BIOGRAFI RADEN AYU SANGKANINGRAT (1907-1944) #11: Sajak Sunda untuk Mangkoe Nagoro VII dan Perhimpunan Istri Priyayi
Pergaulan Ayu Sangkaningrat dengan para petinggi, khususnya dengan sesama istri para pejabat sangat kentara. Terutama berkaitan dengan pemberdayaan perempuan.
Atep Kurnia
Peminat literasi dan budaya Sunda
20 Juni 2023
BandungBergerak.id - Dengan titimangsa Bandung, 24 Februari 1940, Raden Ayu Sangkaningrat menulis tujuh bait sajak Sunda berikat (guguritan) bagi Mangkoe Nagoro VII (1885-1944). Sajaknya dimuat dalam Supplement op het Triwindoe-Gedenkboek Mangkoe Nagoro VII (1940) susunan Comite voor het Triwindoe-Gedenkboek. Judul sajaknya “Poepoedjaning Balarea” yang berisi ungkapan puja-puji bagi penguasa Kadipaten Mangkunagaran antara 1916-1944 yang pada 1940 memperingati tiga windu sebagai adipati ketujuh Mangkunegaran.
Di antara baris-baris awal sajak Sangkaningrat terbaca demikian: “1. Pangabaktos abdi Goesti, wanita terah Pasoendan, njembahkeun sewoe bebendon, hing pilenggah Sri Nalendra, Goesti Mangkoe Nagara, nitih warsi tiloe windoe, njakra wati bahoe denda. 2. Kalajan weningin ati, ngiring bakti koe pandoenga, Goesti mangkon Kaprabon, ginandjar sapapaosna, moelja sareng rahardja, noe loehoeng papajoeng agoeng, pangaoeban pakoeringan. 3. Sinaksenan abdi Goesti, Goesti adil paramarta, ka saha ’ge asih bae, teu ara maliding sanak, komo para wanita, didjoeroeng malar maradjoe, ngoedag djaman kadjembaran. 4. Djabi eta aja deui, kasaksen toer karandapan, asihing Kangdjeng Goesti teh, sanes moeng somah tjangkingan, dalah noe tebih pisan, noe sareba noe natamoe, ditampi koe kabingahan.”
Artinya, 1. Hambamu, perempuan dari Tanah Sunda ini menghaturkan sembah kepada yang Mulia Raja, Goesti Mangkoe Nagoro, yang tiba saatnya tiga windu memerintah. 2. Dari lubuk hati paling dalam, hambamu ini turut mendoakan bagi Sang Raja agar senantiasa memperoleh kemuliaan dan kesejahteraan, yang agung berpayung kebesaran, menjadi pelindung hambanya. 3. Hambamu bersaksi bahwa Gusti itu Raja adil, kepada siapa pun selalu kasih, tidak pandang bulu, apalagi kepada perempuan, yang terus didorong agar maju, mengejar zaman keluasan. 4. Selain itu, hamba menyaksikan dan mengalami betapa kasihnya Gusti, bukan saja kepada rakyat bawahannya, bahkan yang jauh sekalipun, baik yang berbakti atau bertamu, diterima dengan gembira.
Sajak tersebut selain membuktikan kepiawaian Raden Ayu Sangkaningrat menulis dalam bahasa Sunda, yang membuat saya penasaran bagaimana asalnya sehingga ia bisa dekat dengan Mangkoe Nagoro VII? Setelah diselidiki, salah satu jawabannya dapat dilihat dari pertalian suaminya, R.A.A. Wiranatakoesoemah, dengan penguasa Mangkunegaran yang telah lama terjalin, terutama dalam ikatan perhimpunan para priyayi PPBB (Perhimpunan Pegawai Bestuur Bumiputera).
