• Ketahanan Pangan
  • Membahas Pangan Pengganti Beras dalam Ramu Saji Rempah Riung Gunung Bandung

Membahas Pangan Pengganti Beras dalam Ramu Saji Rempah Riung Gunung Bandung

Makanan pokok di Indonesia diidentikan dengan beras. Padahal masih ada umbi-umbian, sagu, dan kekayaan agraris lainnya yang yang bisa menjadi pengganti beras.

Peserta membuat olahan pangan di lokakarya Ramu Saji Rempah Riung Gunung Bandung yang digagas Jendela Ide Indonesia di Dalemwangi Artspace, Bandung, Sabtu, 28 Oktober 2023. (Foto: Tofan Aditya/BandungBergerak.id)

Penulis Tofan Aditya1 November 2023


BandungBergerak.idDi balik ketergantungan masyarakat akan beras, nyatanya masih ada beberapa wilayah di Indonesia yang masih menjadikan pangan lokal, seperti umbi-umbian, sorgum atau sagu, sebagai sumber makanan pokok.

Di Bandung Raya, salah satu daerah yang masih melestarikan tradisi mengonsumsi pangan lokal adalah Kampung Adat Cireundeu. Kampung adat yang berlokasi di bagian selatan Kota Cimahi ini menjadikan ketela atau singkong sebagai pemenuh kebutuhan karbohidrat harian.

Aktivitas warga Kampung Adat Cirendeu dalam melestarikan pengetahuan dan teknologi tradisional diceritakan dalam kegiatan bertajuk Lokakarya Ramu Saji Rempah Riung Gunung Bandung yang digagas oleh Jendela Ide Indonesia.

Lokakarya ini mencoba mempresentasikan olahan makanan dengan uraian latar belakang cerita, kandungan, teknik pengolahan, pengetahuan nutrisi, dan teknologi meracik yang disajikan secara holistik. Sebanyak delapan komunitas hadir ke kegiatan yang berlokasi di Dalemwangi Artspace, Bandung, Sabtu, 28 Oktober 2023.

“Sayangnya hari ini kita selalu menganggap bahwa makanan pokok itu identik dengan beras. Padahal yang dibutuhkan adalah tenaga, sumber karbohidrat. Karbohidrat itu ada di banyak sumber makanan,” terang Yana, kepada seluruh peserta kegiatan yang hadir.

Kang Yana, demikian salah satu warga Kampung Adat Cireundeu itu biasa disapa, menceritakan awal mula pilihan untuk mengonsumsi rasi (beras singkong) adalah sebagai perlawanan atas politik kolonial. Kala itu, ketika beras dikuasai dan dimonopoli oleh penjajah Belanda, masyarakat Kampung Adat Cireundeu mencari sumber makanan pokok yang tumbuh di sekitar.

Selain Kang Yana, adapun narasumber lain yang berbicara dalam gelaran lokakarya ini adalah Asep dari Pamolahan Sangkuriang. Ia membagikan langkah demi langkah pembuatan garam rempah. Di atas meja, Asep memperkenalkan bahan baku pembuatan garam rempah, mulai dari garam krosok, cengkih, lengkuas, pala, kayu manis, kapulaga, merica hitam dan putih, bunga lawang, hingga daun surian.

Dibantu sang istri, Heli, Asep kemudian mengolah bahan-bahan tersebut dengan cara menyangrai seluruh bahan-bahan tadi di atas wajan dari gerabah. Setelah kering, seluruh bahan diulek sampai halus. Garam rempah ini memiliki aroma yang khas dan dapat digunakan sebagai pengganti bumbu penyedap rasa.

Foto bersama peserta lokakarya Ramu Saji Rempah Riung Gunung Bandung yang digagas Jendela Ide Indonesia di Dalemwangi Artspace, Bandung, Sabtu, 28 Oktober 2023. (Foto: Tofan Aditya/BandungBergerak.id)
Foto bersama peserta lokakarya Ramu Saji Rempah Riung Gunung Bandung yang digagas Jendela Ide Indonesia di Dalemwangi Artspace, Bandung, Sabtu, 28 Oktober 2023. (Foto: Tofan Aditya/BandungBergerak.id)

“Terus kalau dari sisi nutrisi, mudah-mudahan ada ahli gizi. Duka naon kandunganna, kadang-kadang ari orang lembur mah nu penting sehat. Terus ieu (rempah-rempah) jang obat, tidak mungkin akan menjadi karacunan,” ucap Asep di sela-sela memperkenalkan bahan baku garam rempah.

