• Berita
  • Keterwakilan Perempuan di Ranah Politik Kota Bandung Jauh Panggang dari Api

Keterwakilan Perempuan di Ranah Politik Kota Bandung Jauh Panggang dari Api

Kuota 30 persen bagi perempuan di kursi parlemen bukanlah hadiah atau jatah. Jika mengacu pada kesetaraan gender, mestinya kuota itu 50 persen.

Baliho calon legislatif perempuan yang terlihat dari Jembatan Pasupati, Bandung, Minggu (4/6/2023). (Foto: Virliya Putricantika/BandungBergerak.id)

Penulis Iman Herdiana20 Agustus 2023


BandungBergerak.idKeterwakilan perempuan di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Bandung masih jauh dari amanat undang-undang, yakni setidaknya 30 persen dari total jumlah kursi yang tersedia. Lebih dari itu, kebijakan-kebijakan publik juga belum banyak yang berlandaskan pada kesetaraan gender. 

Di samping itu, banyak partai politik yang miskin kader perempuan. Kalaupun ada, mereka belum tentu mempunyai kemampuan yang bisa diandalkan dan layak dipilih oleh para pemilih. Sebaliknya, masyarakat melihat banyak perempuan yang memiliki kemampuan untuk menjadi wakil rakyat tapi mereka menolak dicalonkan. 

Data dari siaran pers Pemkot Bandung yang dikutip Sabtu (19/8/2023), saat ini politikus perempuan di DPRD Kota Bandung baru 18 persen atau 9 orang perempuan. Jumlah ini masih kekurangan 12 persen lagi untuk memenuhi batas minimal 30 persen. 

Keterwakilan perempuan di parlemen menjadi sangat signifikan bagi Kota Bandung yang jumlah penduduknya kebanyakan perempuan, yakni 50,53 persen, berdasarkan data Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil (Disdukcapil) 2023. 

Ketua DPC Kaukus Perempuan Politik Indonesia (KPPI) Kota Bandung Rieke Suryaningsih mengatakan, keterwakilan perempuan adalah fondasi penting dalam masyarakat yang inklusif dan berkeadilan. 

Meski begitu, bagi Rieke mengatakan, masih banyak kebijakan yang jauh dari perspektif perempuan. Seperti rancangan undang-undang pekerja rumah tangga yang belum kunjung disahkan atau peraturan turunan undang-undang pencegahan kekerasan seksual. 

"Ketika jumlah perempuan dalam sebuah organisasi kurang dari 15 persen, ada kecenderungan mereka akan menghindari penanganan isu gender," kata Rieke Suryaningsih, pada acara Pendidikan Politik Bagi Perempuan, Jumat (18/8/2023). 

Ia memaparkan, secara nasional jumlah perempuan dalam legislatif terus memperlihatkan kenaikan. Dari total 575 anggota DPR RI periode tahun 2019-2024, sebanyak 20,52 persen atau sebanyak 118 orang adalah kursi yang ditempati oleh perempuan. Jumlah ini meningkat apabila dibandingkan dengan dua periode pemilu sebelumnya yang tidak lebih dari 18 persen dari total kursi. 

Kuota 30 Persen Keterwakilan Perempuan, Hadiah atau Tantangan? 

Dosen Jurusan Ilmu Pemerintahan FISIPOL UGM, Yogyakarta, Ratnawati mengatakan peminggiran hak-hak perempuan di Indonesia terjadi karena sistem gender yang sangat patriarkis yang menindas perempuan. Mereka mendapat stigma bahwa perempuan cukup dalam posisi domestik.

Secara teori, lanjut Ratnawati, diperlukan sistem yang menciptakan masyarakat baru yang menempatkan perempuan dan laki-laki setara di berbagai tingkat keberadaannya. Hal ini dapat tercapai apabila peran perempuan dan laki-laki dalam posisi seimbang.

