Dulu Partai Politik Bertarung Secara Ideologis, Sekarang Menggunakan Segala Macam Cara
Banyak yang setuju kalau Pemilu 1955 adalah pemilu paling demokratis sepanjang berdirinya republik ini. Jauh berbeda dengan partai politik di pemilu sekarang.
Penulis Muhammad Akmal Firmansyah27 Februari 2024
BandungBergerak.id - Indonesia memerdekakan diri secara formal melalui proklamasi kemerdekaan tahun 1945. Sepuluh tahun berikutnya republik baru ini melaksanakan pemilihan umum pertamanya (Pemilu 1955). Kota Bandung sebagai kota yang melahirkan elite intelektual memiliki peran penting dalam peta politik nasional.
Pemilu pertama dilaksanakan untuk memilih Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) 29 September 1955 dan kedua diadakan untuk memilih anggota badan Konstituante pada 15 Desember 1955. “Dua kali pencoblosannya ke DPR dan konstituante untuk menggurus undang-undang 1945,” kata Lektor Kepala Fakultas Ilmu Budaya Universitas Padjadjaran (Unpad) Widyo Nugrahanto.
Widyo berbicara dalam acara Ngobrol di Museum Pemilu Tahun 1955 di Kota Bandung yang diadakan oleh Dinas Kebudayaan dan Parawisata (Disbudpar) Bandung, di Museum Sejarah Kota Bandung, Jumat, 23 Februari 2024.
Pemilu anggota DPR tahun 1955 menghasilkan 257 wakil rakyat dengan 1 orang mewakili 300.000 penduduk, sementara badan konstituante beranggotakan 542 orang. Menurut Widyo, Pemilu 1955 sendiri sudah direncanakan sejak Kabinet Perdana Mentri Ali Sastroamidjojo dan Wakil Perdana Menteri Wongsonagoro dengan dasar hukum Undang-Undang no.7 tahun 1953. Namun, pelaksanaannya dimulai di era Perdana Menteri Burnahuddin Harahap.
Sebelum Komisi Pemilihan Umum (KPU) berdiri, pelaksanaan pemilu dilakukan oleh Panitia Pemilihan Indonesia (PPI). Tidak hanya rakyat sipil yang memilih, aparat kepolisian dan tentara juga memiliki partai, bahkan ada yang tampil perseorangan.
“TNI dan Polri ikut pemilu dan membuat partai untuk menampung asprirasi masyarakat,” sebut Widyo.
Persatuan Pegawai Polisi RI (P3RI) bertarung dalam gelangan panggung politik bersama partai lainnya seperti Partai Katolik, Partai Kristen Indonesia, Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia, Partai Rakyat Nasional, Partai Rakyat Indonesia, Gerakan Pembela Pancasila, Partai Buruh, Murba, Partai Rakyat Nasional.
Kursi parlemen dikuasai oleh empat partai besar pada waktu itu, antara lainnya PNI, Masyumi, NU, dan PKI. Kursi parlemen terendah dengan 1 kursi didapatkan oleh Baperki, Persatuan Indonesia Raya, Angkatan Comunis Muda (Acoma), dan Soedjono Prawirosoedarso dari perseorangan.
Selain konstelasi politik yang begitu beragam, Pemilu 1955 melahirkan budaya politik, aturan tak tertulis yang dijalankan dan dilakukan oleh warga negara. Lawan dari budaya politik ini adalah sturktur politik, yakni aturan ditulis dengan hukum yang jelas.
Widyo bercerita, Pemilu 1955 memiliki warna budaya politik yang kental. Meminjam analisis Herbert Feith, Widyo mengatakan pada Pemilu 1955 muncul politik aliran ideologis seperti nasionalisme radikal, sosialisme demokrat, islamisme, dan bahkan tradisionalisme Jawa.
Hal itu menjelaskan pertanyaan mengapa begitu banyak partai-partai dengan ragam ideologi pada tahun 1955. Sektarian atau politik aliran inilah, lanjut Widyo, yang mewarnai dinamika perpolitik di Indonesia di masa awal, di mana priyayi memilih PNI, santri perkotaan memilih Masyumi, santri perdesaan memilih NU, dan abangan cenderung memilih PKI.
