• Berita
  • Klaim Keliru Pemerintah Soal Penggunaan Biomassa, Bencana Lingkungan di Depan Mata

Klaim Keliru Pemerintah Soal Penggunaan Biomassa, Bencana Lingkungan di Depan Mata

Kebijakan penggunaan biomassa akan mendesak hutan-hutan lindung yang luasannya terus menyusut. Jika hutan berkurang, bencana ekologis bermunculan.

Jembatan penghubung antardesa di Kecamatan Ciwidey, Kabupaten Bandung, putus dilanda bencana banjir bandung, Selasa (7/6/2022). (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)

Penulis Awla Rajul8 November 2023


BandungBergerak.idPemerintah berupaya menurunkan pencemaran emisi dengan menggunakan energi yang bersumber dari bioenergy khususnya biomassa kayu (pelet kayu). Pelet kayu diklaim netral karbon, dapat menurunkan emisi, berbasis ekonomi kerakyatan, dan merehabilitasi lahan. Namun, Wahana Lingkungan Hidup atau Walhi Jabar bersama Trend Asia menilai klaim tersebut keliru.

Wildan Siregar dari Divisi Advokasi Trend Asia menyampaikan bahwa netral karbon yang dimaksud pemerintah adalah aktivitas pembangkit yang menghasilkan emisi paling kecil. Biomassa digunakan untuk membangkitkan listrik tenaga biomassa, pemanfaatan langsung (pengasapan), ataupun skema co-firing pada pembangkit listrik tenaga uap (PLTU).

Menurut Wildan, netral karbon tidak akan dicapai selama sumber energi tersebut dibakar. Sedangkan untuk menghasilkan energi dari biomassa diperlukan pembakaran. Biomassa merupakan produk tanaman dari Hutan Tanaman Energi (THE) seperti akasia, pongam, eucalyptus, kaliandra, gamal, turi, dan lainnya.

Klaim ekonomi kerakyatan pun keliru. HTE akan mengubah struktur lahan menjadi monokultur yang akan berdampak banyak pada lingkungan. Dari sisi upah pekerja, lanjut Wildan, juga tak menguntungkan. Para pekerja hanya dibayar harian 60.000 rupiah dan ini tidak akan menciptakan kesejahteraan.

Sebaliknya, transisi energi yang disampaikan oleh pemerintah berkebalikan dengan ekonomi kerakyatan. Masyarakat kecil tidak dilibatkan dalam pembahasan transisi ini. Investasi menjadi pertimbangan utama dalam penyusunan kebijakan transisi energi.

“Percakapan (yang didorong) berkembang bahwa transisi harus memperhatikan masyarakat, masyarakat adat yang ada di dalamnya, jadi bukan kepentingan investasi,” ungkap Wildan, di Diskusi Publik: Mengenal Skema Co-Firing Biomassa dari Hulu ke Hilir yang diselenggarakan Walhi Jabar di District Dago Café & Resto, Selasa, 7 November 2023.

Pemerintah Indonesia merencanakan kontribusi bioenergi, khususnya biomassa pada target Energi Baru Terbarukan (EBT) tahun 2025 sebanyak 10,2 juta ton. Bioenergi memiliki potensi 57 gigawatt (GW) dengan pemanfaatan yang direalisasikan pada Oktober 2022 lalu sebanyak 3.073 megawatt (MW).

Pemerintah Indonesia pun menargetkan penerapan co-firing di 52 PLTU di seluruh Indonesia. Skema co-firing merupakan substitusi atau metode oplos batubara dengan biomassa dengan mencampur 10 persen biomassa untuk membangkitkan listrik di PLTU.

Wildan menegaskan skema tersebut merupakan akal-akalan pemerintah agar tidak menutup PLTU. Terlebih berdasarkan perhitungan Trend Asia diperkirakan, jika 52 PLTU di Indonesia sudah menggunakan skema co-firing akan menghasilkan emisi sebesar 26,48 juta ton carbon dioksida (CO2).

Selain itu, penggunaan skema biomassa membutuhkan setidaknya 2,3 juta hektare konsesi Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan (PBPH) baru dan mendorong deforestasi setidaknya 2 juta hektare.

Pada 2023, Trend Asia memantau pemerintah menargetkan 50 PLTU yang menggunakan skme co-firing. Untuk menyuplai skema co-firing ini membutuhan 2.20 juta ton biomassa. Pada tahun 2025, kebutuhan suplai biomassa ini meningkat hingga 10.20 juta ton untuk memasok ke 52 PLTU se-Indonesia. Angka ini bisa saja berubah, sebab ada wacana penggunaan skema oplosan ini menjadi full-firing, menggunakan biomassa 100 persen di PLTU.

Semangat investasi sangat kental dalam transisi energi ke biomassa ini. Wildan mengungkapkan, biomassa pelet kayu menjadi incaran pasar luar negeri, seperti Jepang, Korea, dan Eropa. Jepang merupakan negara yang sudah menggunakan skema full-firing. Jadi, biomassa ini menarik bagi banyak investor untuk memenuhi permintaan pasar internasional.

