• Kolom
  • MEMORABILIA BUKU (40): Tak Menyangka Menggondol Juara Ke-2 Stand Terbaik

MEMORABILIA BUKU (40): Tak Menyangka Menggondol Juara Ke-2 Stand Terbaik

Mendapatkan piala sebagai Juara ke-2 Stand Terbaik Pameran Buku Bandung 2013 adalah kejutan. Juara stand terbaik selama ini selalu diraih penerbit-penerbit besar.

Deni Rachman

Pemilik Lawang Buku, pegiat perbukuan, dan penulis buku Pohon Buku di Bandung.

Tim kerja stand LawangBuku, kawan-kawan di pameran, dan mitra berfoto bersama sambil memegang piala Juara ke-2 Stand Terbaik Pameran Buku Bandung 2013. (Sumber foto: Deni Rachman)

18 April 2022


BandungBergerak.idTak dinyana-nyana. Tak disangka-sangka. Pulang-pulang memboyong piala. Begitulah kira-kira ungkapan saya saat itu yang mewakili rasa kaget sekaligus gembira, karena mendapatkan piala sebagai Juara ke-2 Stand Terbaik Pameran Buku Bandung 2013. Juara 1 diraih oleh Sygma Publishing dan Juara 3 oleh Mizan Dian Semesta.

Saya dipersilakan naik ke atas panggung yang terletak di ujung kanan gedung eks Toko Buku Van Dorp itu. Berjejer di sana perwakilan dari para penerbit, termasuk yang terpilih mendapatkan juara sampul buku terbaik.

Dengan jantung ber-dagdigdug, tentunya ini untuk kali pertama semenjak di tahun 2006 mengikuti pameran yang diselenggarakan oleh Ikapi Jabar, LawangBuku menerima piala. Lebih tepatnya sebagai sebuah kebanggaan dan penghargaan atas usaha dan kerja tim produksi stand dengan dekorasi jadul besutan Puji, Jiman, dan Gina. Terima kasih saya ucapkan juga kepada Pak Sudarsono Katam, yang saat itu berkenan meminjamkan properti meja-kursi jadulnya untuk menjadi bagian dari dekorasi interior stand LawangBuku.

Piala diserahkan oleh pengurus Ikapi Jabar, Kang Rahmat Taufik Hidayat. Kang Rahmat buat saya tentu tak asing lagi karena beliau adalah direktur penerbit Kiblat Buku Utama yang menerbitkan buku-buku Sunda. Kisah saya saat memasarkan buku-buku Sunda terbitan Kiblat ini pernah saya angkat di Memorabilia Buku (5) saat LawangBuku baru memulai merintis usaha buku.

Beberapa pengunjung pameran tengah mengunjungi stand berdekorasi jadul, difoto dari balkon Landmark sebelah kanan. (Sumber foto: Deni Rachman)
Beberapa pengunjung pameran tengah mengunjungi stand berdekorasi jadul, difoto dari balkon Landmark sebelah kanan. (Sumber foto: Deni Rachman)

De javu, di Panggung yang Berbeda

Suasana de javu sempat menyelimuti kenangan saya, melompat ke beberapa tahun silam. Saat itu di panggung yang berbeda namun sama diselenggarakan oleh Ikapi, saya menerima penghargaan Juara Pertama Lomba Meresensi Buku. Saya berdiri di atas panggung yang ditempatkan di lahan parkir barat Balai Kota Bandung. Saya mendapatkan piala kecil dan piagam untuk tulisan saya meresensi buku Si Rangka, karya Riyono Pratikto (Pustaka Jaya, 2002). Saya meresensi karya cerpenis Indonesia itu karena kisah menarik yang ia ceritakan dalam buku, pun untuk nasib hidupnya yang tabah menjalani cobaan hidup. 

