• Opini
  • Merayakan sebagai Warga Negara Indonesia Secara Gegap Gempita

Merayakan sebagai Warga Negara Indonesia Secara Gegap Gempita

Bukankah patut disyukuri dengan kondisi bangsa kita ini? Pemerintah baik hati, pendidikan merata dan murah, ormas keagamaan, dan akademisi yang independen.

Salehudin Fauzi

Staf pengajar di Fakultas Ilmu Budaya Unpad

Ilustrasi. Pemilu merupakan ajang demokrasi untuk menentukan pemimpin. (ilustrasi: Bawana Helga Firmansyah/BandungBergerak.id)

28 Juni 2024


BandungBergerak.idHidup dan tinggal di Indonesia adalah salah satu nikmat yang patut disyukuri dan dirayakan sedemikian rupa dengan gegap gempita. Iklim tropis, berkah kekayaan alam yang luar biasa, masyarakatnya yang ramah, serta pemerintah yang mencintai rakyatnya.

Semenjak mengikuti sebuah seminar tentang kebangsaan dan nasionalisme, rasa-rasanya kecintaan saya pada negara ini melebihi apa pun. Bukan hanya cinta bangsa dan negara, presiden dan seluruh aparatnya; mereka perlu dicintai dan didukung sepenuh hati demi kemajuan bangsa ini. Demokrasi memang juga kadang dirasa menjadi tantangan karena sering kali satu-dua orang bersuara ingin mengacaukan negara atau malah mencaci pemerintah. Difitnahnya pemerintah tak becus urus negara.

Maka, jika ada orang berani menghina negara dan aparat pemerintah, hati ini ikut panas. Sepertinya pantas didaratkan tinjuan di mukanya yang songong dan tak tahu cinta tanah air itu. Sudah dipastikan orang macam itu perlu pembinaan. Besar kemungkinan orang macam itu sudah kena pengaruh transnasional. Terlalu banyak baca-baca buku kritis.

Memang urusan baik ada saja godaan dan ujiannya. Apalagi mengurus negara. Sering kali datang silih berganti bermacam-macam syak wasangka. Difitnahnya, presiden mengakali MK demi memuluskan jalan anaknya menjadi wakil presiden, misalnya. Aduh, sungguh tak tahu di adab. Hal itu, pasti karena presiden telah bepikir panjang perihal nasib negara. Negara haruslah dipimpin orang-orang kompeten. Maka apa salahnya jika presiden kurang percaya kepada pihak lain yang dirasa kurang kompeten? Apa salahnya merasa anak sendiri lebih kompeten dibanding yang lain? Bukankah kebanyakan bapak-bapak juga begitu? Selalu merasa anaknya lebih unggul dibanding yang lain. Atau setidak-tidaknya tidak sudi jika anak kita kalah dalam kompetisi.

Belum habis fitnah tentang bagaimana presiden mengakali konstitusi, terbitlah kegaduhan Putusan MA tentang batas usia calon kepala daerah. Dikait-kaitkannya dengan potensi pencalonan Kaesang sebagai gubernur. Ya ampun, apa susahnya sih berprasangka semua ini sebagai kebetulan semata? Di saat MA mengabulkan uji materiil untuk menambah tafsir soal syarat usia calon kepala daerah menjadi 30 tahun (untuk calon gubernur dan wakil gubernur), kebetulan saja akhir tahun ini Kaesang juga genap berumur 30 tahun. Tentu bukan salah Kaesang jika di akhir tahun ini berusia 30 tahun. Lagian orang-orang yang gaduh tadi pasti belum menonton kanal you tube Total Politik. Sebagaimana kata dua pemuda pembawa acara yang gagah itu, jika pun ini bagian dari dinasti politik tentu ini  bagian dari Asian Value dan Human Rights. Sungguh terdengar manis.

Pemerintah memang seperti ditakdirkan untuk selalu tabah menghadapi gunjingan. Maksud hati ingin membantu rakyat untuk memiliki hunian melalui Tapera (Tabungan Perumahan Rakyat) apa daya kecaman yang didapat. Banyak yang bilang kenaikan gaji yang tak seberapa --dibanding inflasi-- sudah dipotong sana-sini, harus pula kena potongan Tapera. Apakah tidak kurang-kurang penderitaan rakyat? Dapat dipastikan ungkapan itu keluar dari rakyat yang tak makan bangku sekolah. Mereka tidak tahu sedemikian totalitas pemerintah memikirkan rakyatnya. Sampai-sampai rumah pun dipikirkan.

