• Berita
  • Menunggu Gebrakan Badan Pengelola Cekungan Bandung

Menunggu Gebrakan Badan Pengelola Cekungan Bandung

Dibentuknya Badan Pengelola Kawasan Perkotaan Cekungan Bandung bukan berarti persoalan selesai.

Hamparan pemandangan kawasan Bandung utara (KBU), terlihat dari kawasan Cimenyan, Kabupaten Bandung, Kamis (12/8/2021). Di sekeliling Bandung, terdapat banyak bukit dan gunung yang semakin sering dijadikan lokasi pendakian oleh warga. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)

Penulis Iman Herdiana1 April 2022


BandungBergerak.idCekungan Bandung atau Bandung Raya kini dikelola Badan Pengelola Kawasan Perkotaan Cekungan Bandung. Kinerja nyata badan ini amat ditunggu. Sudah lama Cekungan Bandung kritis, mulai dari masalah lingkungan hingga persoalan sosialnya yang rumit.

Badan Pengelola Kawasan Perkotaan Cekungan Bandung mulai aktif sejak September 2021. Namun pencapaian kesepakatan dengan lima kabupaten kota di Cekungan Bandung baru dicapai akhir Maret kemarin.

Cekungan Bandung terdiri dari Kota Bandung, Kota Cimahi, Kabupaten Bandung, Kabupaten Bupati Bandung Barat, dan sebagian wilayah di Kabupaten Sumedang, yaitu Jatinangor. Luas wilayah Cekungan Bandung sekitar 2.300 kilometer persegi yang bentuknya jika dilihat dari peta berupa baskom raksasa sehingga disebut cekungan. Pinggiran Cekungan Bandung dikelilingi pegunungan.

Para pemimpin lima daerah di Cekungan Bandung plus Gubernur Jawa Barat telah menuangkan kesepakatannya dalam komitmen bersama bahwa ada empat isu utama di Cekungan Bandung, yaitu pengelolaan tata ruang, sumber daya air, transportasi, dan persampahan.

"Dengan hadirnya Badan Pengelola Kawasan Perkotaan Cekungan Bandung untuk lima wilayah yang kurang koordinasi, misalnya urusan banjir sekarang mempunyai tempat formal untuk koordinasi. Hari ini penajaman rencana kerja ke depan," ujar Ridwan Kamil, di sela-sela rencana kerja dan program percepatan Badan Pengelola Kawasan Perkotaan Cekungan Bandung, di Aula Timur Gedung Sate, dikutip dari siaran persnya, Kamis (31/3/2022).

Pada kesempatan yang sama, Pelaksana Tugas (Plt) Wali Kota Bandung, Yana Mulyana menyambut baik aglomerasi cekungan Bandung ini. Menurut Yana, dengan bergabungnya lima wilayah tersebut, regulasi-regulasi yang kerap membatasi gerak untuk mengambil kebijakan akan menjadi lebih cair.

"Justru sebetulnya dengan aglomerasi ini masalah batas wilayah itu menjadi cair. Koordinasi di Badan Pengelola Kawasan Perkotaan Cekungan Kota Bandung sudah tidak boleh ada lagi ego sektoral antar wilayah. Kadang administratif dari regulasi kewenangan yang membuat kita jadi terbatas untuk bergerak," ungkap Yana Mulyana.

Badan ini diharapkan mampu menjalankan fungsi koordinasi atau mengikis ego sektoral. Status badan ini menurut Ridwan Kamil seperti pemerintah daerah dalam versi kecil yang bertanggung jawab kepada Gubernur dan Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/ Kepala Bappenas.

Bukan Berarti Persoalan Selesai

Dibentuknya Badan Pengelola Kawasan Perkotaan Cekungan Bandung bukan berarti persoalan selesai. Sebaliknya, pekerjaan yang menggunung sudah lama menanti. Sudah lama para pegiat lingkungan berteriak tentang kritisnya Cekungan Bandung. Namun selama itu pula aspirasi mereka belum tampak direalisasikan oleh para pemangku kebijakan di Cekungan Bandung.

Persoalan Cekungan Bandung tidak sesederhana empat isu utama seperti yang disampaikan Ridwan Kamil, yakni tata ruang, sumber daya air, transportasi, dan persampahan. Masalahnya jauh lebih kompleks. Di bidang lingkungan atau tata ruang, misalnya, jika diiris akan sangat banyak irisan, mulai banjir, sampah, polusi (tanah, air, udara), lahan konservasi, hingga ancaman gempa bumi patahan Lembang.

