NGALEUT BANDUNG: Rumah Keluarga Kerkhoven (Rumah Tuan Kebun Bagian #1)
Rudolph Eduard Kerkhoven membuka usaha perkebunan di Gambung, kampung yang ditinggal pergi penduduknya. Gambung menjadi saksi bisu perjuangan keras sang tuan kebun.
Alex Ari
Pegiat Komunitas Aleut, bisa dihubungi via akun instagram @AlexxxAri
5 Agustus 2022
BandungBergerak.id - Bagi pengusaha perkebunan di Priangan, rumah tinggal memiliki arti amat penting dalam kehidupan. Prinsip ini dipegang teguh Rudolph Eduard Kerkhoven, seorang Preanger Planters sekaligus pendiri perkebunan Gambung.
Emilius Hubertus Kerkhoven -- putra ketiga juragan kebun R.E. Kerkhoven -- dalam bukunya, “Kerkhoven A History of Our Family” (2002), menuturkan ayahnya fasih berbahasa Perancis. Ia punya beberapa aforisme dalam bahasa Perancis, salah satunya terkait dengan rumah yang berbunyi “charité bien ordonné commence par soi-méme” atau padanan dalam bahasa Inggrisnya adalah “charity begins at home”.
Dengan melihat perkembangan rumah yang dihuni para tuan kebun di Priangan, kita bisa merunut perjuangan usaha mereka sampai berhasil meraih kesuksesan. Selain itu, rumah tinggal Preanger Planters memiliki kisah yang terkait pula dengan para perancang bangunan ternama.
Rumah Keluarga Kerkhoven di Arjasari
Telah lama R.E. Kerkhoven tak merasa lagi berada di rumah meskipun saat itu ia berada di Belanda, tanah kelahirannya. Sejak ayahnya, Rudolph Albert Kerkhoven, berimigrasi ke Hindia Belanda pada tahun 1866, R.E. Kerkhoven merasa bahwa rumahnya berada nun jauh di negeri koloni di seberang lautan. Ia juga berangan membuka perkebunannya sendiri di Hindia Belanda.
Hanya karena kewajibannya untuk menyelesaikan pendidikan di Universitas Delft yang menghalanginya turut tinggal bersama orangtuanya. R.E. Kerkhoven dengan adiknya, Julius, memang sengaja ditinggalkan di Belanda untuk menyelesaikan pendidikan.
Perjalanan Rudolph Albert Kerkhoven untuk memiliki tempat tinggal di Hindia Belanda juga tak cukup mudah. Ia sempat ikut tinggal di Gang Scott. Kemudian sempat pula keluarga Rudolph Albert Kerkhoven berkunjung dan tinggal di Kampung Makassar, di properti milik keluarga Van Kerchem, dan Darmaga di Bogor yang merupakan tanah milik keluarga Van Motman.
Rudolph Albert Kerkhoven kemudian masuk ke Bandung. Pada awalnya tinggal di sebuah pondok yang terletak di pojokan Landraadweg dengan Bragaweg. Lahan ini kemudian hari menjadi rumah keluarga F. J. Soesman.
Akhirnya Rudolph Albert Kerkhoven menetap di Arjasari, Banjaran, perkebunan yang dibukanya pada tahun 1868. Ia membangun sebuah rumah bergaya landhuis satu lantai dengan atap berbentuk perisai dengan serambi terbuka dan pilar besar bergaya doria di bagian depan. Sebelum diubah menjadi perkebunan, Ajasari dahulu bernama Tegalmantri yang merupakan lahan tempat berburu keluarga bupati Bandung.
Ke rumah keluarga di Arjasari inilah, R.E. Kerkhoven pulang setelah meraih gelar insyur jurusan teknik pada tahun 1870. Sebelum pulang ke rumah di Arjasari, R.E. Kerkhoven sempat singgah dan magang kerja di perkebunan Sinagar Cirohani milik Eduard Julius Kerkhoven, pamanannya. Setelah membekali diri dengan pengetahuan yang diperlukan untuk menjadi planters (pemilik perkebunan), R.E. Kerkhoven kembali ke rumah.
Untuk mewujudkan obsesinya memiliki perkebunan, R.E. Kerkhoven kemudian mencari lahan calon perkebunan dibantu ayahnya. Anak dan ayah ini berkuda dari Arjasari ke arah Cikalong dan melewati daerah Babakan dia atas punggung perbukitan. Setelah berulang kali melakukan pencarian lahan, R.E. Kerkhoven akhirnya menemukan sebuah lahan berbentuk mangkuk bernama Gambung yang terletak di kaki Gunung Tilu (kini kawasan Kabupaten Bandung).
Tahun 1873 dan 1874 setelah survei dilakukan untuk mengurus izin permohonan penyewaan lahan, R. E. Kerkhoven akhirnya bisa mulai membuka Gambung menjadi perkebunan. Awalnya ia masih tetap tinggal di Arjasari dan pergi-pulang ke Gambung untuk mengurusi pembukaan lahan. Namun kemudian dirasakan perjalanan pergi-pulang Arjasari ke Gambung menjadi sangat berat karena memakan waktu dan medan jalan yang berat.
