CERITA ORANG BANDUNG (46): Uje, dari Mesin Jahit Belok Kiri ke Bengkel Motor Roda Tiga
Ia lebih akrab disapa Uje oleh teman-teman disabilitasnya. Orangnya cukup nekat, berani naik motor roda tiga rancangan sendiri ke jalan raya, kemudian nabrak.
Penulis Emi La Palau24 Desember 2021
BandungBergerak.id - “Waktu itu, saya cuma punya uang berapa puluh ribu, ada barang yang saya perlu harganya 10 ribu Rupiah, mau nyari barang di kaki lima. Saya kan gak punya motor gak bisa jalan. Akhirnya naik becak ternyata ongkosnya Rp 10 ribu, bolak-balik Rp 20 ribu. Ongkos lebih besar dari pada barang yang dibutuhkan. Barulah terpikir bikin motor,” kata Amin, menjelang sore di Wyata Guna, Bandung, 6 Desember 2021.
Berawal dari keterbatasan pada fisik dan ekonomi itulah, Amin berpikir untuk menghadirkan inovasi sepeda motor yang memiliki tiga roda, yang bisa digunakan oleh penyandang disabilitas seperti dirinya. Bahkan motor tersebut harus bisa membantu aktivitas teman-teman disabilitas lainnya.
Pria kelahiran Tasikmalaya 45 tahun silam itu memang tumbuh dengan kondisi spesial. Kedua kakinya tidak berfungsi seperti orang pada umumnya. Ia mengingat-ngingat kembali pada penyebab yang membuat kondisinya terbatas secara fisik seperti sekarang.
Kala itu, ia masih berusia sekitar 4 tahunan, sebagai bocah yang lagi senang-senangnya bermain. Termasuk bermain ayunan. Tetapi ia terjatuh dari permainan itu dan berdampak serius pada kemampuan kakinya.
Uje, begitu ia akrab disapa oleh rekan-rekan disabilitas lainnya, cukup terkenal bukan hanya karena kelihaiannya membuat motor dengan tiga ban, tetapi juga juga tercatat sebagai atlet bowling. Ia aktif pada sejumlah kegiatan dan pelatihan, salah satunya membuat tongkat di Wyata Guna untuk teman-teman disabilitas tuna netra.
Seperti saat ditemui BandungBergerak.id, menjelang sore itu, Uje dan rekan-rekan disabilitas lain sedang membikin tongkat sensorik. Ini adalah proyek produksi ribuan tongkat yang dikerjakan mereka kurang lebih tiga bulan. Proyek ini tentu membantu keuangan Uje dan rekan-rekannya, paling tidak untuk sekedar mengganjal biaya dapur selama beberapa minggu.
Sehari-hari, Uje biasanya lebih banyak bekerja di bengkel motor di Tegallega yang dibukanya sejak 2018 lalu. Di bengkel berukuran 3 meter dan panjang 11 meter itu ia menyulap motor-motor bekas menjadi kendaraan roda tiga khusus bagi para penyandang disabilitas. Sudah banyak sepeda motor yang ia modifikasi, yang berawal dari desakan kebutuhan pribadinya.
“Karena kekurangan, karena gak mungkin jalan, buat berdiri saja susah, jadi bagaimana caranya buat saya bisa pakai motor, itu saja pikirannya. Bagaimana saya bisa pake motor,” ungkapnya.
Hingga kini, sepeda motor buatannya telah sampai ke beberapa daerah di Indonesia, di antaranya Indramayu, Cianjur, Tasikmalaya, bahkan ke Kalimantan Timur. Ia sempat menerima pesanan dari Sumatera, namun batal karena terlalu berat di ongkos pengiriman.
Kursus Menjahit dan Kredit Motor
Petualangan Uje dimulai ketika sang ayah meninggal dunia, saat itu ia masih remaja berusia sekitar 16 tahun. Kehilangan ayah menjadi titik balik. Sejak kecil dengan kondisi keterbatasannya itu, sang ayahlah yang mengurusnya. Sepeninggal ayahnya, bandul kehidupannya berubah. Ia dituntut harus bisa mandiri.