Mengenai patahan Lembang, sebaiknya menjadi prioritas juga karena sudah banyak ahli yang menyatakan bahwa sesar gempa bumi tersebut aktif. Bahkan menurut kajian Iswanti Widiya Ambarwati (Fisika, FPMIPA, UPI), Selly Feranie (Fisika, FPMIPA, UPI), dan Adrin Tohari (Pusat Penelitian Geoteknologi-LIPI), gempa sesar Lembang berpotensi memicu likuifaksi di dataran rendah Cekungan Bandung. 

Likuifaksi adalah pencairan muka tanah yang dipicu gelombang gempa bumi. Peristiwa likuifaksi paling dahsyat terjadi di Sulawesi Tengah saat diguncang gempa bumi dengan kekuatan M7,4 pada 28 September 2018. Kota Palu, Sigi dan Donggala porak-poranda, rumah-rumah di sana seperti berjalan dan tenggelam ke dalam lumpur.

Menurut Iswanti Widiya Ambarwati, Selly Feranie, dan Adrin Tohari (selanjutnya ditulis Iswanti dkk), wilayah Cekungan Bandung memiliki tingkat kerentanan yang tinggi terhadap gempa bumi. Salah satu sumber gempa buminya adalah sesar Lembang yang panjangnya 29 kilometer dan dapat menghasilkan gempa bumi berskala Mw antara 6,5 dan 7,0 dengan waktu pengulangan 170 – 670 tahun (Daryono et al., 2019).

Aktivitas terbaru sesar Lembang terjadi pada Juli dan Agustus 2011 di daerah Cisarua, Lembang, Kabupaten Bandung Barat. Namun sumber gempa bumi Cekungan Bandung bukan sesar Lembang semata. Gempa bumi subduksi di selatan Jawa (Mw 7,0) juga berpotensi memicu gempa bumi ke Cekungan Bandung seperti yang terjadi pada 2 September 2009 di mana gelombang lindu dirasakan di wilayah Kabupaten Bandung dan Kota Bandung (USGS, 2009).

Meski demikian, Iswanti dkk mengatakan, sumber gempa sesar Lembang lebih besar dibandingkan sumber gempa zona subduksi. Sehingga gempa yang terjadi pada sesar Lembang memiliki potensi likuifaksi yang lebih tinggi dibandingkan gempa bumi yang terjadi pada zona subduksi.

“Hasil studi ini merekomendasikan perlunya dilakukan analisis potensi likuifaksi di lokasi lainnya di seluruh wilayah Cekungan Bandung agar dapat disusun peta mikrozonasi kerentanan likuifaksi untuk menjadi pedoman dalam pengurangan risiko bencana likuifaksi,” papar Iswanti dkk, yang diakses BandungBergerak, Jumat (1/4/2022).

Baca Juga: Vonis Bebas PN Pekanbaru Berdampak Suram bagi Kelangsungan Hidup Korban Kejahatan Seksual
Transformasi TV Digital, Membuka Lapangan Kerja Baru atau Privatisasi Frekuensi Publik?
Poin-poin PPKM Level 3 Kota Bandung selama Ramadan, Mengatur Tarawih hingga Tempat Hiburan

Gedung pencakar langit The Maj di antara permukiman padat dan area terbuka hijau Kawasan Bandung Utara, Dago, Jawa Barat, Rabu (17/11/2021). Gedung ini mendadak viral setelah fotonya diunggah oleh seorang netizen. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)
Gedung pencakar langit The Maj di antara permukiman padat dan area terbuka hijau Kawasan Bandung Utara, Dago, Jawa Barat, Rabu (17/11/2021). Gedung ini mendadak viral setelah fotonya diunggah oleh seorang netizen. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)

Cekungan Bandung yang Malang

Gempa bumi merupakan satu persoalan. Dan persoalan lainnya di Cekungan Bandung berjajar mulai dari masalah lingkungan hingga sosial. Pada 2013 jumlah penduduk di Cekungan Bandung mencapai 5, 8 juta jiwa. Tahun ini, jumlah penduduk Kota Bandung saja sudah mencapai sekitar 3 juta jiwa.

Pemerhati lingkungan Dadan Ramdan menyatakan Cekungan Bandung memiliki bentang alam yang unik. Terdapat 343.087 hektare cekungan yang dikitari perbukitan dan gunung berapi yang keseluruhannya merupakan daerah tangkapan air bagi Sungai Citarum, sungai terpanjang di Jawa Barat.

