaan takut tersebut membuat masyarakat kerap mendiskriminasikan para mantan narapidana, dalam seluruh aspek yang paling mendasar dalam kehidupan sosial.
Pada dasarnya, rasa ketakutan tersebut tidak sepenuhnya salah dalam sudut pandang psikologis, namun jika dipraktikkan ke dlaam kehidupan masyarakat, maka sudut pandang tersebut terasa tidak adil. Salah satu fenomena yang terjadi terkait dengan permasalahan tersebut adalah ketika masyarakat bersikap kontra terhadap keputusan pemerintah untuk membebaskan para narapidana di tengah situasi pandemi untuk mempersempit laju penyebaran Covid-19 (Balqis, Dinda; 2020).
Keputusan yang dilakukan oleh pemerintah itu sendiri membuat masyarakat khawatir, karena menurut mereka sebaiknya para narapidana lebih baik berada dalam lembaga permasyarakatan terlebih dahulu, untuk menjalankan proses adaptasi sosial dengan protokol kesehatan yang ketat, sehingga mantan narapidana lebih siap untuk dibebaskan dari masa tahanannya. Fenomena tersebut menjadi salah satu contoh dari adanya fenomena paranoid yang menghantui kehidupan sosial masyarakat ketika adanya narapidana yang dibebaskan dari masa tahanannya.
Salah satu stigma lain yang cukup melekat dalam kehidupan masyarakat adalah ketika adanya sebuah anggapan bahwa “sekali seorang individu berbuat jahat, maka selanjutnya mereka akan selalu berbuat jahat secara berkepanjangan” (Ermalena, Yosi ; 2021). Fenomena tersebut membangun sebuah perspektif di mana para mantan narapidana sering kali memiliki kecenderungan yang kuat untuk menjadi seorang residivis (orang yang akan selalu melakukan tindakan kejahatan berulang kali, layaknya penyakit kronis yang kambuh).
Namun pada dasarnya, perlu diketahui bahwa stigma tersebut tidak dapat disamaratakan, mengingat tidak semua mantan narapidana akan berbuat kesalahan yang sama, bahkan banyak di antara mereka yang mendapatkan pekerjaan yang lebih layak dan halal.
Residivis Perspektif Pemerintah
Pemerintah sendiri juga menaruh perhatian khusus kepada permasalahan sekaligus fenomena tersebut yang sering kali menimpa para kalangan mantan narapidana. Salah satunya adalah dengan melalui peraturan perundang-undangan yang sifatnya melindungi hak asasi dari mantan narapidana. Sehingga mereka merasa aman dalam menjalankan kehidupan mereka sehari-hari, tanpa adanya perilaku diskriminasi maupun ancaman dari lingkungan yang ada di sekitarnya. Salah satunya tercantum dalam UU ketenagakerjaan nomor 13 tahun 2003 tentang pemberian lapangan pekerjaan kepada mantan narapidana.
Pemerintah memahami betul, bahwa mantan narapidana sendiri juga memiliki hak yang sama layaknya masyarakat pada umumnya, untuk mendapatkan pekerjaan yang layak. Undang-undang tersebut menjadi salah satu pelindung bagi para mantan narapidana dari bebagai macam bentuk tindakan diskriminatif oleh kalangan masyarakat. Kemudian dalam UU nomor 12 tahun 1995 yang menyatakan bahwa para mantan narapidana memiliki hak yang sama untuk menjalankan ibadah sesuai dengan kepercayaan mereka masing-masing.
Di sisi lain, pemerintah juga mengambil sejumlah tindakan untuk menegakan para narapidana maupun narapidana, salah satunya adalah dengan memberikan remisi maupun kelonggaran dalam aspek tertentu kepada para narapidana ketika menjelang hari raya. Hal tersebut tentu bedasarkan persetujuan dari pemerintah maupun menteri Hukum dan HAM (Jatmiko, Agung ; 2022).
Kebijakan tersebut merupakan salah satu kebijakan yang cukup tepat dilakukan oleh pemerintah, dengan mempertemukan para narapidana bersama dengan keluarga mereka. Berdasarkan hasil dari analisis kasus, perlu diketahui bahwa peran keluarga dalam kehidupan seseorang memegang peran yang cukup penting, untuk menjadi sarana rehabilitasi bagi para kaum narapidana. Banyak para kaum narapidana yang bersikap antusias dalam menyambut kebijakan remisi yang dilakukan oleh pemerintah pada saat hari raya.
Baca Juga: Penjara Sudah Penuh, Saatnya Menerapkan Keadilan Restoratif
Argumentasi Perlunya Penerapan Pidana Mati terhadap Koruptor di Indonesia
Menghukum Pelaku Pelecehan Seksual dengan Larangan Naik Kereta Api Seumur Hidup
Upaya Inklusi Residivis secara Mutual
Perlu penguatan untuk menekan angka residivis sebagai tolak ukur berjalannya fungsi pembinaan oleh pemasyarakatan. Salah satu upaya yang dilakukan adalah menjalankan program rehabilitasi medis serta rehabilitasi sosial di lapas. Program tersebut akan dilaksanakan pada tahun di mana dipercayakan pemerintah dengan mengalokasikan anggaran.
Demi terselenggaranya program tersebut, perlu partisipasi aktif baik dari pihak pemerintah sebagai pengelola anggaran atau biaya yang diperlukan sedangkan untuk peran masyarakat membantu para residivis dalam hal sosial, dengan mengajak mereka untuk juga berperan dan menjadi anggota aktif masyarakat, kemudian untuk peran residivis adalah adanya kemauan untuk kembali dalam masyarakat serta keinginan mengabdi untuk masyarakat. Residivis juga harus mempunyai kemampuan serta keahlian dengan menghasilkan produk karya yang bernilai ekonomis ataupun fungsionalis.
Kesimpulan
Secara peraturan perundang-undangan, pemerintah sudah berupaya untuk memberikan sejumlah perlakuan yang adil kepada seluruh mantan narapidana, untuk mendapatkan kehidupan yang lebih layak dalam lingkungan masyarakat. Namun, secara substansi maupun proporsi dari peraturan perundang-undangan sendiri, memang masih cenderung belum bisa meminimalkan perluasan stigma buruk yang sudah tertanam dalam kehidupan masyarakat terkait mantan narapidana.
Bahkan, hingga saat ini fenomena tersebut masih sering terjadi dalam kehidupan masyarakat. Memang pada dasarnya tidak sepenuhnya salah, mengingat masih banyak mantan narapidana yang masih belum jera ketika mereka telah terbebas dari masa tahanan mereka. Oleh karena itu, tindak pidana berupa penahanan kepada kaum narapidana masih jauh dari kata cukup untuk membuat para narapidana jera dari apa yang mereka lakukan.
Diperlukan adanya upaya rehabilitasi, sekaligus adanya pelatihan khusus dalam bidang kewirausahaan kepada para narapidana, sehingga mereka memiliki sejumlah keterampilan khusus yang dapat digunakan untuk menafkahi kehidupan mereka dengan layak setelah bebas dari masa penahanan.