Berbekal keberanian, ia akhirnya meminta izin kepada ibunya untuk merantau. Tahun 1989, ia diajak salah seorang teman untuk mengikuti kursus menjahit di seputaran Kopo, Bandung. Hanya berbekal sering melihat dan mengamati, Uje terbilang cepat beradaptasi dan belajar menjahit.
Uje, adalah anak ke tiga dari lima bersaudara. Memang sejak kecil ia tak sempat mengenyam bangku sekolah. Apalagi pendidikan di kampung tak begitu mendukung anak berkebutuhan khusus seperti dirinya. Meski begitu, ia dianugerahi bakat alamiah berupa kecepatan dalam mempelajari sesuatu. Ia tak butuh berminggu-minggu, atau tahun, untuk mengulik suatu keahlian.
“Berbekal keberanian saja, karena kalau berbekal ilmu pengetahuan, sekolah saya ngak pernah sama sekali, kecuali belajar baca iqro, baca Quran bisa dari kecil,” ungkap pria kelahiran Januari 1976 itu. “Tahu karena sering bergaul, sering melihat.”
Dalam mempelajari teknik menjahit pun ia hanya butuh waktu dua minggu. Setelah itu, ia langsung ditawari mengambil orderan dari sebuah perusahaan. Ia masih mengingat dengan baik, kala itu harga satu potong celana seharga Rp 950.000, sementara harga kemeja Rp 750.000 per potong. Seminggu sekali ia mendapat bayaran Rp 40.000. Uang yang cukup besar pada tahun itu.
Tak berhenti di sana, pada tahun 1994, Uje kembali ke kampung halamannya, sebentar. Lalu, pada 1996 ia mencoba mengadu nasib di Jakarta. Di Ibu Kota, ia bekerja di perusahaan ikan mas. Ketika pecah krisis moneter tahun 1998 yang menjungkalkan rezim otoriter Orde Baru, ia memutuskan kembali ke Bandung dan mulai berjualan di Pasar Ciparay. Di pasar ini ia jualan kerupuk hingga minyak kelapa curah.
Baca Juga: CERITA ORANG BANDUNG (43): Kepalan Tangan Tiga Buruh Perempuan di Gedung Sate
CERITA ORANG BANDUNG (44): Farah tidak Lelah Berbuat Kebaikan
CERITA ORANG BANDUNG (45): Asa Iki dan Denov selama Berperan sebagai Jurig di Jalan Asia Afrika
Di Kota Kembang pula ia bertemu calon istri dan menikahinya. Istrinya turut berdagang di Pasar Ciparay. Hingga tahun 2002, mereka memutuskan ngontrak rumah di daerah Tegallega. Uje menjadi pekerja serabutan.
Waktu terus berjalan. Hingga tahun 2006, bandul kehidupan Uje kembali berubah, ketika suatu hari ia harus mendapatkan barang dengan cara naik becak yang ongkosnya jauh lebih mahal ketimbang harga barangnya. Sebuah ide terbersit begitu jelas: ia harus punya sepeda motor.
Ia nekat meminta bantuan kepada salah seorang teman agar bisa mengredit sepeda motor. Dan selama tiga tahun mencicil sepeda motor itu. “Karena waktu itu belum bisa memenuhi persyaratan untuk kredit motor dari showroom. Terus kata teman (boleh kredit) asal bener,” ungkapnya.
Setelah berhasil mendapatkan motor, masalah belum selesai. Ia malu pada tetangga karena motornya tak dipakai-pakai. Akhirnya motor tersebut ia bawa masuk ke dalam rumah. Setiap habis salat magrib, ia berbaring tak jauh dari motornya, berpikir bagaimana agar motor itu bisa segera dipakai.
Ia sudah velg seharga Rp 40.000, namun ia masih kebingungan bagaimana cara merombak motornya agar menjadi roda tiga. Lalu, terpikirlah untuk minta bantuan kepada tetangga yang memiliki bengkel las. Ia akhirnya meminta izin kepada tetangganya itu untuk mengelas sendiri motornya, karena uang yang dimilikinya terbatas.
Ia pun memberanikan diri untuk ngelas sendiri motornya. Padahal ia sama sekali belum pernah punya pengalaman di bidang pengelasan, lagi-lagi ia hanya mengandalkan bakat pengamatannya saja.
