NGALEUT BANDUNG: Cinta Buah Kawista dalam Cerita Haji Sanusi
Inggit Garnasih dan H. Sanusi sepakat menawarkan kepada H. O. S. Tjokoroaminoto untuk menerima Sukarno mondok di rumahnya di Kebonjati.
Alex Ari
Pegiat Komunitas Aleut, bisa dihubungi via akun instagram @AlexxxAri
12 Juli 2022
BandungBergerak.id - Dahulu, saat air sungai Cikapundung masih jernih dan bersih, alirannya dimanfaatkan warga sebagai sumber air untuk berbagai kepentingan seperti mandi dan mencuci. Warga daerah Gadog, Tamansari, Bangbayang, Plesiran, Torpedo, Nangkasuni, Babakan Ciamis, Bong, Braga, Pangarang, Lengkong menjadikan tepian sungai Cikapundung sebagai tempat untuk mandi dan mencuci.
Satu kawasan di sekitar daerah Babakan Ciamis kemudian dikenal sebagai Kampung Pangumbahan tempat para tukang binatu banyak berkumpul. Kalipah Apo (Haji Muhammad Sueb) dalam salah satu karyanya “Surat Ka Kuta Raja” (1907) menceritakan Leuwi Pajati yang letaknya di aliran Sungai Cikapundung di daerah Jalan Gereja (Jalan Perintis Kemerdekaan), tak jauh dari Kampung Pangumbahan.
Kisah Kenangan Buah Kawista
Tak begitu jauh dari Kampung Pangumbahan dan Leuwi Pajati dahulu terdapat Kampung Javaveem, sebuah kampung yang namanya diambil dari perusahaan ekspedisi yang memiliki kantor dan gudang di kawasan Jalan Braga.
Di Kampung Javaveem di awal abad XX, tinggal keluarga Arjipan dan Amsi dengan beberapa anaknya, salah satu putrinya bernama Hegarna Asih atau sering dipanggil Garnasih yang terkenal karena rupanya yang cantik sehingga kerap memperoleh berbagai hadiah -- antara lain berupa uang seringgit -- dari para pengagumnya sehingga membuatnya mendapat julukan baru: Inggit.
Seperti juga penduduk di tepian Sungai Cikapundung lainnya, keluarga Arjipan khususnya putrinya, Inggit Garnasih, menggunakan aliran Sungai Cikapundung sebagai tempat mandi dan mencuci.
Inggit Garnasih memiliki kisah kenangan berkaitan dengan kegiatannya mandi dan mencuci di aliran sungai Cikapundung. Bukan kisah dengan Kusno atau Sukarno yang kemudian menjadi suaminya dan ceritanya mungkin telah banyak diketahui, tetapi kisahnya ini mengenai kenangannya dengan Kang Uci (Haji Sanusi).
Seperti yang diromantisasi oleh penulis Ramadhan KH dalam buku “Kuantar Ke Gerbang” (Kisah Cinta Ibu Inggit Dengan Sukarno, Penerbit Sinar Harapan, 1981), saat Inggit Garnasih mandi di Sungai Cikapundung, Kang Uci kerap memberikan hadiah berupa uang picisan yang dimasukkan ke dalam buah kawista. Kang Uci akan mengikat dengan tali buah kawista pembawa hadiah yang isinya telah dikeruk kemudian dihanyutkan dari tempat mudik ke tempat Inggit Garnasih mandi.
Kang Uci sebenarnya bukan orang baru bagi Inggit: ia adalah cinta pertama Inggit Garnasih. Meskipun keduanya kemudian baru bersatu dalam mahligai perkawinan pada pernikahan yang kedua bagi mereka, tetapi tak mengurangi fakta bahwa bagi Inggit Garnasih, Kang Uci adalah cinta pertamanya.
Inggit Garnasih memang sempat cemburu saat mengetahui Kang Uci dijodohkan dengan perempuan lain dari keluarga berada yang taraf ekonominya setara. Inggit Garnasih pun memutuskan untuk menikah dengan Nataatmadja, seorang kopral residen. Namun kemudian setelah pernikahannya dengan Nataatmadja yang hanya berusia singkat, Inggit Garnasih kembali kepada cinta pertamanya, Kang Uci.