Riyono Pratikto merupakan seorang cerpenis horor yang sangat produktif di tahun 1950-1960-an. Ia lahir di Ambarawa, 27 Agustus 1932 dan meninggal pada usia 73 tahun di Bandung, 30 Oktober 2005. Pada masa produktifnya, Ajip Rosidi menyebutnya sebagai bintangnya di antara para pengarang muda. Tahun 1957, ia bersama Rendra dan Sugiarta Sriwibawa diundang untuk menghadiri Festival Pemuda Internasional di Moskow. Singkat cerita, Ajip duduk membela Riyono saat dipecat dari pekerjaannya di tahun 1980-an sebagai dosen Unpad dan kehilangan hak pensiunnya, karena dituduh terlibat Gestapu 1965. Sepanjang ingatan Ajip, Riyono tak pernah ikut Lekra atau aktif di organisasi kiri.

Dalam kesempatan berbeda, saya mewakili penerbit Wisata Literasi pernah mendapatkan penghargaan Juara 1 sampul buku terbaik pada ajang Pesta Buku Bandung 2014. Buku yang waktu itu saya ajukan yaitu buku Menjadi Bangsa Pembaca karya Adew Habtsa. Kang Ibnu Hijar Apandi yang saat itu berhalangan hadir, dikarenakan sakit, begitu semringah mendengar kabar gembira itu. Secara tidak langsung raihan ini mendongkrak penjualan buku Adew yang dipasarkan di stand LawangBuku.

Baca Juga: MEMORABILIA BUKU (37): Halo Halo Bandung… Napak Tilas Bandung Lautan Api
MEMORABILIA BUKU (38): Asyik dan Unik, Peluncuran Buku Sundea di Taman Lalu Lintas
MEMORABILIA BUKU (39): Ngabuburit, Pameran Buku, dan Masjid Salman ITB

Suasana panggung acara sesaat setelah pembagian juara stand terbaik dan sampul buku terbaik di ajang Pameran Buku Bandung 2013. (Sumber: Deni Rachman/Puji Ramdhani/Jiman Suhadi).
Suasana panggung acara sesaat setelah pembagian juara stand terbaik dan sampul buku terbaik di ajang Pameran Buku Bandung 2013. (Sumber: Deni Rachman/Puji Ramdhani/Jiman Suhadi).

Kategori Juara Stand dan Sampul Buku Terbaik

Kompetisi ini rupanya sudah menjadi tradisi rutin setiap akhir pameran buku yang diselenggarakan oleh Ikapi Jabar di Gedung Landmark. Saya tidak tahu persis sejak kapan dimulainya lomba itu, namun seingat saya ajang lomba bagi para peserta stand (untuk kategori stand terbaik) dan bagi para penerbit (untuk kategori sampul buku terbaik) sudah ada di tahun 2006-an.

Biasanya di hari terakhir pameran, panitia sibuk warawiri ke stand-stand untuk meminta buku-buku yang dilombakan. Kabarnya juri sudah memantau beberapa hari di saat pameran berlangsung. Di saat hari terakhir itu juga juri yang menilai stand dan sampul buku, akan memutuskan siapa pemenangnya. Pengumuman lomba ditempatkan di slot acara penutupan pameran. Khusus untuk pengajuan sampul buku terbaik, saat itu di tahun 2014 saya turut membidani kelahiran buku Adew, dengan izin penerbit saya serahkan 1 buku bergenre memoar itu kepada pihak panitia.

Pemenang stand terbaik biasanya diraih oleh Mizan atau Sgyma. Kedua penerbit besar ini terkadang silih berganti beda posisi juara saja. Yang pasti, kedua penerbit itu langganan mendapatkan juara lomba stand terbaik. Stand yang amat besar dan dekorasi yang mereka upayakan dengan dana operasional yang sudah dianggarkan, tentu menjadi suguhan interior yang menarik hati dan maksimal.

Penulis saat memboyong piala Juara ke-2 Stand Terbaik. (Sumber: Deni Rachman)
Penulis saat memboyong piala Juara ke-2 Stand Terbaik. (Sumber: Deni Rachman)

Mengapa Bisa Juara, ya?