Mengenai hal ini antara lain terlihat dari kunjungan Wiranatakoesoemah ke Yogyakarta dan Solo pada Agustus 1924. Dalam laporan De Nieuwe Vorstenlanden (28 Agustus 1924) dan De Preanger-bode (30 Agustus 1924) dikatakan hari Selasa, bupati Bandung berangkat dari Hotel Slier. Kemarin sore ia mengunjungi Prangwadono dan malamnya menemui Pangeran Koesoemojoedho. Saat itu, Wiranatakoesoemah berpakaian haji yang megah, dan menunggu kedatangan Susuhunan.
Pertautan Wiranatakoesoemah dengan Mangkoe Nagoro VII dalam kaitannya dengan PPBB, terbaca dari penyelenggaraan kongres PPBB di Solo pada tahun 1930. Dalam De Koerier (8 Agustus 1930) dikatakan, Selasa malam, 5 Agustus 1930, di Kapatihan, ada ramah tamah peserta kongres PPBB. Saat itu pengurus pusat PPBB Wiranatakoesoemah hadir bersama Raden Ayu Sangkaningrat. Para peserta yang hadir antara lain gubernur Jawa Tengah, Mangkoe Nagoro VII, Pangeran Koesoemojoedo, Pangeran Ario Mataram sebagai wakil Susuhunan, Asisten Residen Abbenhuis, bupati dan patih Kabupaten Banyuwangi dan Wonogiri. Setelah pembukaan, acara dilanjutkan dengan pagelaran langendrian, sumbangan dari KGPAA Mangkoe Nagoro VII, yang semuanya dimainkan oleh perempuan.
Rabu pagi, 6 Agustus 1930, pertemuan digelar di Sociëteit Mangkoenegaran. Dari laporan Wiranatakoesoemah diketahui bahwa pada saat itu PPBB sudah punya anggota 3.800 orang yang tersebar di 53 afdeling. Konon, kongres ketiga PPBB akan diselenggarakan di Batavia tahun 1931 bekerja sama dengan Regentenbond (perhimpunan para bupati). Menariknya, salah satu poin yang didiskusikan hari itu adalah ihwal Openbare Leeszaal en Bibliotheek Djokja (taman bacaan dan perpustakaan Yogya) yang pada bulan Juli 1930 sudah meminjamkan 1.134 buku kepada 27 orang Eropa, 24 orang Tionghoa, dan 317 bumiputra. Pada akhir Juli, masih ada 198 buku yang ada di peminjam. Di antara koleksinya konon ada dua naskah sumbangan dari Sultan Yogya, yaitu Serat Darmosojono dan Serat Poestokorodjopoerwo.
Tugas Istri Priyayi
Dari sajak itu, saya menangkap kesan Raden Ayu Sangkaningrat sangat menghormati Mangkoe Nagoro VII karena penguasa Kadipaten Mangkunegara itu punya komitmen kuat untuk memberdayakan kalangan perempuan. Sementara dari laporan kongres PPBB kedua di Solo, sudah barang tentu mengisyaratkan pertemuan tatap muka antara Sangkaningrat dengan Mangkoe Nagoro VII. Bahkan mungkin terjadi perbincangan seputar isu-isu perempuan bumiputra.
Memang pergaulan Sangkaningrat dengan para petinggi, khususnya dengan sesama istri para pejabat sangat kentara. Terutama berkaitan dengan pemberdayaan perempuan. Misalnya, pada 11 Agustus 1932, kala Nyonya A.C. de Jonge, istri gubernur jenderal Hindia Belanda, yang dikawani Nyonya Datoek Soetan Toemenggoeng dan Raden Ayu Abdoerachman (istri bupati Meester-Cornelis), dan Prof. Dr. ten Bokkel Huinink (guru besar ilmu kedokteran anak), setelah melakukan pertemuan, berkunjung ke asrama untuk para pelajar (internaat voor studeerenden) yang dikelola oleh Sangkaningrat di Kebon Sirih (Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 12 Agustus 1932). Saat itu, Sangkaningrat masih tinggal di Batavia untuk menemani Wiranatakoesoemah yang menjadi anggota Volksraad.