Begitupun dengan Kang Uci yang pernikahan pertamanya kandas kemudian menikahi Inggit Garnasih. Lalu siapakah Kang Uci yang sosoknya bak peran pendukung dalam kisah cinta antara Inggit Garnasih dan Sukarno?
Nama asli Kang Uci adalah Sanusi yang lahir di Bandung pada tanggal 7 Agustus 1888 putra sulung dari sepuluh anak pasangan H. Abdulrachim (Empil) dengan Hj. Siti Rachmah (Remeh). Keluarga H. Abdulrachim termasuk dalam "rehrehan urang pasar" (keluarga Pasar Baru) dan tercantun dalam “Himpunan Silsilah (Stamboom) Keluarga Pasar Baru Bandung” (1971).
Dari informasi pada buku panduan telepon jarak jauh (interlokal) untuk Jawa-Madura yang diterbitkan oleh Perusahaan Telepon milik pemerintah edisi Januari 1930 dan buku prospektus tanah di kota Bandung yang dikeluarkan tahun 1931 oleh Dinas Pertanahan kota Bandung, diketahui bahwa usaha keluarga H. Abdurachim adalah perdagangan kayu (houthandel).
H. Abdulrahim en Zonen houthandel beralamat di Kebondjati, Pasir Kalikiweg No. 6 yang menjual bahan baku kayu khususnya jenis kayu meranti yang direkomendasikan untuk pekerjaan konstruksi ringan dan kontruksi beton. Selain itu perusahaan kayu H. Abdulrachim juga melayani pembuatan kusen kayu, pintu dan jendela.
Pada tahun 1930 dan 1931 perusahaan kayu H. Abdulrachim telah berada pada tangan anaknya. H. Abdulrachim wafat pada tanggal 14 Juli 1925. Salah satu penerus usaha kayu H. Abdulrachim adalah anak tertuanya, H. Sanusi. Menurut penuturan putra bungsu H. Sanusi, dalam wawancara pada akhir tahun 2019, usaha ayahnya adalah membuat mebel kayu.
Sedangkan dalam buku “Kuantar Ke Gerbang” menurut Inggit Garnasih, usaha milik H. Sanusi adalah berjualan kayu, bahan bagunan, dan bahkan memiliki gudang beras. Intinya H. Sanusi merupakan pengusaha sukses yang tergolong berada dan berasal dari keluarga H. Abdurachim yang juga kaya.
Perbedaan status ekonomi itulah yang awalnya membuat jalinan cinta Inggit Garnasih dengan H. Sanusi tak berakhir di pelaminan. Setelah status H. Sanusi duda dengan dua anak dan Inggit Garnasih telah menjanda, akhirnya mereka berdua menikah.
Selain sebagai pengusaha sukses, H. Sanusi kemudian ikut dalam pergerakan nasional melalui organisasi Sarekat Islam (SI) dan menjadi salah satu tokoh SI di Bandung. Pada saat penyelenggaraan NATICO SI (Kongres SI) tahun 1916 di Alun-alun Bandung, Inggit Garnasih, istri H. Sanusi saat itu, terpilih sebagai ketua panitia konsumsi. Peran pentingnya dalam SI ini kemudian mengantarkan H. Sanusi berkenalan dan berteman dengan H. O. S. Tjokoroaminoto, ketua umum Sarekat Islam.
Selain dikenal sebagai salah satu tokoh SI di Bandung, H. Sanusi dikenal akan kepiawaiannya bermain bola sodok atau biliar. Kemahiran H. Sanusi dalam bermain biliar membuat dirinya dikenal dengan julukan “Sanusi meja bola” seperti yang dituliskan oleh R. Moech. A. Affandie dalam bukunya “Bandoeng Baheula Djilid 1” (1969). Keterlibatannya di Sarekat Islam dan kegemarannya bermain biliar yang membawa pernikahan H. Sanusi dengan Inggit Garnasih ke jurang perpisahan.
