• Kampus
  • Mendeteksi Stunting dengan Tikar Buatan Peneliti UGM

Mendeteksi Stunting dengan Tikar Buatan Peneliti UGM

Selain menciptakan alat ukur mendeteksi dini stunting, peneliti UGM juga mengembangkan penelitian telur alfalfa yang berfungsi memberikan asupan gizi pada anak.

Ilustrasi alat ukur stunting. (Dok. UGM)

Penulis Iman Herdiana24 Desember 2021


BandungBergerak.id - Riset membuktikan bahwa masalah stunting di Indonesia perlu perhatian khusus. Salah satu kunci dalam mengatasi stunting adalah kecepatan deteksi dini, yang umumnya dilakukan oleh kader Posyandu. Masalahnya, deteksi dini stunting di Indonesia masih menghadapi sejumlah kendala. Belum semua kader Posyandu mampu melakukan deteksi dini stunting. Selain itu, tidak semua daerah memiliki alat ukur panjang badan yang valid.

Banyak alat ukur panjang badan yang digunakan dibuat sendiri secara swadaya oleh masyarakat dan belum teruji validitasnya. Pada masa pandemi Covid-19, kondisi ini semakin parah karena banyak posyandu harus ditutup untuk mencegah penularan sehingga sejumlah kader posyandu harus mendatangi rumah-rumah balita untuk melakukan pengukuran.

Menghadapi realitas itu, tim peneliti Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, dan Keperawatan (FK-KMK) Universitas Gadjah Mada (UGM) mengembangkan perangkat yang diberi nama Gama-Kids. Alat ini merupakan sebuah kit yang terdiri dari tikar untuk mengukur panjang badan, cakram ukur status gizi panjang badan menurut usia (PB/U), dan buku petunjuk penggunaan.

“Pengembangan GAMA-KiDS tidak lepas dari isu stunting yang telah menjadi spotlight sejak beberapa tahun belakangan, bahkan pada masa pandemi COVID-19,” terang Siti Helmyati, mengutip laman resmi UGM, Jumat (24/12/2021).

Siti menerangkan, stunting merupakan kondisi tinggi atau panjang badan anak yang kurang dari 2 standar deviasi dari rerata tinggi atau panjang badan kelompok usianya. Stunting dapat berdampak pada penurunan kemampuan kognitif, sistem imun yang lemah, dan perkembangan emosional yang kurang.

“Apabila seorang anak stunting tidak segera dilakukan upaya perbaikan status gizi, di masa dewasa ia tidak akan menjadi orang yang produktif, mudah sakit, dan menjadi beban baik bagi dirinya sendiri, keluarga, dan negara,” terangnya.

Gama-Kids pertama kali dikembangkan pada tahun 2019 dan diteliti lebih lanjut pada tahun 2020 dan 2021 melalui pendanaan dari Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi, dan diuji coba pada Posyandu di Yogyakarta dan Aceh.

Sebelum diberikan kepada kader Posyandu, tim peneliti terlebih dahulu melakukan expert judgement, suatu tahapan penelitian dengan melakukan wawancara pada beberapa pakar di bidang antropometri dan pengembangan media promosi kesehatan.

Alat ini memiliki karakteristik portable, aman, dan ramah anak. Ia terdiri dari tikar panjang badan dengan panjang 100 cm dan ketelitian 0,1 cm serta desain yang menarik bagi anak.

“Desain alat juga dipastikan tidak terdapat ujung yang tajam sehingga aman bagi anak. Selain itu, terdapat cakram ukur status gizi yang didesain khusus untuk anak usia 0-24 bulan,” papar Siti.

Pengembangan Gama-Kids masih dilakukan hingga saat ini, termasuk melalui uji coba di berbagai Posyandu di Indonesia serta pengembangan desain alat dengan bantuan tim peneliti di lingkungan Universitas Gadjah Mada.

Perangkat ini diharapkan dapat dimanfaatkan untuk mendukung upaya pemerintah dalam menurunkan angka stunting. Di saat berbagai Posyandu kesulitan dalam memperoleh alat ukur panjang badan yang valid, Gama-Kids diharapkan dapat menjadi salah satu solusi, tidak hanya membantu kader mengukur panjang badan, namun juga memudahkan kader Posyandu melakukan deteksi dini stunting.

Stunting Berpengaruh pada Masa Depan Bangsa

Angka stunting di Indonesia masih cukup tinggi. Hal ini tentu menjadi perhatian banyak pihak, sebab berbicara stunting tidak hanya bicara soal kesehatan orang per orang tetapi berkaitan dengan generasi bangsa dan daya saing bangsa di masa mendatang.