Bandung Dalam Peta Politik 1955
Santri sebagai basis masa kuat di perkotaan dan perdesaan berpengaruh juga di Bandung. Dosen STAI Persis Garut Pepen Irpan Fauzan mengatakan, Bandung menjadi minatur politik nasional. Di kota ini tumbuh berbagai aliran politik mulai dari komunis, nasionalis, hingga berbasis agama, Masyumi sebagai ejawantah Muhamaddiyah, Persis, dan PUI.
Di skala nasional Partai Nasional Indonesia (PNI) yang didirikan oleh Sukarno meraih suara paling banyak. Namun Pepen menyatakan, dalam skala lokal Jawa Barat, khususnya Bandung partai berbasis agama mampu meraih suara terbanyak.
“Karena tidak hanya didukung oleh elite intelektual di perkotaan, tapi didukung oleh tradisional di perdesaan,” terang Pepen.
Sejarawan Persis ini juga menjelaskan munculnya pemilu di Indonesia yang dikarenakan di awal abad ke-20 banyak para pelajar yang mempelajari ide demokrasi dari barat. “Ide itu dicerna oleh kaum pelajar, dilokalisasi, dan praktiknya muncul pada 1950-an,” jelasnya.
Pemilu 1955 disebut-sebut paling demokratis. Pemilu 1955 tak bisa disamakan dengan Pemilu 2024 yang baru saja usah. Kehadiran partai-partai politik di Pemilu 2024 minim dengan semangat ideologis. Partai yang ada hanyalah partai politik identitas yang tidak hadir secara ideologis.
Dwi Winurti menjelaskan mengapa Pemilu 1955 disebut-sebut paling demokratis. Sebab pada saat itu para tokoh partai politik belum memiliki kunci kekuasaan untuk mempengaruhi lajur demokrasi.
“Berbanding terbalik dengan masa saat ini dan menjadi persoalan pelaksanaan pemilu dapat dengan mudah dicampur tangani oleh para penguasa untuk mengatur perolehan suara dalam pemilihan umum,” tulis Dwi Winurti di Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Vol. VIII, No. 2, Desember 2020.
Dwi menyebut pemilu sekarang dilakukan dengan segala macam cara, mulai dari politik uang, mobilisasi pemilih agar memilih partai penguasa, manipulasi data, serta menyuap penyelenggara pemilu untuk memenangkan calon yang mereka usung.
Baca Juga: Menukas Politik Identitas, Kritik pada Partai Politik dan Pemuka Agama
Partai-partai Baru Berhaluan Kanan Berebut Calon Pemilih di Bandung Raya
Tak Ada Partai Politik yang Berkampanye Melindungi Hak-hak Digital Kelompok Minoritas
Partai Politik di Jawa Barat
Bila Masyumi berhasil meraih suara 26,5 persen di Jawa Barat pada Pemilu 1955, jangan lupa partai berbasis Islam lainnya Nahdatul Ulama yang keluar dari Masyumi mampu meraih suara dengan 9,7 persen.
Partai yang menjadi representatif kaum tradisional muslim ini berada di tubuh Masyumi awal mulanya, namun keluar pada tahun 1952. Hengkangnya NU disebabkan konflik di internal Masyumi berkaitan dengan perebutan jabatan Menteri Agama dengan kelompok Islam modernis. Ulama-ulama NU banyak yang merasa terpinggirkan saat aktif di Masyumi.
Kemudian sejak berdiri sebagai partai politik NU melakukan gebrakan kekuatan politik utama. “Gerakan politik NU melahirkan gebrakan pada peta politik Pemilu 1955. Secara nasional NU meraih suara terbanyak ketiga, yakni 6.955.141 suara atau 18,41 persen. Ia hanya terpaut sekitar 3 persen dengan Masyumi di urutan kedua nasional (7.903.886 atau 20,92 persen),” sebagaimana diberitakan BandungBergerak.id.
Suara terbanyak didapatkan oleh PNI dengan 8.434.653 suara. Adapun Partai Komunis Indonesia meraih 6.179.914 suara. Perbedaan ideologis yang tajam membuat partai-partai politik tahun 1955 saling berseteru. Masyumi sebagai partai muslim modern dan intelektual kemudian dibubarkan atas tuduhan subversif.
*Kawan-kawan dapat menikmati karya-karya lain Muhammad Akmal Firmansyah, atau juga artikel-artikel lain tentang Partai Politik