• Nusantara
  • Penggundulan Hutan di Indonesia memang Menurun, karena Sumber Daya Hutannya telah Habis

Penggundulan Hutan di Indonesia memang Menurun, karena Sumber Daya Hutannya telah Habis

Dampak perubahan iklim semakin nyata. Daerah pesisir di Jawa Barat mulai terdesak naiknya air laut.

Gunung di Bandung selatan, terlihat dari kawasan Ibun, Kabupaten Bandung, Jumat (24/9/2021). Salah satu kekayaan Indonesia adalah hutan tropisnya yang luas, kedua di dunia setelah Brazil. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)

Penulis Iman Herdiana26 Desember 2021


BandungBergerak.idPresiden Joko Widodo pernah menyatakan bahwa laju deforestasi atau penggundulan hutan di Indonesia turun signifikan, bahkan mencapai persentase terendah dalam 20 tahun terakhir. Ini dikatakan presiden dalam pidatonya di Konferensi Tingkat Tinggi Perubahan Iklim COP26 di Glasgow, Skotlandia, bebrapa waktu lalu.

Pernyataan tersebut ada kemiripan dengan data yang disampaikan Forest Watch Indonesia, bahwa terhitung sejak 2017, deforestasi memang menunjukkan tren penurunan. Namun Forest Watch Indonesia memberikan alasan yang cukup miris, bahwa penurunan lajut penggundulan hutan bukan karena intervensi pemerintah, melainkan sumber daya hutan yang telah habis, seperti di Sumatra dan Jawa.

Sementara deforestasi di daerah yang memiliki hutan luas, khususnya di wilayah timur justru mengalami kenaikan. Dengan demikian, ada ketimpangan data yang dialami pemerintah. Hal ini berbahaya karena data tersebut akan menjadi landasan kebijakan. Data yang salah, kebijakan pemerintah pun akan tidak tepat sasaran.

Ketimpangan data deforestasi di Indonesia juga disampaikan oleh Wakil Ketua Umum DPP Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) Doddy Imron Cholid, dalam diskusi mengenai Deforestasi untuk Pembangunan, Demi Kebaikan atau Kekuasaan? yang diadakan Himpunan Mahasiswa Administrasi Publik, FISIP, Universitas Pasundan, Selasa (21/12/2021) lalu.

Doddy menghubungkan permasalahan deforestasi dengan kebijakan Reforma Agraria yang digadang-gadang dapat mempermudah penataan ulang atau restrukturisasi kepemilikan, penguasaan, dan penggunaan sumber agraria, terutama untuk kepentingan petani, buruh tani, dan rakyat kecil.

“Apakah deforestasi tersebut betul-betul untuk tujuan Reforma Agraria yang merujuk pada kesejahteraan rakyat? Atau hanya untuk melayani investor? Dengan tema besar peningkatan kesejahteraan rakyat, distribusi lahan yang bakal dilepas jadi tanah objek Reforma Agraria malah semakin mencuatkan isu deforestasi dan kerusakan hutan,” katanya.

Reforma Agraria dikhawatirkan meningkatkan jumlah kemiskinan dan pengangguran di pedesaan karena rakyat makin kehilangan akses terhadap tanah. Selain itu, konflik agraria pun bermunculan, baik berupa perselisihan tanah, meningkatnya penguasaan tanah skala besar, maupun tata ruang yang tumpang tindih.

Doddy mengatakan, kondisi tutupan lahan di Indonesia terdiri dari kawasan hutan daratan (terrestrial) seluas 120 juta hektar atau sekitar 70 persen. Sementara seluas 70 juta hektar atau sekitar 30 persen merupakan Areal Penggunaan Lain (APL).

“Dari luas tersebut, terjadi ketimpangan struktur penguasaan tanah, di mana 70 persen dikuasai Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan  (KLHK), badan hukum privat 10 persen, perorangan 16 persen, petani atau gurem 4 persen, dan buruh tani 0 persen,”katanya.

Gubernur Hima-AP Muhammad Fauzi mengatakan, deforestasi diusung sebagai tema diskusi mengingat alih fungsi lahan kerap tidak sesuai dengan prosedur yang ada. Pemerintah juga terkesan tidak menilik kemungkinan dampak yang dirasakan masyarakat sekitar. Ia khawatir, deforestasi yang dilakukan pemerintah hanya demi investor tanpa mempertimbangkan masyarakat.