R. E. Kerkhoven kemudian memutuskan untuk tinggal di rumah pribumi di Kampung Gambung. Saat itu Gambung adalah kampung yang praktis ditinggalkan penghuninya, hanya ada delapan keluarga saja yang tetap tinggal dengan kondisi yang memprihatinkan.
Sesuai namanya, Gambung adalah lahan bekas perkebunan kopi yang ditinggalkan bertahun-tahun lamanya. Lahan kebun kopi yang terbengkalai menyatu dengan hutan lebat. Binatang buas seperti badak dan macan kerap berkeliaran di daerah ini hingga masuk kampung. Bahkan saat malam, anjing peliharaan penduduk akan dimasukan ke dalam rumah karena khawatir macan akan memangsanya.
Di Kampung Gambung yang morat-marit keadaannya inilah, R. E. Kerkhoven tinggal dan memulai usaha membuka perkebunan dengan angan menjadi pengusaha sukses.
Setelah tinggal di rumah penduduk setempat di Kampung Gambung, R. E. Kerkhoven kemudian mendirikan sebuah pondok sederhana pada tahun 1876. Seperti telah disinggung di muka, Emilius Hubertus Kerkhoven – anak ketiga dari lima bersaudara pasangan R. E. Kerkhoven dan Jenny – menulis tentang kondisi rumah masa kecilnya dalam buku “Kerkhoven A History of Our Family”.
Emilius bercerita, rumahnya sebuah bangunan dengan kedua sisi dindingnya dibangun dari bahan kayu. Tiang penyangga atap didirikan di atas pijakan batu untuk menghidarkan dari pelapukan yang disebabkan oleh rayap. Atap rumah menggunakan genting dari tanah liat buatan penduduk lokal yang sering kali bocor. Talang air dipasang sepanjang atap. Air dari cucuran talang ini yang kemudian terkadang menjadi tempat mandi favorit bagi anak keluarga Kerkhoven. Empat dari lima anak R. E. Kerkhoven lahir di rumah sederhana ini. Sementara si sulung, Rudolf (Ru) Albert Kerkhoven, lahir di Arjasari, di rumah orangtua R. E. Kerkhoven.
Butuh lebih dari dua puluh tahun kondisi ekonomi keluarga Rudolph Eduard Kerkhoven mengalami kemajuan seiring keberhasilan perkebunan Gambung. Pada saat inilah rumah sederhana keluarga R. E. Kerkhoven dibangun menjadi bangunan modern dengan berbagai fasilitas.
Dari legenda denah perkebunan Gambung ditulis beberapa bagunan fasilitas di sekitar rumah utama milik keluarga R. E. Kerkhoven di antaranya: kolam renang, lapangan tenis, garasi mobil, kandang kuda, ruang cucian, dan rumah untuk pelayan. Terdapat juga beberapa bangunan lain di lingkungan rumah tinggal, yaitu: bangunan bengkel dan generator diesel, gudang penyimpanan kayu dan bambu, gudang pengemasan kina, pabrik utama, bengkel penggergajian kayu dan pembuatan peti untuk teh, rumah manajer pabrik dan manajer perkebunan.
Dalam ingatan Emilius, gempa bumi kerap terjadi di Gambung. Ketika rumah keluarga Kerkhoven masih berupa pondok, ayahnya akan memegangi tiang lampu minyak sebagai penerangan di dalam rumah agar tidak jatuh. Ketika rumah keluarga Kerkhoven sudah menjadi bangunan baru saat gempa bumi terjadi, maka atap rumah dari baja bergelombang yang bergerak akan menimbulkan suara yang gaduh.
Suara-suara hewan malam juga sering memenuhi suasana malam di sekitar rumah tinggal keluarga Kerkhoven. Kelelawar kadang menabrak atap rumah, hewan luwak yang mengkonsumsi biji kopi di atas pepohonan membuang kotorannya ke tanah hingga menghasilkan suara mirip senapan mesin memuntahkan peluru.
R. E. Kerkhoven merancang sendiri bangunan rumahnya dan selesai didirikan pada tahun 1899. Bangunan rumah baru keluarga Kerkhoven ini menjadi perbincangan para pemilik perkebunan disekitar Gambung. Bahkan kemudian bentuk bangunan rumah keluarga Kerkhoven ditiru bentuknya oleh Administratur Perkebunan Kina Cinyiruan.
Selain menjadi saksi kelahiran anggota keluarga Kerkhoven, bangunan baru ini juga menjadi saksi kepergian Jenny Elisabeth, istri R. E. Kerkhoven, yang meninggal secara tragis pada tahun 1907. Selepas Kemerdekaan Indonesia, bangunan rumah tinggal keluarga Kerkhoven kemudian menjadi bangunan kantor Balai Pusat Peneltian Teh dan Kina (BPTK) Gambung.