Pertanyaan itu yang terus terngiang-ngiang di benak saya dan juga kawan-kawan tim produksi LawangBuku saat itu: kenapa bisa juara ya? Apa yang menjadi dasar penilaian dan pertimbangan tim juri menyematkan juara?

Bahkan Puji Ramdhani yang turut ambil bagian mendekor stand LawangBuku tak pernah menyangka akan mendapat juara stand terbaik.

"Nu pasti mah teu nyangka tiasa juara 2 karena juara langganan seperti biasa stand-stand penerbit besar," ungkap Puji ketika saya membuka obrolan mengenang momen itu.

Informasi awal mengenai juara stand itu berawal dari sinyal Pak Agus, salah seorang panitia senior di pameran buku sejak tahun 1980-an, memberi informasi agar saya turut menghadiri area acara. “Pak Deni jangan pulang dulu ya, ditunggu di panggung,” sambil tersenyum Pak Agus melengos ke arah panggung acara. Saya, Jiman, dan Puji saling bersitatap, dan sejurus kemudian kami turut hadir di area panggung acara memenuhi undangan Pak Agus itu.

Tibalah saatnya pengumuman yang dinanti-nanti itu. Dan betullah dengan rasa puji dan syukur, LawangBuku mendapatkan juara ke-2 stand terbaik. Setelah semua pemenang stand terbaik dan sampul terbaik disematkan piala, kami lalu berfoto bersama. Saya menuruni tangga panggung serasa mimpi saja, karena sekali lagi tak menyangka bisa menggondol piala itu, yang selama pameran ini saya ikuti tak terbersit sedikit pun untuk bisa meraihnya.

Suasana ruang tengah rumah penulis saat persiapan pameran. Gina (berbaju merah), Puji Ramdhani (berkaos abu-abu), dan Jiman Suhadi (membelakangi kamera). Area gudang di belakang foto sudah tak cukup menampung stok untuk untuk pameran. (Sumber: Deni Rachman)
Suasana ruang tengah rumah penulis saat persiapan pameran. Gina (berbaju merah), Puji Ramdhani (berkaos abu-abu), dan Jiman Suhadi (membelakangi kamera). Area gudang di belakang foto sudah tak cukup menampung stok untuk untuk pameran. (Sumber: Deni Rachman)

Puji dan Jiman menyambut di area tempat duduk dan turut mengabadikan momen langka itu. Kami lalu memboyong piala ke stand mungil seukuran petak 1,5 x 3 meter di balkon gedung Landmark. Di sana sudah menunggu kerabat dan mitra yang sempat hadir, lalu kami berfoto bersama. Malam beranjak malam. Dengan bersuka cita kami menutup hari terakhir pameran, mengepak dus-dus buku, membereskan seluruh properti, dan menyiapkan armada pengangkutan menuju gudang buku.

Saya menatap lagi stand buku sebelum menutup stand dan melepas satu persatu properti dekorasi stand. Stand buku yang sudah direncanakan dan dikonsep dengan gaya tempo doeloe ini awalnya semata-mata untuk mendukung komoditi buku yang saya jual: buku-buku antik dan lawas.

Di stand yang mungil, kami menaruh bebarapa meja-kursi jati, kursi besi tua, dan meja klasik. Ambalan yang menempel berkolom di dinding stand, kami hiasi dengan karung goni yang kami beli dari pasar Balubur. Di dinding kasir, ditempel papan tulis hitam yang sudah diimbuhkan tulisan dari kapur. Lampu sorot sengaja dipasang Puji dari sudut stand supaya memberi kesan temaram. Dan dari balik meja kasir, saya setel lagu-lagu jadul seperti Lilis Suryani dan Benyamin Sueb. Pojok stand balkon berubah seolah-olah pengunjung stand sedang masuk ke lorong waktu tahun 50-60-an.  Rupanya inilah yang membuat juri kepincut.