Selanjutnya, pertalian antara Sangkaningrat dengan Mangkoe Nagoro VII terlihat saat pengurus pusat PPBB menyelenggarakan peringatan lustrum pertama PPBB di Solo, September 1934. Kabar awal tentang lustrum itu antara lain dimuat dalam Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie edisi 18 September 1934. Di situ disebutkan pada hari pertama, Sabtu malam, resepsi diselenggarakan di pendopo Pangeran Koesoemojoedo (anak Sunan). Hari Minggu, pukul 09.00, pengurus pusat PPBB Wiranatakoesoemah (anggota Volksraad) akan berpidato atas nama organisasi. Pada Senin malam, Raden Ayu Sangkaningrat akan menyampaikan ceramah bertajuk “Het aandeel der Prijai-vrouwen in de leiding van het Volk” (andil istri priyayi dalam kepemimpinan rakyat).
Sebagaimana tajuknya, fokus pembahasan Sangkaningrat tertuju kepada tiga hal, yaitu tugas istri priyayi, tugas domestik, tugas moral, dan tugas sosial. Memang menurutnya, tugas istri priyayi itu berada di tiga ranah, yaitu ranah rumah tangga, ranah moral, dan ranah sosial.
Pada ranah rumah tangga, sebenarnya kata Sangkaningrat pada dasarnya tidak berbeda dari para perempuan lainnya, tetapi tugas moral dan kerja sosialnya berbeda, sesuai dengan posisi suaminya. Pada ranah sosial, yang ditekankan oleh Raden Ayu Sangkaningrat adalah kesadaran bahwa perempuan priyayi, di samping suaminya, dapat meningkatkan pemeradaban dan meninggikan pengaruh pada keterlibatannya. Alhasil, perempuan priyayi dapat membantu menyebarkan gagasan kemajuan dan peradaban kepada istri priyayi yang derajatnya lebih rendah.
Sementara tugas sosial istri priyayi itu independen daripada suaminya, yakni dia harus merepresentasikan dunia perempuan bangsa bumiputra, terutama kepentingan-kepentingan sosial yang harus diwujudkan secara terorganisir; dan dia harus mengambil inisiatif pada kerja sosial yang terorganisir di semua lapangan di mana kepentingan perempuan bumiputra dan anak-anak bumiputra dirasa kurang direpresentasikan, yaitu pada bidang pendidikan, agama, perawatan, pemeliharaan atas orang-orang yang menganggur, rekreasi, industri rumahan, dan seni kerajinan (Algemeen handelsblad voor Nederlandsch-Indie, 20 September 1934; De Locomotief, 22 September 1934).
Baca Juga: BIOGRAFI RADEN AYU SANGKANINGRAT (1907-1944) #8: Menggagas Sekolah Asrama bagi Gadis Bangsawan di Binjai
BIOGRAFI RADEN AYU SANGKANINGRAT (1907-1944) #9: Anggota Komisi Sensor Film
BIOGRAFI RADEN AYU SANGKANINGRAT (1907-1944) #10: Tetirah di Eropa
Afdeling Perempuan PPBB
Keterlibatan Raden Ayu Sangkaningrat meningkat dengan dideklarasikannya afdeling perempuan PPBB (“PPBB vrouwenafdeeling”) pada Sabtu malam, 4 Januari 1936, saat berlangsungnya malam resepsi persiapan pertemuan tahunan PPBB yang keenam.
Menurut De Koerier edisi 6 Januari 1936 dan Algemeen handelsblad voor Nederlandsch-Indie edisi 9 Januari 1936, pada Sabtu malam, komite pusat kongres PPBB bertemu di pendopo Kabupaten Bandung dalam kerangka mempersiapkan rapat tahunan keenam. Di antara yang hadir malam itu antara lain residen Priangan, wali kota Bandung, A.R. Veldhuizen Weil, dr. de Vries, dr. Tobi, Prof. dr. Thierfelder, dr. Ratoe Langi, Van Sandick (Vereeniging van het Europeesch BB), De Hoog (IEV), Verboom (VC), Thamrin (Nationaal Fractie), Roep, Datoek Toemenggoeng, para anggota Volksraad dari kalangan bumiputra, dan para pamongpraja bumiputra. Setelah dibuka oleh pengurus besar PPBB, acara dilanjutkan dengan hiburan tarian Serimpi, pencak silat, dan pemutaran propaganda kesehatan dari Departemen Kesehatan.