Tahun 1921 H. Sanusi menerima surat dari H. O. S. Tjokoroaminoto yang isinya meminta bantuannya untuk mencarikan pondokan bagi Sukarno yang saat itu adalah menantunya yang baru menikah dengan putrinya, Utari. Setelah berunding dengan Inggit Garnasih akhirnya H. Sanusi menawarkan kepada H. O. S. Tjokoroaminoto agar Sukarno mondok di rumahnya di Kebonjati.
Bulan Juni 1921, Sukarno datang ke Bandung untuk melanjutkan pendidikan tingginya di Technische Hoogeschool (THS) Bandung. Selama kuliah di sekolah yang menjadi cikal bakal ITB, Sukarno tinggal bersama H. Sanusi dan Inggit Garnasih.
Menurut Inggit Garnasih, kedatangaan pemuda Sukarno hanya sebentar saja menarik perhatian H. Sanusi. Awalnya H. Sanusi banyak mengobrol berbagai hal dengan Sukarno tapi kemudian ia kembali sibuk dengan aktivitasnya sendiri. H. Sanusi kerap keluar malam selepas isya, mungkin berkunjung ke kediaman H. Adnan, kawannya, atau ke rumah bola (biliar). Hal ini seperti yang dituturkan Inggit Garnasih dan dituliskan dalam buku “Kuantar Ke Gerbang”. Sementara hubungan Inggit Garnasih dengan Sukarno semakin dekat.
Masih menurut Inggit Garnasih, sebenarnya ia telah melihat Sukarno berpidato ketika berkunjung ke Surabaya dengan H. Sanusi untuk menemui H. O. S. Tjokoroaminoto.
Kedekatan Inggit Garnasih dengan Sukarno kemudian diketahui H. Sanusi. Alih-alih menjadi murka, H. Sanusi kemudian merelakan Inggit Garnasih untuk mendampingi Sukarno. Keikhlasan H. Sanusi dituturkannya kepada Inggit Garnasih seperti yang digambarkan dalam tulisan Ramadhan KH di buku “Kuantar Ke Gerbang”:
“Terimalah dulu lamaran Kusno (Sukarno) itu. Sesudah jelas begitu, baik Akang jatuhkan talak. Tetapi jangan kemudian dipakai berdiri sendiri segala. Jadikanlah nikah dengan Kusno. Jadikanlah ia orang penting. Eulis pasti bisa mendorongnya sampai ia menjadi orang penting.”
“Akang rido, kalau Eulis menerima lamaran Kusno itu dan kalian berdua nikah. Mari kita jagokan dia, sehingga benar-benar ia nanti menjadi orang penting. Mari bantu dia sampai ia benar-benar menjadi pemimpin rakyat. Dampingi dia, bantulah dia, sampai ia benar-benar mencapai cita-citanya.”
Seperti itulah kemudian H. Sanusi melepaskan cintanya agar Inggit Garnasih kemudian bisa bersatu dengan Sukarno. Sebagai bukti rasa sayang dan perlindungan H. Sanusi kepada Inggit Garnasih, ia kemudian memberikan syarat pernikahan yang isinya Sukarno dilarang menyakiti dan menyia-nyiakan Inggit Garnasih. Jika Inggit Garnasih tersakiti, Sukarno wajib mengembalikan Inggit Garnasih kepada H. Sanusi.
Menurut penuturan Tito Asmara Hadi, perundingan antara H. Sanusi, Inggit Garnasih, dan Sukarno, yang terjadi sebelum pernikahan Inggit Garnasih dengan Sukarno, dilaksanakan di Gunung Tangkubanparahu yang dipilih agar mereka bisa merasa tenang dalam memutuskan dan menyelesaikan permasalahan di antara mereka.
Setelah berpisah dengan H. Sanusi dan selepas masa idah, Inggit Garnasih menikah dengan Sukarno di rumah orang tua Inggit Garnasih di Kampung Javaveem pada tahun 1923. Dalam pernikahannya dengan Inggit Garnasih hingga berpisah pada tahun 1943, Sukarno mewujudkan banyak impiannya seperti yang diyakini H. Sanusi pada saat merelakan Inggit Garnasih untuk mendampingi Sukarno menjadi pemimpin rakyat.