Baca Juga: NGALEUT BANDUNG: Riwayat Hantu Perkotaan di Bandung
NGALEUT BANDUNG: Bandung di Masa Bersiap
NGALEUT BANDUNG: Cinta Buah Kawista dalam Cerita Haji Sanusi
Gedong Karet di Bandung
Setelah beranjak memasuki usia tua, pada tahun 1917, R. E. Kerkhoven memutuskan untuk lebih banyak tinggal di Bandung. Ia sering ditemani Bertha Kerkhoven, putri bungsunya. Pada tahun ini, Emilius Hubertus Kerkhoven menikah dengan Fenny Justine Pauline, yang merupakan putri keluarga Van Dijk. Fenny van Dijk dilahirkan di Bandung pada tahun 1890 di paviliun rumah di Dagoweg yang merupakan milik keluarga Heyting-Le Rutte, eks Gubernur Celebes (Sulawesi).
Sejak tahun 1910, Emilius Hubertus Kerkhoven telah membantu pekerjaan ayahnya mengurus Perkebunan Gambung hingga menggantikan poisi ayahnya. Sang ayah sendiri lebih sering berpergian ke Negeri Belanda ditemani Bertha Kerkhoven.
Beberapa tahun sebelum R. E. Kerkhoven pindah dari Gambung dan tinggal di kota Bandung, ia telah membeli sebuah lahan di daerah bernama Kebon Karet. Hella S. Haase, penulis Belanda, dalam romannya, “Sang Juragan Teh”, menggambarkan letak lokasi tanah milik R. E. Kerkhoven di Bandung.
Lahan tersebut dianggap keramat oleh penduduk pribumi, sebuah pohon beringin besar berdiri di depannya. Emilius Hubertus Kerkhoven menuliskan letak tanah ini memiliki dua akses jalan, yaitu Landraadweg yang terletak di bagian depan, dan Regentsweg, yang mejadi akses jalan bagian belakang.
Saat itu R. E. Kerkhoven telah menempati kedudukan terhormat di antara pemilik perkebunan di Priangan, ia dianggap sebagai salah satu Raja Perkebunan di Priangan. Dengan kondisi hidup yang lebih makmur, ia ingin membangun rumah yang lebih besar di Bandung dengan tujuan sebagai tempat berkumpul anaknya yang tersebar di Perkebunan Gambung, Malabar, Talun, dan Negla. Bangunan rumah yang kemudian oleh keluarga Kerkhoven disebut sebagai Gedong Karet mulai dibangun pada tahun 1917, hasil rancangan oleh biro arsitektur “Hulswit & Fermont”.
Sementara menanti selesai pembangunan Gedong Karet, R. E. Kerkhoven menyewa sebuah rumah milik dokter D. Doijer yang beralamat di Nieuw Merdikaweg dan terletak di pojok Merdika Park. Pada saat yang hampir bersamaan, besannya, yaitu keluarga Van Dijk [mertua Emilius Kerkhoven], tinggal di rumah yang beralamat di Oude Merdikaweg No. 6.
R. E. Kerkhoven sempat menyaksikan penyelesaian pembangunan Gedong Karet. Namun karena kesehatannya yang menurun, ia tak sempat tinggal menempati bangunan rumah yang dibanggakannya. Hella S. Haasse dalam novel yang didasarkan pada dokumen pribadi milik keluarga R. E. Kerkhoven, menggambarkan Gedong Karet sebagai rumah mewah dengan teras yang luas, ruangan di dalamnya memiliki langit-langit yang tinggi dengan lantai marmer.
Sakit tumor perut menjadi penyebab meninggalnya Rudolph Eduard Kerkhoven pada awal tahun 1918. R. E. Kerkhoven saat itu berusia 69 tahun, dan sesuai dengan wasiatnya, ia dimakamkan di Gambung yang merupakan perkebunan dan rumah pertama miliknya.
Sepeninggal sang kepala keluarga, Gedong Karet kemudian dihuni oleh Karel Felix Kerkhoven, anak R. E. Kerkhoven yang sempat berkarier di perusahaan kereta api negara (Staatsspoorwegen). Saat Perang Dunia I usai, pada tahun 1919, Karel Felix Kerkhoven memulai pembukaan Perkebunan Negla sehingga ia dan keluarganya tak lagi tinggal di Gedong Karet.
Sepeninggal Karel Felix Kerkhoven, tidak ada lagi keluarga Kerkhoven yang tinggal di Gedong Karet. Bangunan ini kemudian dijual kepada jaringan hotel yang kemudian menjualnya kembali kepada Staatsspoorwegen (SS). Perusahaan kereta api milik negara ini kemudian mengubah fungsi Gedong Karet menjadi kantor pusat perusahaan PT. KAI (kini di Jalan Perintis Kemerdekaan, Bandung).