“Saya minta tolong, pak bisa ikut ngelas di sini, tapi saya bayarnya gak gede. Saya bisa bisain aja, belum pernah ngelas sama sekali. Karena gak punya uang buat bayar dia,” ungkapnya.
Ketika itu, Uje hanya memiliki uang Rp 400.000 yang sebagian dipakai untuk membayar uang muka, sisanya akan dibayarkan setelah motornya jadi. “Saya cuma bilang, nanti kalau ada kesulitan saya mohon dibantu, dia sambil kerja, saya ngoprek,” tuturnya.
Setelah melewati berbagai kesulitan teknis, velg dan ban tambahan untuk motornya bisa terpasang. Uniknya, meski belum bisa mengendarai motor – bahkan tidak tahu jumlah gigi dan fungsi-fungsinya – Uje percaya diri mencoba langsung motornya ke jalan raya.
Ujungnya sudah bisa ditebak, ia kecelakaan. Jidatnya sobek, muka juga lecet. Setelah kejadian itu ia sempat memutuskan untuk berhenti membawa motor.
“Dites, baru nempel bannya langsung ke jalan, karena gak tahu cara pengereman, cara ngoper gigi gak tahu, akhirnya saya nabarak di jalan,” ungkapnya.
Waktu itu, Uje tidak tahu pasti ada berapa jumlah gigi yang ada di mototornya berapapa. “Yang ada di pikiran saya gigi satu lambat, dua naik lagi, tiga naik lagi, empat makin cepat. Mau nanya saya malu, akhirnya saya pake,” tambahnya.
Selain sakit, dalam waktu semingguan ia menanggung frustasi. Kemudian pada suatu sore, ketika ia nongkrong di warung pinggir jalan, ia melihat anak-anak berusia sekolah dasar sudah mahir membawa sepeda motor, bahkan berbonceng tiga. Dari sanalah semangatnya naik sepeda motor tumbuh kembali.
Selang dua minggu kemudian sejak kecelakaan, ia dan istrinya berniat pulang kampung untuk merayakan Idul Fitri di Tasikmalaya. Sebelum berangkat, ia sempat bertanya ke teman-temannya tentang bagaimana menggunakan rem dan gigi yang benar. Teman-temannya yang tahu Uje bakal mudik dengan motor, sempat mencegatnya karena khawatir. Namun ia berhasil mudik dengan selamat bersama istrinya.
Dari Medali Jadilah Bengkel
Sepulang mudik lebaran tahun 2008, Uje dan istri kembali ke Bandung. Tiba-tiba seorang temannya bertanya dan tertarik membuat motor beroda tiga. “Ada yang nyari ini siapa yang punya motor? Saya samperin, ada apa pak, katanya mau bikin. Ini bikin di mana. Pasang dada, saya yang buat,” ungkapnya.
“Modal nekat, nekat aja, pura-pura tahu aja, pura-pura bisa, padahal baru pertama kali buat. Di situ jadilah satu, dari mulut ke mulut ada yang nyuruh, terus saya pikir kenapa tidak saya bikin bengkelnya aja,” kenang Uje.
Semenjak itu, Uje mulai memikirkan modal untuk membuka bengkel. Gayung bersambut, pada tahun 2012, ia mulai mengikuti paralimpik—kompetisi olahraga khusus penyandang disabilitas. Ia masuk sebagai atlet bowling. Setalah masuk di paralimpik, pikirannya semakin terbuka, bahwasannya cukup banyak disabilitas yang membutuhkan sepeda motor roda tiga.
Banyak dari teman-teman disabilitas yang memesan sepeda motor dari Uje. Sambil terus berinovasi mengembangkan sepeda motor roda tiga, ia terus mempelajari kekurangan demi kekurangan dari sepeda motor hasil modifikasinya, sambil mengumpulkan modal untuk membuka bengkel.
Uje, si atlet bowling, semakin semangat mengikuti kejuaran paralimpik, dengan target mendapat hadiah untuk modal membuka bengkel. Pada 2014, ia mengikuti Pekan Olahraga Daerah (Porda) di Bekasi dan berhasil mendapat tiga medali emas dan satu perunggu. Lalu, ia mengikuti Peparda 2016 di Bogor, berhasil mendapat lima medali, dua emas dan tiga perunggu. Pada 2018, ia kembali mengikuti kejuaraan dan menggondol beberapa medali.