Sesuai dengan isi perjanjian pranikah antara Inggit Garnasih, Sukarno, dan H. Sanusi, ketika mereka berpisah Sukarno mengembalikan Inggit Garnasih kepada H. Sanusi. Sukarno kemudian mengantarkan Inggit Garnasih ke Bandung ke rumah H. Anda, kenalan lama Inggit Garnasih.
Di rumah H. Anda di Jalan Lengkong Besar telah menanti H. Sanusi dengan istrinya yang kemudian menerima kembali Inggit Garnasih dari Sukarno, kali ini ia menerima Inggit Garnasih sebagai adiknya.
Baca Juga: NGALEUT BANDUNG: Oerip Soemohardjo di Bandung dan Cimahi
NGALEUT BANDUNG: Riwayat Hantu Perkotaan di Bandung
NGALEUT BANDUNG: Bung Hatta di Bandung
Seperti dicatat dalam buku “Himpunan Silsilah (Stamboom) Keluarga Pasar Baru Bandung” (1971), usai perkawinannya dengan Inggit Garnasih, H. Sanusi menikah kembali sebanyak dua kali. Pernikahannya yang terakhir adalah dengan Fatimah, putri R. Sastrawinangu, Lurah di daerah Cililin yang merupakan kawan karib H. Sanusi. Konon ketika Fatimah masih kanak-kanak, ia kerap diajak ayahnya bertandang ke rumah H. Sanusi di Kebonjati.
Sebelum menikah dengan Fatimah, H. Sanusi lebih banyak mencurahkan kegiatannya dalam bidang usaha. Menurut cerita keluarga, H. Sanusi kerap berniaga hingga ke mancanegara. Hanya karena desakan keluarga besar H. Abdulrachim akhirnya H. Sanusi menikah dengan Fatimah. Dari perkawinannya dengan Fatimah yang terpaut jarak usia 24 tahun, H. Sanusi dikaruniai 10 orang anak.
Pada saat revolusi kemerdekaan, keluarga H. Sanusi yang mengungsi ke Yogyakarta berjumpa kembali dengan Sukarno yang saat itu telah menjadi Presiden Indonesia. Sukarno sempat menawarkan keluarga H. Sanusi untuk tinggal bersamanya di kediamannya. Alih-alih menerima tawaran dari Sukarno, H. Sanusi lebih memilih untuk kembali ke Bandung. Agar perjalanan keluarga H. Sanusi pulang kembali ke Bandung berjalan aman, Sukarno menugaskan pengawalan dari beberapa orang tentara.
Ketika tiba di Bandung, ternyata rumah keluarga Abdurachim telah penuh oleh sanak kerabat lain yang telah lebih dahulu kembali dari pengungsian. H. Sanusi beserta istri dan anaknya kemudian tinggal di sebuah rumah di daerah Babakan Ciamis yang letaknya berada di belakang perusahaan penerbitan A. C. Nix & Co.
Hubungan antara keluarga H. Sanusi dan Fartimah dengan Inggit Garnasih telah terjalin layaknya saudara. Fatimah kerap membawa putra-putrinya berkunjung ke rumah Inggit Garnasih di Ciateul. Pun begitu pula dengan Inggit Garnasih yang sering datang menengok keluarga H. Sanusi terutama ketika mantan suaminya itu jatuh sakit.
Memang sepulangnya H. Sanusi dari pengungsian kesehatannya terus memburuk dan akhirnya wafat pada tanggal 1 Juli 1951. Ketika H. Sanusi meninggal dunia, Iskandar Azhari, putra bungsunya baru berusia dua bulan. Nama Iskandar Azhari dan Iskandar Anshari, putra H. Sanusi yang lain, merupakan pemberian dari Sukarno.
H. Sanusi dikuburkan di komplek makam keluarga H. Abdulrachim di Astanaanyar yang letaknya tak terlampau jauh dari kediaman Inggit Garnasih.
*Tulisan kolom NGALEUT BANDUNG merupakan bagian dari kolaborasi antara www.bandungbergerak.id dan Komunitas Aleut