“Ketika keseimbangan itu terjadi, peluang untuk saling menindas akan menjadi lebih kecil. Begitu pula ketika jumlah perempuan dan laki-laki dalam parlemen atau pun dalam pemerintahan secara umum dalam posisi yang equal, maka kepentingan perempuan tidak akan banyak dipinggirkan,” tulis Ratnawati dalam artikel “Potret Kuota Perempuan di Parlemen” pada Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Volume 7 nomor 3 Maret 2004, diakses Sabtu (19/8/2023).

Farzana Bari dalam artikel Perempuan di Ranah Politik memaparkan kesenjangan keterlibatan perempuan di bidang politik dapat dilihat setidaknya sejak sejak pemilu 1955, ketika perempuan hanya menduduki 5,9 persen kursi di parlemen. Meskipun telah ada kecenderungan meningkat dalam hal keterwakilan perempuan sejak tahun 1971, ada beberapa pengecualian, termasuk pada Pemilu 1977 ketika jumlah perempuan terpilih melorot dari 7,8 persen menjadi 6,3 persen jika dibandingkan dengan Pemilu sebelumnya (1971).

Pada pemilu 1999 ketika Orde Baru tumbang, Farzana Bari mengungkapkan, keterwakilan perempuan hanya 9 persen. Angka ini turun dibandingkan dengan pemilu sebelumnya sebesar 10,8 persen pada tahun 1997. Meskipun demikian peningkatan keterwakilan perempuan di DPR RI pada 2004 naik 22,6 persen, kemudian naik kembali 26,5 persen pada pemilu 2009.

Dari data tersebut dapat dipastikan terjadi timpangnya peran perempuan dalam jabatan-jabatan publik. Hal ini otomatis akan melahirkan keputusan atau kebijakan yang sangat maskulin dan kurang berperspektif gender.

Baca Juga: Setelah Polisi Mengepung Kampung Kami
Dari Parit Milisi Jerman ke Dago Elos
Mengenang si Pelantun Revolusi di Awiligar

Spanduk partai politik di tengah banjir yang menggenangi Kampung Bojongasih, Kecamatan Dayeuhkolot, Kabupaten Bandung, Kamis (27/4/2023). (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.di)
Spanduk partai politik di tengah banjir yang menggenangi Kampung Bojongasih, Kecamatan Dayeuhkolot, Kabupaten Bandung, Kamis (27/4/2023). (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.di)

Pendidikan Politik 

Menurut Ratnawati, perempuan lebih banyak sebagai penikmat keputuasan. Padahal keputusan yang dihasilkan sering kali sangat bias gender, tidak memperhatikan kepentingan kaum perempuan, tidak membuat perempuan semakin berkembang. 

“Dalam jangka panjang, hal ini mengakibatkan posisi perempuan senantiasa berada pada posisi marginal,” tulis Ratnawati. 

Tahun 2003 menjadi angin segar bagi perempuan dengan lahirnya Undang-undang tentang Pemilu. Dalam UU No 12 tahun 2003 Pasal 65 (1) disebutkan setiap partai politik peserta pemilu dapat mengajukan calon anggota DPR, DPRD provinsi, kabupaten, kota dengan memperhatikan keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30 persen. Ratnawati mencatat, amanat undang-undang ini kemudian populer dengan istilah “kuota perempuan 30 persen”. 

Namun pada awal kelahiran UU tersebut, kaum perempuan sendiri berbeda sikap. Ratnawati mencatat setidaknya terdapat empat kelompok sikap. Pertama, mereka yang optimis nisa memenuhi kuota. Kedua, cukup merasa gembira kendati tidak puas. Ketiga, kecewa dan berduka cita karena sejak awal memang tidak setuju dengan perjuangan memasukkan kuota ke dalam undang-undang. Keempat, tidak peduli.

Pada waktu itu sikap Presiden Megawati yang notabene seorang perempuan, dapat digolongkan ke dalam kelompok ketiga. Menurut Ratnawati, Megawati bahkan sempat menentang perjuangan memasukkan kuota 30 persen perempuan ke dalam Undang-undang. Dalam pidatonya di hadapan ribuan kader PDI Perjuangan, Megawati menganggap bahwa kuota perempuan adalah ibarat permintaan jatah yang mesti diberikan karena rasa belas kasihan, sedangkan jabatan politik adalah jabatan yang harus direbut, bukan diberikan atas pertimbangan belas kasihan. 