“Di situ digabungin uang yang didapat, itulah modalnya dari sana, saya bangun bengkel,” katanya.
Tak semua usahanya berjalan mulus. Ketika membuka bengkel, ada kalanya pasang surut. Ada saat ketika pesanan sepeda motor cukup banyak dan ada juga momen-momen sangat sepi. Pada tahun awal pembukaan bengkelnya, ia melayani 8 permintaan. Tahun berikutny, pada 2019, ia mengerjakan 9 unit motor.
Tahun 2020, pandemi menghantam. Bengkel Uje pun terpukul. Selama tahun pertama pagebluk itu bengkelnya hanya mengerjakan 3 motor saja. Pada 2021, tahun kedua pagebluk, Uje berharap bisnis jasanya bisa kembali normal.
“Kalau pesanan gak tentu, kalau lagi ada ya ada, kemarin dua bulan lalu menyelesaikan 3 unit, sekarang masih belum ada lagi,” ucapnya.
Dalam perjalanannya, ia tak hanya membuka bengkel khusus sepeda motor roda tiga bagi penyandang disabilitas, melainkan juga menerima perbaikan motor pada umumnya. Dengan demikian pangsa pasarnya menjadi lebih umum, dan kesempatan menyambung hidup kian terbuka, di tengah suramnya pagebluk.
Apalagi pengeluaran rutinnya tidak sedikit, yaitu menutupi biaya sewa bengkel Rp 16 juta per tahun, membiayai istri dan juga karyawannya. Saat ini, Uje mempekerjakan dua orang karyawan, ditambah satu orang teman dari disabilitas untuk membantunya mengerjakan sepeda motor khusus disabilitas.
Membantu Kawan Disabilitas
Sejak 2018 hingga saat ini, Uje tak mau mencari banyak keuntungan dari sepeda motor yang dibuat khusus untuk disabilitas. Sejak awal niatnya membuka bengkel untuk membantu sesama disabilitas yang membutuhkan sepeda motor roda tiga. Ia tidak mematok harga jual tinggi. Malah lebih sering dibayar setengah harga.
Ketika ia mendapat uang lebih, uangnya diputar kembali untuk membeli sepeda motor bekas yang bisa difungsikan kembali sesuai kebutuhan pengguna. Uje paham betul kemampuan ekonomi disabilitas. Tidak mungkin ia mematok harga di atas Rp 10 juta per unit motor. Harga yang ia pakai harus di bawah Rp 10 jutaan per unit.
Terlepas dari besar dan kecilnya keuntungan, ia berharap sepeda motor rancangannya dapat membantu rekan-rekannya yang membutuhkan. “Makanya tujuan saya sudah gak mikirin apa-apa lagi, yang penting disabilitas bisa pakai, karena awalnya kamu gak jauh beda pasti kesulitan kayak saya dulu. Pasti setelah punya motor gak jauh beda kayak saya juga,” kata Uje.
Belajar tanpa Batas
Dengan segala keterbatasannya, Uje tak pernah berhenti belajar. Selain di bengkel, ia masih mengikuti pelatihan-pelatihan keterampilan lainnya. Sudah hampir sebulan ini, ia ikut membuat tongkat bagi disabilitas sensorik di Wyata Guna.
Baginya, keterbatasan fisik bukanlah batas mencari ilmu. Hingga saat ini, ia rutin latihan bowling semiggu sekali tiap hari Jumat. Jika mendekati pertandingan, latihannya ditingkatkan menjadi tiga kali dalam seminggu.
“Bagi saya ilmu paling berharga, kalau punya ilmunya bisa jadi apa pun. Tapi punya duit belum bisa jadi apa pun, kadang jadi gak dianggap berharga sama sekali,” terangnya.
Ketika ditanya mengenai cita-cita, Uje sempat tersenyum karena bingung harus menjawab apa. Baginya yang terpenting adalah menjadi yang terbaik dan bermanfaat bagi kehidupan orang banyak. Ia ingin menyampaikan juga pesan, kepada siapa pun yang membaca kisahnya, bahwa keterbatasan karena suatu keadaan, keterbatasan fisik, bukan menjadi alasan untuk berdiam diri. Harus tetap semangat untuk belajar.