Sekeliling Cekungan Bandung merupakan pegunungan dan perbukitan yang indah sekaligus koridor daerah tangkapan air dan resapan dengan sumber-sumber mata air yang memasok keteserdiaan air dan udara bagi kehidupan masyarakat di Cekungan Bandung.

Cekungan Bandung adalah salah satu kawasan cekungan unik yang terdapat di wilayah Jawa Barat. Kawasan Cekungan Bandung merupakan hamparan wilayah yang berada di Daerah Aliran Sungai (DAS) Citarum bagian hulu.

Namun, kata Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Jawa Barat periode 2015-2019 ini, Cekungan Bandung dalam beberapa dekade terakhir mengalami pembangunan fisik yang masif dan tidak ramah lingkungan, mulai dari pembangunan jalan tol, jalan raya, properti, dan lain-lain yang memberikan kontribusi pada perubahan bentang alam yang begitu cepat.

Dadan menilai pembangunan telah memperburuk layanan alam Cekungan Bandung dan tidak meningkatkan kesejahteraan warga itu sendiri. Kebijakan pembangunan yang telah dijalankan bukanlah mengurus wilayah demi keselamatan warga dan fungsi layanan alam agar berkelanjutan.

“(Kebijakan pembangunan di Cekungan Bandung) lebih mengejar pertumbuhan ekonomi, menguntungkan segelintir orang, dan memperburuk tatanan sosial dan layanan alam yang ada,” kata Dadan Ramdan, dikutip dari tulisan ilmiah yang dimuat di academia.edu, diakses Jumat (1/4/2022).

Dadan khawatir dengan massifnya pembangunan fisik yang tak ramah lingkungan akan mengundang bencana ekologi, daya dukung dan daya tampung Cekungan Bandung akan semakin mengalami degradasi. Sementara, kesejehtaraan dan keselamatan warga belum tentu terjamin.

Menggilanya Bisnis Properti

Pembangunan di Cekungan Bandung lebih memihak pada pemilik modal. Hal ini bisa dilihat dari tumbuh suburnya bisnis-bisnis properti. Sebagai contoh, Dadan Ramdan memaparkan data ketika tulisan ilmiahnya ditulis, bahwa kawasan terbangun di Kota Bandung sudah mencapai 71 persen dari total wilayah Kota Bandung.

Ia juga mencatat ada ada sekitar 455 buah bangunan properti seperti hotel dan apartemen mewah berdiri. Kota Bandung pun memiliki jumlah hotel terbanyak di perkotaan di Jawa Barat.

Bersamaan dengan itu, kehadiran pebisnis properti terus berdatangan untuk menguasai lahan-lahan strategis di Kota Bandung. Selama kurun waktu 15 tahun kurang lebih 156 bangunan hotel dan apartemen berdiri tegak di tengah dan pinggiran Kota Bandung. Bahkan banyak hotel dan apartemen dibangun di semapadan sungai, jalan dan lahan-lahan hijau dan resapan.

Dampak dari pembangunan properti dan sarana wisata yang terus merajalela bukan saja telah mengalihfungsikan lahan-lahan resapan dan lindung yang ada, namun telah berdampak pada semakin banyaknya konflik sosial dan agraria yang dihadapi warga.

Kawasan Bandung Utara

Selama kurun waktu 15 tahun terakhir, Dadan mencatat kawasan Bandung Utara (KBU) yang memiliki luas sekitar 38.500 hektare dan terletak di pegunungan dan perbukitan Cekungan Bandung menjadi bidikan para pengembang bisnis properti.

Meskipun sudah ada Peraturan Daerah No 1 Tahun 2008 tentang pengendalian pemanfaatan ruang di Kawasan Bandung Utara namun pembangunan properti di KBU dinilai semakin tidak terkendali. Ia memperkirakan ada sekitar 3.500 bangunan hotel, apartemen, perumahan mewah dan villa berdiri di kawasan resapan air Bandung Utara.

Wilayah Kota Bandung yang masuk kawasan Bandung Utara seluas 3.000 hektare, sekitar 2.400 hektarenya atau 80 persen sudah beralih fungsi menjadi bangunan beton.

Di luar masalah tersebut, Cekungan Bandung masih memiliki setumpuk soal lain, mulai dari Sungai Citarum dan anak-anak sungainya, kemiskinan, konflik agraria, transportasi, dan seterusnya. Beban berat kini ada di pundak Badan Pengelola Kawasan Perkotaan Cekungan Bandung.  

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//