• Berita
  • Empat Organisasi Jurnalis Bandung Turun ke Jalan Mengecam Tindak Kekerasan Polisi

Empat Organisasi Jurnalis Bandung Turun ke Jalan Mengecam Tindak Kekerasan Polisi

Kekerasan terhadap jurnalis yang meliput Dago Elos menjadi preseden buruk bagi kebebasan pers di Indonesia. Kerja jurnalis dilindungi UU Pers.

Aksi damai oleh empat organisasi profesi jurnalis Bandung, persma, dan warga di Taman Vanda, Bandung, Kamis (31/8/2023). (Foto: Virliya Putricantika/BandungBergerak.id)

Penulis Awla Rajul31 Agustus 2023


BandungBergerak.idDua jurnalis menjadi korban represi aparat kepolisian ketika meliput protes di Dago Elos, Senin 14 Agustus 2023 malam lalu. Menanggapi kekerasan terhadap jurnalis cenderung berulang, empat organisasi jurnalis Bandung melakukan aksi damai bertajuk "Hormati Kerja Jurnalis, Jangan Represi!". Aksi ini dilakukan di Taman Vanda di seberang kantor Polrestabes Bandung, Kamis (31/8/2023).

Empat organisasi jurnalis tersebut mengecam tindakan represi yang dilakukan kepada dua jurnalis dan mendesak kepolisian untuk menghormati profesi jurnalis. Keempat organisasi jurnalis tersebut adalah Aliansi Jurnalis Independen atau AJI Bandung, Pewarta Foto Indonesia (PFI) Bandung, Wartawan Foto Bandung (WFB), dan Forum Diskusi Wartawan Bandung (FDWB).

Selain itu, aksi damai juga dihadiri Forum Komunikasi Pers Mahasiswa Bandung (FKPMB), Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bandung, kawan-kawan Aksi Kamisan Bandung, Eva dari Tamansari, dan seniman pantomim Wanggi Hoed. Mereka tergabung dalam Koalisi Jurnalis untuk Kebebasan Pers.

Perwakilan dari LBH Bandung Ahmad Budi Santoso dalam orasinya menyebutkan, di masa peradaban modern seperti sekarang praktik kekerasan masih terjadi. Bahkan kerja jurnalis yang dilindungi undang-undang masih mengalami represi dari aparat kepolisian.

Saat malam protes di Dago Elos, lanjut Budi, pendamping hukum juga ikut ditangkap. Pendamping hukum turut dilempari ketika berusaha mengadang agar tidak terjadi kerusuhan.

"Ada apa dengan polisi hari ini? Apakah perlu direformasi, direvolusi atau dibubarkan saja?" teriak Budi saat berorasi.

Selain dua jurnalis, satu orang warga Dago Elos mengalami patah tulang rusuk karena dipukuli polisi. Tidak ada tanggung jawab dari kepolisian apalagi permintaan maaf secara resmi atas kekerasan yang dilakukan.

Menurut Budi, kata "represi" yang diusung aksi damai ini sebenarnya sudah diperhalus karena kenyataan yang terjadi di Dago Elos adalah bentuk kebrutalan.

Eva Eryani dari Tamansari Bersatu juga menyampaikan orasi dalam aksi ini. Menurutnya, rakyat yang menyampaikan informasi melalui media sosial juga kerap mendapatkan ancaman. Seharusnya masyarakat berhak menyampaikan informasi dan ekspresinya karena telah dilindungi oleh undang-undang.

"Kami tidak mau ada lagi kekerasan atau ancaman-ancaman pembunuhan terhadap suara-suara rakyat, suara-suara jurnalis karena mereka adalah penghubung suara kami. Suara yang harus disebar agar Indonesia tahu kekerasan apa yang terjadi pada kami," teriak Eva.

Kekerasan terhadap Jurnalis Bandung Berulang

Ketua AJI Bandung Tri Joko Her Riadi membeberkan, AJI mencatat sebanyak 58 kasus serangan terhadap jurnalis selama periode Januari hingga Agustus 2023. Dari jumlah itu, sebanyak 12 kasus merupakan serangan fisik. Di Bandung, kekerasan terhadap jurnalis bukan hanya terjadi ketika meliput peristiwa protes di Dago Elos.

Lima tahun lalu, dua jurnalis foto menjadi korban represi dari aparat kepolisian saat meliput demo May Day 2019 yang berujung ricuh. Mereka lalu melaporkan kejadian itu ke kepolisian namun tidak ada tindak lanjut sampai hari ini.

Joko mengungkapkan, kekerasan masih menjadi cara untuk menyelesaikan persoalan sekaligus membungkam kebebasan berekspresi. "Kita bisa bertanya bagaimana bisa kekerasan terjadi berulang? Kalau terus berulang, bukan bertanya pada oknum, tapi bertanya pada institusi, pada pendidikan dan kultur (kepolisian)," teriak Joko, saat orasi.