Baca Juga: RISET UNPAR: Populisme Pragmatis pada Politik Indonesia dalam Rivalitas Jokowi-Prabowo
Artidjo Alkostar dan para Nakes Masuk dalam Daftar Penerima Tanda Jasa dan Kehormatan dari Presiden Jokowi
Bawa-bawa Jokowi, Alat Peraga Kampanye PSI Bertebaran di Tiang Listrik, PJU, dan Pohon di Kota Bandung

Pemerintah khawatir betul rakyatnya terlunta-lunta tak memiliki tempat berteduh. Tapi ada juga teman yang berseloroh; kalau-kalau benar prihatin memikirkan rakyat yang tak memiliki rumah, lantas kenapa di sebagian tempat ada masyarakat yang tempat tinggalnya justru digusur? Warga Tamansari? Masyarakat adat sekitar IKN? Warga Kampung Bayam? Dan seterusnya dan seterusnya? Terus terang saja diberondong pertanyaan macam ini Menteri Basuki juga bisa semaput. Lagian tidak baik, kawan, terlalu banyak bertanya. Sudahlah percaya saja pada pemerintah, sudah pasti atau insyaallah semua demi kebaikan rakyat. Tidak mungkin pemerintah mendahulukan kepentingan oligarki apalagi keluarga sendiri. Lupakah kalian pada slogan Revolusi Mental? Revolusi mental tak mungkin berlaku macam Orde Baru.

Perihal dulu ada lembaga yang menghimpun dana tua semisal Asabri dan Jiwasraya yang dikorupsi, itu urusan lain. Oknum, pasti oknum. Tolong jangan bersuudzon menjadi ladang korupsi atau semacam bancakan. Sungguh prasangka yang tidak baik. Lagi pula bukankah kita bangsa pemaaf dan pelupa? Mari maafkan dan lupakan saja yang sudah-sudah itu sebagaimana kita juga sudah lupa sama kasus Century dan BLBI.

Mulut iseng akan selalu ada demi melunturkan tekad mulia pemerintah kita. Walhasil niat baik Jokowi memberikan izin pengelolaan tambang bagi ormas keagamaan tak luput dari kecaman. Berbagai tuduhan berhamburan; kontrak politiklah, agar tunduklah, dan lah-lah lainnya. Alih-alih memberikan izin pertambangan, sebuah industri ekstraktif yang merusak lingkungan dan memperburuk krisis iklim, kenapa tidak mendorong ormas keagamaan pada pengelolaan energi terbarukan?

Begitu kurang lebih opini di sebuah harian media massa. Barangkali mereka tidak tahu keuntungan dari dunia pertambangan itu menggiurkan. Masalah kerusakan lingkungan dan krisis iklim yang terus terjadi dan makin parah itu mah urusan belakangan. Konon, harga kerusakan alam lebih besar ketimbang keuntungan jangka pendek pertambangan. Kawan percayalah jika ada yang berkata seperti ini pasti kena pengaruh buku Living in The End Timesnya Slavoj Zizek. Terlalu khawatir pada kerusakan alam juga tidak baik. Musibah alam tentu sudah ada garis takdinya. Lagi pula PBNU sebagai salah satu ormas keagamaan yang akan mendapatkan izin tersebut berjanji akan mengelola pertambangan yang ramah lingkungan. Masalah tambang justru bertolak belakang dengan hasil bahtsul masail Muktamar NU ke-33 itu bukan urusan kita.

Wahai kawan mari kita renungkan. Bukankah patut disyukuri sedalam-dalamnya kondisi bangsa kita ini? Pemerintah baik hati, keadilan dan kepastian hukum yang mudah didapat, pendidikan merata dan semakin murah, para pengusaha bersungguh-sungguh berfokus pada padat karya serta memperhatikan keberlanjutan lingkungan, ormas keagamaan dan akademisi yang senantiasa independen mengingatkan pemerintah, dan rakyat kita yang semakin hari semakin pintar saja. Sungguh negara yang nyaris sempurna.

*Kawan-kawan yang baik bisa membaca tulisan lain dari Salehudin Fauzi atau esai-esai lain tentang Politik

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//