Pentingnya Perencanaan dan Konsep Penjualan Buku

Ihwal persiapan pameran, saya biasanya mempersiapkan segala sesuatunya sejak 2 minggu sebelum Hari-H. Berbekal pengalaman kecil-kecilan saat menjadi EO, pra-event bagi saya merupakan salah satu tahap penentu keberhasilan suatu acara yang akan berlangsung di hari-H pelaksanaan.

Di bulan September 2013, ada kesibukan yang sebetulnya sudah menjadi rutinitas di gudang buku saat akan berpameran. Kali itu, saya dan Puji yang kebagian merancang desain interior stand, lalu Jiman yang menyiapkan stok buku, dan Gina yang menyiapkan administrasi input stok buku. Dari pagi hingga malam, bahkan bisa menembus sampai larut malam alias begadang jika sudah mendekati H-3. H-2 biasanya saya kosongkan aktivitas untuk beristirahat atau menukar uang kembalian ke bank. Rehat sejenak itu saya lakukan guna menjaga stamina tubuh supaya tidak kelelahan saat loading in, memajang buku, dan mendekorasi stand, yang terkadang pernah selesai hingga dini hari.

Dari pra-event itu, saya menyusun lembaran check-list kebutuhan stand mulai dari stok buku, peralatan stand (tang, palu, kawat, dll.), roda troli, rak buku, kursi, perlengkapan dekorasi (kain penutup display, biasanya saya membawa kain lurik dan kain hitam), kain penutup stand, sound system kecil, kabel terminal, dan lain sebagainya.

Penulis saat mendapatkan hadiah Juara 1 Lomba Meresensi Buku Ikapi Jabar pada Hari Buku Nasional 2005. (Sumber: Deni Rachman)
Penulis saat mendapatkan hadiah Juara 1 Lomba Meresensi Buku Ikapi Jabar pada Hari Buku Nasional 2005. (Sumber: Deni Rachman)

Untuk kebutuhan kasir, saya menyiapkan nota, kalkultor, laptop, dan tentunya uang receh guna kembalian uang transaksi pembeli. Uang receh saya tukarkan saat H-2 di bank, atau jika kehabisan saat pameran, saya bisa menukarkan di bank terdekat lokasi pameran. Yang saya butuhkan tentu uang kecil lembaran 5 ribu dan 10 ribu, menyesuaikan banderol buku yang saya sudah terakan banderolnya dengan kelipatan 5 ribu. Sepele namun vital, begitulah untuk urusan uang receh ini, jadi saya tak perlu pontang-panting meminjam/menukarkan uang ke stand sebelah atau menagih ke konsumen supaya membeli dengan uang pas.

Suatu waktu, ketika di stand saya kedatangan kawan senior EO. Sambil mengobrol ringan, ia menandaskan pentingnya konsep saat mengelola kegiatan. Konsep ini berupa ide yang dimaterikan menjadi inti kegiatan. Hal sederhananya, saran kawan itu saya praktikkan, saya memakai konsep stand dengan gaya jadul tahun 1950-1960-an. Jadi, seluruh materi stand seperti display, komoditi, kostum, publikasi akan mengacu ke konsep jadul tersebut.

Untuk menyiapkan konsep jadul itu, saya memutuskan untuk meminjam properti milik Pak Sudarsono Katam. Pak Katam, biasa saya memanggil beliau, adalah seorang penulis produktif buku-buku tematik sejarah Bandung. Buku perdananya Album Bandoeng Tempo Doeloe masuk ke dalam kategori buku best-seller, sejak diterbitkan oleh Navpress, 2006. Pertama kalinya saya bisa bertemu Pak Katam, ketika bukunya dibedah di Galeri Kita, Jalan Riau. Sejak itu, saya turut memasarkan bukunya dari pameran ke pameran. Termasuk properti pigura dan foto-foto Bandoeng Tempo Doeloe sudah sering dipinjamkan dari pihak penerbit. Tautan kerja sama ini terus berlangsung hingga saya bisa berangjangsana ke rumahnya di Jalan Tanjung.