“Dua juta hektare luas lahan untuk HTE (baru) untuk kebutuhan PLN, belum ekspor,” ungkap Wildan.

Baca Juga: Refleksi 43 Tahun Walhi Jabar, Jawa Barat Dikepung Kerusakan Lingkungan
Pemerhati Lingkungan Mencium Pembiaran Aliran Limbah Cair TPA Sarimukti ke Sungai Citarum
Sungai Citarum, Berkah di Masa Lalu, Bencana di Masa Kini

 Suasana Diskusi Publik Walhi Jabar tentang Mengenal Skema Co-firing Biomass dari Hulu ke Hilir, di District Dago Cafe & Resto, Bandung, Selasa, 7 November 2023. (Foto: Awla Rajul/BandungBergerak.id)
Suasana Diskusi Publik Walhi Jabar tentang Mengenal Skema Co-firing Biomass dari Hulu ke Hilir, di District Dago Cafe & Resto, Bandung, Selasa, 7 November 2023. (Foto: Awla Rajul/BandungBergerak.id)

Dampak Negatif dari Hulu ke Hilir

Provinsi Jawa Barat merupakan salah satu yang menggunakan skema co-firing biomasa, yaitu di PLTU Indramayu dan PLTU Pelabuhan Ratu Sukabumi. Adapun beberapa wilayah yang menjadi Kelompok Petani Hutan (KPH) HTE ada di Sukabumi, Purwakarta, Indramayu, dan Sumedang yang ditanami tanaman jenis gamal dan kalindra.

PLTU Pelabuhan Ratu Sukabumi membutuhkan pasokan pelet kayu 223,735 ton per tahun untuk mendukung skema co-firing 10 persen oplosan biomassa. Adapun luas dari empat KPH HTE di Jawa Barat yang terbagi pada dua jenis tanaman tersebut adalah, jenis gamal seluas 4.295 hektare dan jenis kalindra 4.986 hektare.

Haerusin Inas dari Walhi Jabar menyebutkan, lahan-lahan tersebut lebih baik dijadikan hutan lindung atau hutan konservasi alih-alih menjadi HTE untuk menyokong kebutuhan skema co-firing. Capung, demikian ia kerap disapa, menjelaskan yang menjadi soal adalah Jawa Barat yang memiliki jumlah penduduk yang banyak dan rawan bencana.

“Tapi masalahnya itu adalah hutan di kita, terutama hutan lindung dan konservasi itu justru menurun, menyempit. Jadi itu akan berdampak pada kondisi layanan kita sebagai manusia yang membutuhkan hutan, salah satunya kebutuhan air,” ungkap Capung, dalam diskusi yang dimoderatori oleh Rahma Husna dari Sahabat Walhi Jawa Barat.

Ia menyebutkan hutan lindung di Jawa Barat semakin ironis karena luasnya menyempit. Sementara hutan-hutan produksi luasnya lebih besar daripada hutan lindung dan atau hutan konservasi. Capung menegaskan, sebaiknya hutan lindung diperluas dengan cara menaikkan status hutan produksi sebagai hutan lindung.

“Hutan produksi itu dinaikkan saja statusnya menjadi hutan lindung yang itu sudah jelas pemanfaatannya akan dirasakan oleh kita,” ungkapnya.

Salah satu dampak yang akan sangat dirasakan dari hutan industri adalah akses air bersih dan mitigasi bencaba banjir. Sebab dataran tinggi yang ditanami tanaman energi yang dipanen setiap dua hingga tahun sekali akan menyebabkan sedimentasi ke sungai. Air hujan yang turun di lahan gundul usai panen akan membawa tanah meluncur ke sungai.

“Semakin air banyak lari maka di perkotaan akan semakin mendapatkan bencana ekologis yang lebih tinggi. Jadi banjir itu akan cepat terjadi,” beber Capung.

Ujung dari persoalan ini akan menyebabkan kebutuhan air bagi pertanian dan sehari-hari semakin sulit. Capung menyinggung pepatah lama, semakin banyak hutan akan semakin banyak cadangan air. Makanya yang dibutuhkan Indonesia saat ini adalah hutan konservasi dan hutan lindung, bukan HTE yang membuktikan akan adanya bencana di masa depan. HTE ini juga merupakan klaim pemerintah untuk memanjangkan umur PLTU dengan skema co-firing maupun full-firing.

Direktur Eksekutif Walhi Jawa Barat Wahyudin menambahkan, pemerintah seharusnya meningkatkan pengelolaan hutan oleh rakyat daripada mengutamakan investasi. Ia mencium ada politik bisnis di balik skema co-firing. Skema ini merupakan upaya pemerintah yang sama sekali tidak serius hendak mempensiunkan PLTU dan mencapai Net Zero Emission.

“Potensi (politik bisnis) beberapa negara yang hendak menjual produknya (ke Indonesia) terhadap co-firing hingga full-firing,” tandas Wahyudin.

*Kawan-kawan bisa membaca reportase-reportase lain dari Awla Rajul, atau tulisan-tulisan lain tentang Lingkungan Hidup

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//