“Ditinjau secara yuridis, kuota untuk perempuan sesungguhnya bukanlah jatah karena faktor belas kasihan, tapi hak yang pemenuhannya dapat dituntut dan dilindungi oleh konstitusi. Pasal 28 ayat (2) UUD 45 secara tegas menyatakan bahwa setiap orang berhak mendapatkan kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan,” terang Ratnawati. 

Selain itu, Ratnawati mengingatkan bahwa kuota 30 persen bukanlah hadiah yang menggirangkan. Kuota ini justru tantangan yang membawa konsekuensi dan menuntut tanggung jawab moral. Wakil perempuan di legislatif yang semula sedikit, diharapkan berubah menjadi 30 persen. Bagi partai-partai politik, kuota 30 persen juga tantangan tersendiri. 

“Menghitung perempuan yang aktif di partai politik saja sudah cukup hanya dengan menggunakan jari-jari di kedua tangan,” katanya. 

Pertanyaannya, tulis Ratnawati, sudah siapkah dan sudah mampukah sumber daya perempuan kita dengan kapasitas yang sesuai dengan harapan masyarakt untuk menjadi wakil rakyat? Dengan adanya kuota tersebut justru muncul kekhawatiran, antara lain diabaikannya faktor kualitas dan faktor fair play, rekrutmen calon wakil rakyat dilakuakn dengan cara tidak wajar dan mengabaikan etika. 

Kekhawatiran lain, muncul calon-calon dengan status ex-officio, yaitu pengkarbitan para istri atau anak perempuan dari para laki-laki yang pejabat atau terpandang untuk mengisi kuota. Hal semacam ini pernah terjadi pada masa Orde Baru, meskipun dengan dalih bukan untuk memenuhi kuota. Pada akhirnya cara ini hanya menghasilkan politikus yang tidak berasal dari perjuangan, melainkan justru dari elite politik tertentu yang memanfaatkan aji mumpung dengan adanya kuota itu. 

“Maka para aktivis perempuan sebaiknya memandang kuota 30 persen dalam parlemen sebagai suatu proses pendidikan politik,” tulis Ratnawati. 

Pendidikan poiitik tidak hanya berkaitan dengan hal-hal teknis kepemiluan. Pendidikan politik berkaitan dengan pengetahuan dasar atau filsafat di balik hakekat pemilu, antara lain apa itu pemilu dan mengapa pemilu diadakan. 

Menurut Ratnawati, pemilu diadakan tak sekadar sebagai ritual demokrasi, tetapi mengangkut hubungan antara hak asasi manusia dan hak memilih. Bahwa setiap warga negara memiliki peran, tanggung jawab, dan hak-hak memilih. Pemilu mempunyai implikasi terhadap kualitas penyelenggaraan negara dan terciptanya good gobernance di measa depan. 

Undang-undang tak Bertaring

Undang-undang Pemilu (UU No.12/2003) memang mengamanatkan kuota 30 persen untuk perempuan di parlemen. Namun amanat ini masih bersifat longgar karena bersifat tidak wajib. Farzana Bari menjelaskan, undang-undang ini buah dari periode pasca-Orde Baru dengan tujuan memperbaiki ketidakseimbangan gender di lembaga legislatif tingkat nasional dan lokal.

Pasal 65 dari undang-undang tersebut mengatur bahwa setiap partai politik harus setidaknya memiliki 30 persen calon anggota perempuan. Namun kuota ini dinilai belum cukup. Dibutuhkan gerakan lebih lanjut agar alokasi kuota 30 persen bagi perempuan dalam daftar calon legislatif menjadi kewajiban bagi partai politik mereka.

“Kekurangan dalam UU ini adalah tidak adanya sangsi bagi partai politik yang tidak mematuhinya. Sebagai hasil, enam dari tigapuluh delapan partai yang ikut serta dalam pemilu 2009 gagal menominasikan 30 persen calon legislatif perempuan dalam daftar calon anggota legislatif yang mereka usulkan,” tulis Farzana Bari.

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//