Merujuk penelitian Damayanti tahun 2018 menyebutkan 65 persen anak stunting memiliki tingkat kecerdasan atau IQ di bawah 90 (di bawah normal) dan 25 persen lainnya memiliki IQ di bawah 70 (keterbelakangan mental).

Sedangkan dalam hal kesehatan fisik, anak stunting lebih rentan terhadap berbagai penyakit degeneratif. Jika angka prevalensi stunting 30 persen berarti 1 dari 3 anak mengalami stunting, dan jika hal itu terjadi di Indonesia, artinya dalam 30 tahun mendatang tingkat daya saing generasi bangsa menjadi rendah yang dicerminkan pada rendahnya IQ dan kualitas kesehatan fisik.

Diperlukan banyak sudut pandang dan intervensi dalam mengurangi kasus stunting. Dan perlu diketahui, stunting tidak hanya terjadi pada keluarga miskin tetapi juga pada keluarga kaya. Hasil kajian Widiastuti tahun 2018 mengungkapkan data bahwa 48,4 persen kasus stunting terjadi pada keluarga miskin, dan 29 persen lainnya terjadi pada keluarga kaya. Karenanya, setiap keluarga hendaknya diharapkan memiliki perhatian khusus pada 1.000 hari kehidupan pertama, sejak dalam kandungan.

Baca Juga: BAYI-BAYI PANDEMI (1): Rasya dalam Gendongan Ibunya
BAYI-BAYI PANDEMI (2): Sebuah Kekhawatiran tentang Khalista
BAYI-BAYI PANDEMI (3): Stunting di Jamika dan Sekian Banyak Kendala Penanganannya

Mencegah Stunting dengan Telur Alfalfa

Untuk mengatasi stunting ini, peneliti dari Fakultas Peternakan UGM, Bambang Suwignyo, menawarkan salah satu cara melalui bahan makanan berupa telur dengan kandungan tinggi Fe dan Zn. Hal tersebut ia lakukan bukan dengan fortifikasi Fe dan Zn ke dalam telur melainkan dari inovasi pemberian pakan ayam.

Telur yang dihasilkan dari suatu sistem biologi ayam memerlukan waktu 25 jam. Oleh karena itu, nutrisi dalam pakan yang masuk ke dalam tubuh ayam dan menjadi unsur penyusun telur akan sangat berpengaruh terhadap kualitas gizi yang dikandung.

Bambang Suwignyo menuturkan riset ini merupakan hasil dari pelaksanaan skema hibah Penelitian Terapan Unggulan Perguruan Tinggi (PTUPT) 2021. Telur ini disebut telur alfalfa atau telur karib (Kacang Rabu BW) karena memiliki kandungan tinggi Fe dan Zn sehingga dapat digunakan untuk intervensi penanganan stunting.

“Hal tersebut dilandasi alasan bahwa salah satu penyebab terjadinya stunting karena tubuh mengalami kekurangan zat gizi mikro seperti zat besi (Fe) dan Zinc (Zn) sehingga mengalami kondisi yang disebut kelaparan semu. Kekurangan asupan zat-zat gizi tersebut akan berakibat pada terhambatnya atau terganggunya pertumbuhan fisik pada anak sehingga anak dapat mengalami stunting," ujarnya, mengutip laman UGM.

Penggunaan telur alfalfa atau telur karib sebagai program eradikasi stunting merupakan hasil kerja sama dengan Siti Helmyati, peneliti dari FKKMK UGM yang menjadi koordinator skema Prioritas Riset Nasional (PRN) tahun 2021. Program ini dilakukan dengan mengambil lokasi Puskesmas Tempel, Kabupaten Sleman dengan intenvensi pembagian telur untuk Ibu hamil.

Bambang menjelaskan asupan Fe dan Zn sangat di perlukan bagi ibu hamil maupun anak-anak dalam kaitan pencegahan terjadinya kasus stunting. Asupan Fe dan Zn ini dapat disediakan dalam berbagai bentuk termasuk salah satunya melalui bahan makanan berupa telur.

Hasil kajian sementara dari setting nilai gizi melalui pakan yang diberikan menunjukkan telur alfalfa lebih gurih dibanding telur lain yang ada di pasaran. Testimoni dari ibu-ibu yang mengonsumsi telur alfalfa mengatakan telur alfalfa tidak amis, tidak bikin mual, dan warna kuningnya lebih kuning (cenderung orange).

“Informasi ini saya kira masuk akal karena alfalfa memiliki kandungan Fe, Zn dan beta karoten yang tinggi sehingga berdampak para rasa bau dan warna kuning telurnya," jelasnya.

Editor: Redaksi

COMMENTS

//