Setelah itu, para anggota PPBB beserta istri-istrinya mengadakan rapat pembentukan afdeling perempuan. Pimpinan afdeling perempuan diserahkan kepada Raden Ayu Sangkaningrat sebagai ketua, Nyonya Datoek Toemenggoeng sebagai wakil ketua, dan Nyonya Soetardjo sebagai anggota. Konon, gagasan pendirian afdeling itu merupakan dampak dari makalah yang disampaikan Sangkaningrat pada rapat tahunan PPBB kelima, yang menegaskan ihwal tugas sosial istri priyayi.
Saat membuka pertemuan, Sangkaningrat mengucapkan sambutan dengan antara lain menggarisbawahi peran istri priyayi, yang mempunyai tempat tersendiri dalam masyarakat bumiputra. Selain tugas domestiknya, yaitu mengurus keluarga dan pendidikan anak-anak, menurut Sangkaningrat, istri priyayi dapat membaktikan dirinya bagi negeri dan masyarakatnya, misalnya dengan membantu para suaminya dalam kerja yang komprehensif. Apalagi di masa sukar seperti itu, di mana kebutuhan materi dan spiritual sangat diperlukan bagi semua lingkaran masyarakat, terutama di kelas bawah, peran istri priyayi sangat dibutuhkan.
Kata Sangkaningrat, bila sumber daya tersedia, maka istri priyayi dapat melalukan kerja sama dengan perhimpunan-perhimpunan yang memiliki tugas yang sama; mendirikan taman-taman bacaan dan kursus-kursus di bidang pengurusan anak-anak, perawatan orang sakit, kerajinan tangan, kerja rumahan, dan lain-lain; menyebarkan tulisan-tulisan; dan lain-lain.
Setelah terbentuk, organisasi tersebut pernah diundang oleh Nyonya De Jonge.ke Istana Rijswijk di Weltevreden pada 14 September 1936 dalam rangka memberikan ucapan selamat atas pertunangan Putri Juliana. Namun, Sangkaningrat saat itu sakit, dan afdeling perempuan PPBB diwakili oleh sekretarisnya, Nyonya Datoek Toemenggoeng (Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 14 September 1936). Bahkan organisasi tersebut, yang terbentuk dari cabang Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur, mengumpulkan dana bagi persembahan pernikahan Putri Juliana (De Koerier, 7 Oktober 1936).
Selanjutnya, barangkali karena kondisi kesehatannya tidak memungkinkan, tampuk afdeling perempuan PPBB diserahkan dari Raden Ayu Sangkaningrat kepada Nyonya Datoek Toemengoeng pada kongres keenam PPBB. Susunan lengkap organisasi afdeling perempuan PPBB di masa Sangkaningrat adalah sebagai berikut: Sangkaningrat (ketua), Nyonya Datoek Toemenggoeng (sekretaris), Nyonya Soetardjo (bendahara), dan para komisarisnya Nyonya R.A. Soerianataatmadja, Nyonya R.A. Danoekoesoemo, Nyonya R.A. Kolopaking Poerbonegoro, Nyonya R.A. Prawotoadikoesoemo dan Nyonya R.A. Hanina (Algemeen handelsblad voor Nederlandsch-Indie, 20 April 1937).
Meski demikian, Sangkaningrat tetap terlibat dalam organisasi afdeling perempuan PPBB. Ia antara lain bersama pengurus harian organisasi itu pada 1 Juni 1937 pagi menyambangi Nyonya Tjarda van Starkenborgh di Istana Cipanas. Keperluannya agar istri gubernur jenderal Hindia Belanda tersebut berkenan untuk menjadi pelindung organisasi afdeling perempuan PPBB (De Indische Courant, 1 Juni 1937).