Setelah Asep, giliran M. Haris Triadi dari Rumah Ramu yang mempresentasikan hasil olahannya, yakni Nasi Reumbeuy. Dengan sedikit sentuhan modern, Haris mengolah nasi reumbeuy yang terdiri dari campuran nasi dan kacang-kacangan ini diolah hingga mirip seperti sushi. Olahan pangan yang biasanya menjadi bekal para petani ini dibuat relevan bagi orang-orang muda hari ini. 

Setiap peserta yang hadir terlihat menyimak pemaparan demi pemaran dengan seksama. Sesekali, perwakilan dari komunitas Alam Jabar, Kawargian Padepokan Pasir Ipis Lembang, KTO Sari Alam, Komunitas Budi Daya, Komunitas Tani Kopi Palintang, Ruma Ramu, Praktisi Pengetahuan Tradisional, dan Yayasan Negeri Rempah mengajukan pertanyaan kepada setiap pemapar, sambil sesekali mencicipi hidangan yang telah dibuat.

“Jangan takut terigu gak ada, jangan takut beras pun langka. Toh masih banyak sumber pangan di sekitar kita. Kita negara agraris di manapun bisa tumbuh. Asal ada kemauan,” jawab Yana menanggapi pertanyaan kekhawatiran salah seorang peserta akan kelangkaan beras.

Baca Juga: Kawasan Pantura harus Menjadi Sumber Pangan Jawa Barat, Bukan Kawasan Industri
Mencegah Stunting di Kota Bandung tidak Cukup dengan Bantuan Pangan
Kemah Ramu Rempah, Belajar Mencintai Herbal dan Rempah Nusantara

Pembuatan rempah pada lokakarya Ramu Saji Rempah Riung Gunung Bandung yang digagas Jendela Ide Indonesia di Dalemwangi Artspace, Bandung, Sabtu, 28 Oktober 2023. (Foto: Tofan Aditya/BandungBergerak.id)
Pembuatan rempah pada lokakarya Ramu Saji Rempah Riung Gunung Bandung yang digagas Jendela Ide Indonesia di Dalemwangi Artspace, Bandung, Sabtu, 28 Oktober 2023. (Foto: Tofan Aditya/BandungBergerak.id)

Jendela Ide Indonesia Melestarikan Pengetahuan dan Teknologi Tradisional

Kegiatan pada siang hari ini merupakan upaya Jendela Ide Indonesia untuk memperkaya pengetahuan kuliner tradisional. Bekerja sama dengan Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Jawa Barat, kegiatan ini dijadikan sebagai Ruang Tamu Jawa Barat dalam menyambut Pekan Kebudayaan Nasional 2023.

Sejak setahun terakhir, Jendela Ide Indonesia merespons kehadiran Undang-Undang Pemajuan Kebudayaan dengan berfokus pada dua objek pemajuan kemudayaan, yakni pengetahuan dan teknologi tradisional. Menggandeng komunitas, Jendela Ide Indonesia ingin membuat jejaring dengan berbagai organisasi kebudayaan dan menghadirkan tawaran bersama ke depan, utamanya dalam persoalan ketahanan pangan.

“Pangan ini merupakan sebuah isu yang sangat penting sekaligus krusial saat ini. Karena kita berhadapan dengan berbagai macam persoalan yang berhubungan dengan perubahan iklim, kemudian keterhubungan kita dengan alam dan lingkungan, terus juga bagaimana kita membangun perspesktif bersama antara manusia dan alam,” ucap Marintan Sirait, salah seorang pendiri Jendela Ide Indonesia.

Selain masalah ekologi, Andar Manik, yang juga merupakan pendiri Jendela Ide Indonesia, menjelaskan bahwa pengetahuan dan teknologi tradisional memiliki masalah lain, mulai dari ekonomi, etik, dan moral. Dari sekian banyak olahan tradisional, hanya sedikit produk yang sampai ke publik. Selain itu, sedikitnya dokumentasi memperbesar peluang bangsa asing untuk melakukan klaim terhadap produk-produk olahan tradisional.

Baik Marintan maupun Andar berharap, Jendela Ide Indonesia dapat menjadi hub yang mempertemukan komunitas-komunitas budaya lokal, akademisi, pemerintah, dan media, untuk menyelesaikan persoalan ketahanan pangan ini. Lebih jauh dari itu, Jendela Ide Indonesia ingin membuat market bersama dalam upaya memasarkan produk agar masalah-masalah yang sebelumnya dibahas dapat teratasi.

“Dari segi komunitas dan penguatan, kami ingin mengaktivasi lahan-lahan itu sendiri dengan model pengelolaan ramah ekologi,” harap Andar diakhir wawancara.

*Reportase ini adalah hasil kerja sama antara BandungBergerak.id dan Jendela Ide Indonesia dalam program Ruang Tamu Jawa Barat.

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//