Baca Juga: Mahasiswa Bandung Mengawal Dago Elos
Kronologi Kaos Penutupan Jalan di Dago Elos, Gas Air Mata Melukai Warga
Dago Elos Never Lose: Menghidupkan Ruang, Menolak Penggusuran

Aksi damai oleh empat organisasi profesi jurnalis Bandung, persma, dan warga di Taman Vanda, Bandung, Kamis (31/8/2023). (Foto: Virliya Putricantika/BandungBergerak.id)
Aksi damai oleh empat organisasi profesi jurnalis Bandung, persma, dan warga di Taman Vanda, Bandung, Kamis (31/8/2023). (Foto: Virliya Putricantika/BandungBergerak.id)

Represi Jurnalis Perlu Disikapi Serius

Kekerasan terhadap jurnalis telah terjadi berulang kali. Jika kasus ini tidak disikapi dan ditindak secara serius, maka akan menjadi preseden buruk bagi kebebasan pers di Indonesia. Kekerasan yang terjadi kepada jurnalis menimbulkan pertanyaan, bagaimana sistem pendidikan di kepolisian sehingga hal yang sama terus berulang.

Pada aksi damai ini, empat organisasi jurnalis di Bandung untuk pertama kalinya berkumpul dan menyuarakan hal yang sama. Dua organisasi di antaranya merupakan konstituen Dewan Pers. Artinya, ada persoalan serius yang harus disikapi dan dipikirkan, serta mendesaknya evaluasi di tubuh kepolisian. Meliput dan melaporkan peristiwa kepada publik merupakan hak jurnalis. Polisi tidak memiliki hak untuk mencegahnya.

"Kerja jurnalis dilindungi UU Pers dan kekerasan yang menimpa mereka tentu bukan hanya nengancam keselamatan dan nyawa jurnalis, tapi juga mengancam kepentingan publik yang lalu tidak akan mendapatkan informasi yang mereka butuhkan," terang Joko.

Menurut Joko, AJI menuntut agar polisi dan institusi lembaga negara yang lain menghargai kerja jurnalis. Mereka harus paham bahwa jurnalis diamanatkan untuk melakukan kontrol sosial. Ketika jurnalis, media, pers membuat liputan yang kritis dan tajam memang sudah menjadi tanggung jawab jurnalis.

Ke depan, Joko menyebutkan, empat organisasi jurnalis Bandung ini perlu menguatkan kerja bersama dalam ranah advokasi, juga membekali jurnalis dan anggota masing-masing organisasi dengan keamanan fisik dan digital saat melakukan peliputan.

Koalisi Jurnalis untuk Kebebasan Pers

Atas nama Koalisi Jurnalis untuk Kebebasan Pers, empat organisasi jurnalis di Bandung menyatakan, mengecam keras tindak kekerasan oleh aparat kepolisian terhadap dua jurnalis yang meliput peristiwa protes di Dago Elos. Koalisi mendesak kepolisian dan institusi negara lain untuk menghormati profesi jurnalis—termasuk juga pers mahasiswa—yang oleh undang-undang diamanatkan sebagai pemegang kontrol sosial lewat kerja jurnalistik. 

Perlu diketahui, jurnalis bekerja dalam payung kemerdekaan pers yang dijamin oleh Undang-undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Tidak hanya menyebarkan informasi dan memberikan hiburan, pers juga memikul peran kontrol sosial. Seorang jurnalis harus secara kritis melaporkan permasalahan yang dihidupi oleh masyarakat lalu menyuarakannya. 

Menurut Koalisi, ketika kerja jurnalis dihalang-halangi, direpresi, atau bahkan dibungkam, publiklah yang paling dirugikan. Mereka akan kehilangan akses terhadap informasi yang akurat, kritis, dan penting serta relevan dalam pengambilan keputusan hidup.  

Tanpa penyikapan serius, kekerasan terhadap jurnalis sebagaimana terjadi di Dago Elos akan terus berulang. Kasus Dago Elos menjadi preseden buruk bagi iklim kemerdekaan pers dan bagi kehidupan berdemokrasi secara luas. Kasus-kasus serupa akan terus terjadi. Dalam baying-bayang represi, para jurnalis tidak akan memperoleh rasa aman dalam menjalankan tugas mereka.

Terlebih di tahun-tahun politik, kerja jurnalis dirasa semakin penting. Sikap kritis yang terjaga niscaya berbuah produk-produk jurnalistik yang bermutu dan bisa diandalkan oleh publik. Termasuk pengungkapan potensi atau praktik pelanggaran dan penyelewengan. 

Koalisi kemudian menuntut penjaminan kebebasan berekspresi bagi warga sipil agar secara leluasa bisa berkontribusi dalam kehidupan berdemokrasi, terutama menjelang tahun politik 2024. Empat organisasi jurnalis di dalam Koalisi pun mengajak rekan-rekan jurnalis Bandung dan daerah-daerah lain di Jawa Barat untuk bersama-sama memperjuangkan kebebasan pers.

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//