“Seperti kasus alih fungsi lahan untuk penambangan batuan di Desa Wadas, Purworejo. Masyarakat mempertahankan tanahnya karena mata pencaharian mereka bersumber dari hasil kebun dan tani. Jika dialihfungsikan untuk industri tambang, maka masyarakat akan kehilangan sumber pendapatannya,” tuturnya.

Sejalan dengan urgensi permasalahan deforestasi, Hima-AP melalui Bidang Kajian, Aksi, dan Strategis berencana melaksanakan program penanaman 1.000 pohon tegakan di daerah rawan bencana yang diakibatkan deforestasi ilegal. Sejauh ini, Hima-AP masih melakukan riset terkait desa sasaran.

“Mahasiswa memiliki peran sebagai agent of change dan social control. Jangan sampai deforestasi dijadikan ladang bagi investor dan mengesampingkan masyarakat. Kami akan terus mengkritisi dan mengawal, kepada siapa nantinya hutan akan diberikan. Jika kepada investor, apa yang sudah pemerintah berikan kepada masyarakat dan sejauh mana mereka bertindak,” tutupnya.

Baca Juga: Dampak Bencana Perubahan Iklim Diperkirakan Lebih Dahsyat dari Pandemi Covid-19
Seruan Darurat Iklim dari Bandung Berisik, COP 26 Momentum Omong Kosong Pemimpin Dunia
Data Lengkap Perubahan Suhu Rata-rata Kota Bandung 1975-2020, Bertambah 3 Derajat Celcius dalam 46 Tahun!

Fenomena Laut Mendesak Daratan

Keberadaan hutan berperan penting dalam mengerem laju pemanasan global akibat karbon dioksida ke angkasa. Masalah inilah yang sebenarnya dibahas dalam Konferensi Tingkat Tinggi Perubahan Iklim COP26.

Dampak dari perubahan iklim dunia itu sudah terasa di Jawa Barat, salah satunya semakin mengancamnya permukaan air laut pada daratan. Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil pernah menyampaikan bahwa 40 persen daratan di pesisir laut Indonesia berpotensi hilang terkikis oleh air laut jika konsumsi karbon tidak diminimalisir.

Perlu diketahui, karbon dioksida merupakan polusi yang dihasilkan aktivitas manusia dari sumber energi seperti BBM, batubara, dan sejenisnya. Polusi karbon yang menjangkau lapisan ozon bumi membuat suhu bumi semakin memanas, dan kutub bumi pun terancam meleleh. Akibatnya air laut mengancam daratan.

"Hampir 40 persen daerah yang dipinggir laut akan hilang jika gaya hidup kita yang boros karbon ini tidak ada perubahan," kata Ridwan Kamil, dalam siaran pers usai Rakernas Dua Dasawarsa ADPMET 2001-2021, baru-baru ini.

Ridwan Kamil bahkan menyebut saat ini 400 hektar tanah di wilayah pesisir Bekasi sudah tertutup air laut. "Hari ini saja sudah hilang 400 hektar tanah di pesisir Bekasi, sudah jadi laut, apalagi 50 tahun ke depan," ungkapnya.

Ridwan Kamil pun mengimbau masyarakat untuk beralih ke energi terbarukan yang lebih ramah lingkungan dalam pemanfaatan energi. Energi baru terbarukan tersebut misalnya tenaga angin, matahari, mobil listrik, dan lain-lain yang bisa mengurangi pemanasan global.

Masalahnya, perubahan konsumsi karbon tidak cukup dengan imbauan kepada masyarakat agar beralih ke energi baru terbarukan. Masyarakat justru menunggu kebijakan pemerintah, khususnya mengenai penyediaan energi-energi baru terbarukan yang mudah dijangkau semudah menjangkau BBM.

Tanpa adanya fasilitas infrastruktur yang disiapkan pemerintah, akan sulit bagi masyarakat untuk beralih ke sumber-sumber energi baru terbarukan.

Editor: Redaksi

COMMENTS

//