Suasana tempo lawas saya rasakan ketika memasuki rumah Pak Katam. Kursi-kursi, rak, meja, dan ditambah musik piringan hitam yang Pak Katam setel menambah lekat suasana itu. Di ruang pavilun sebelah kiri rumahnya, ia rupanya membuka toko buku lawasan G-Books. Inisial huruf G, diambil dari nama Gina, puteri kesayangannya.

Kami lalu menjalin kerja sama penjualan buku. Sejak saya membuka kembali usaha buku di tahun 2010-an melalui media sosial facebook, sebagian besar pasokan bukunya berasal dari toko G-Books. Pak Katam dengan senang hati memberikan pelayanan penjualan bukunya. Beberapa buku yang saya beli dari tokonya saya simpan untuk saya baca dan koleksi.

Salah satu koleksi yang teramat berharga yang saya beli yaitu buku Indonesische Overpeinzingen karya Sjahrazad terbitan De Begize Bij, Amsterdam, 1945. Sjahrazad merupakan nama pena dari Sutan Sjahrir, buku itu kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia berjudul Renungan Indonesia. Isinya memuat surat-surat pribadi Sjahrir kepada kekasihnya Maria Duchateau ketika Sjahrir diasingkan di Cipinang, Digul, dan Banda Neira - bertanggal mulai 24 Maret 1931 sampai 25 Maret 1938; mengisahkan hubungan pribadi dirinya dengan bangsa yang ia cintai, ia perjuangkan, meskipun kerap ia tak memahaminya.

Saat saya membeli buku tersebut, saya tidak memperhatikan dengan teliti. Barulah setiba di rumah saya perhatikan, di halaman judul tertera tulisan tangan bersambung: “Oentoek Siti Noeroel dari pengarang. Solo 10-5-’46”. Di beberapa halaman selanjutnya terdapat tanda tangan yang jika dieja menyerupai nama “Kusumawardhani”. Nama-nama itu kemudian mengarah ke satu nama: Gusti Nurul atau nama lengkapnya Gusti Raden Ayu Siti Noeroel Kamaril Ngasarati Kusumawardhani, seorang putri cantik Raja Mangkunegaran Solo. Sudah bisa saya tebak, tulisan itu dari siapa, karena dari kabar biografinya, Sutan Sjahrir pernah memuja kecantikan Gusti Nurul.

Dari buku spesial dan buku-buku langka yang saya dapatkan dari tokonya Pak Katam, menambah saya makin bersemangat membawa buku G-Books itu ke pameran buku. Pak Katam pun mengizinkan. Bahkan puji syukur ia pun mengizinkan saya meminjam beberapa kursi, meja, dan rak antiknya untuk menjadi properti display di Pameran Buku Bandung 2013.

Penambahan properti khusus ini berefek pada penambahan armada pengangkutan dan biayanya, yang biasanya saya merental mobil bak terbuka hanya 1 kali. Ada dua keberangkatan dari gudang buku dan dari rumahnya Pak Katam. Mas Adi, sang supir merangkap pengangkut barang, merasakan benar beratnya mengangkat meubel-meubel jati itu.

Meski bersusah-payah dahulu di awal, usaha mengonsep pameran itu berbuah hasil. Sang piala saat ini masih berdiri di antara buku-buku dan seakan memberi pesan: kerja keras takkan mengkhianati hasil. Salambuku!

NB:

Terima kasih kepada para pembaca budiman Memorabilia Buku di BandungBergerak.id. Dengan dimuatnya edisi ke-40 ini, itu berarti sampai sudah di penghujung saya berkisah. Sampai jumpa di tulisan berikutnya. Beribu terima kasih untuk Bung Joko dan tim redaksi BandungBergerak.id. Tabik!

Editor: Redaksi

COMMENTS

//