• Kolom
  • BIOGRAFI ANDRIES DE WILDE #23: Penerbitan Kamus Sunda Pertama Tahun 1841

BIOGRAFI ANDRIES DE WILDE #23: Penerbitan Kamus Sunda Pertama Tahun 1841

Naskah kamus Sunda disusun Andries de Wilde saat berada di Bandung sejak 1809. Saat itu ia mengajari anak-anak para pemuka Bandung baca tulis.

Atep Kurnia

Peminat literasi dan budaya Sunda

Lukisan Taco Roorda tahun 1859. Taco adalah guru besar bahasa di Amsterdam dan menjadi penyunting kamus karya Andries de Wilde. (Sumber: Wikimedia Commons)

29 Agustus 2022


BandungBergerak.id - Sekitar tiga tahun setelah Andries de Wilde membuat petisi kepada raja Belanda, pembaca diperkaya dengan hadirnya kamus Sunda yang pertama. Itulah Nederduitsch, Maleisch en Soendasch Woordenboek (kamus bahasa Belanda-Melayu dan Sunda) susunan Andries dan suntingan Taco Roorda (1801-1874), guru besar Ilmu Bahasa dan Kesusastraan Timur dan Ilmu Filsafat Teori di Amsterdam.

Buku itu diterbitkan Johannes Muller di Amsterdam pada 1841 dan dicetak oleh C.A. Spin. Saya mendapati, kamus susunan Andries mulai diiklankan sejak awal Agustus 1841 dan berlanjut bahkan hingga 1843. Koran pertama yang mengumumkannya, Opregte Haarlemsche Courant dan Algemeen Handelsblad edisi 3 Agustus 1841. Bunyi iklannya: “A. de WILDE, Nederduitsch, Maleisch en Soendasch Woordenboek, benevens twee stukken tot oefening in het Soendasch. Uitgegeven door TACO ROORDA, gr. 80. 1841 f.3,75”.

Dari iklan tersebut saya tahu kamus susunan Andries de Wilde berjudul lengkap Nederduitsch, Maleisch en Soendasch Woordenboek, benevens twee stukken tot oefening in het Soendasch, dicetak menggunakan kertas 80 gram, dan dijual seharga 3,75 gulden.

Koran lain yang mengiklankannya adalah Groninger Courant (3 Agustus 1841), Leeuwarder Courant (10 Agustus 1841), dan Bredasche Courant (17 Agustus 1841). Semua redaksi iklan yang dipasang dalam koran-koran itu dapat dibilang sama yang Opregte Haarlemsche Courant dan Algemeen Handelsblad edisi 3 Agustus 1841.

Bila diperhatikan secara saksama, Nederduitsch, Maleisch en Soendasch Woordenboek terdiri atas 15 halaman Romawi (I-XV) pengantar (voorberigt) dari Taco Roorda, satu halaman (XVI) ralat (verbeteringen) dan cara penulisan aksara Jawa atau Cacarakan (halaman XVII), lema kamus dari A hingga Z (halaman 1 hingga 220), dan lampiran contoh penggunaan bahasa Sunda (Stukken tot Oefening in het Soendasch) pada halaman 221 hingga 240.

Sebagaimana judulnya, kamus Andries merupakan kamus tiga bahasa. Alhasil, lema-lemanya disusun berturut-turut Belanda, Melayu dan Sunda, dan di ujung halaman kanan ada penulisannya dalam aksara Jawa. Sebagai contoh lema pertamanya “Aal. Maleisch: ikan lendong, beloet. Soendasch: beloet”; lema kedua “Aalmoes, liefdefift. M. derma, sedekah. S, derma, sidekah” (1841: 1), dan lema terakhir “Zwoord, spekzwoord. M. koelitbabi. S. koelit bedoel” (1841: 220).

Untuk dua contoh penulisan bahasa Sunda berkaitan dengan “Pagawéan njién kebon kopi” (pekerjaan menyelenggarakan kebun kopi, 1841: 221-234) dan “Ijëh sa-widji tjarita ti barang mimiti lalakki boga niat ka awéwé rek ewéan” (cerita sejak laki-laki berniat untuk beristri, 1841: 234-240). Paragraf pertama dari contoh pertama sebagai berikut: “Lamoen ges mënang lahan, attawa tegal, attawa passir, attawa lëwëng, di-mana anoe rëk di-njiën kebon kopi, moedoe di boelan Sawal mimiti noewarran kahi anoe gedé gede; serta kahi anoe lalëttik, kasso, ëri, sakahë anoe, mattak djadi ballah, koedoe di-tjatjar” (Bila sudah mendapatkan lahan atau tegal, bukit, atau hutan, tempat untuk dijadikan kebun kopi, langkah pertamanya adalah menebang kayu-kayunya yang besar pada bulan Syawal; dan kayu kecil seperti kaso dan eri. Pokoknya, semua yang akan menyebabkan banyak sampah harus disiangi).

Kemudian paragraf pertama untuk contoh kedua: “Etta lalakki poepoelih ka indoeng bapana, ijen rëk éwéan ka nji anoe. Ari ommong bapana indoengna: hadé, lamoen nja temmen manéhna boga niat sakitoe, mangké oerang nitahan paman manéhna, attawa kaka manéhna, masingna ngolongan” (Laki-laki itu memberitahu ibu-bapaknya bahwa akan memperistri perempuan anu. Ujar bapak ibunya: Bagus, bila kau sungguh-sungguh berniat begitu, nanti kita minta pamanmu atau kakakmu untuk menjajakinya).

Iklan kamus Belanda, Melayu, dan Sunda karya Andries de Wilde. (Sumber: Bredasche Courant, 17 Agustus 1841)
Iklan kamus Belanda, Melayu, dan Sunda karya Andries de Wilde. (Sumber: Bredasche Courant, 17 Agustus 1841)

Keterangan Taco Roorda

Informasi Taco Roorda dalam pengantar Nederduitsch, Maleisch en Soendasch Woordenboek sangat menarik untuk dicermati. Karena dari pengantar itu kita dapat mengetahui keadaan bahasa Sunda, perbandingannya dengan bahasa Jawa, dan eksistensi sastra Sunda hingga paruh pertama abad ke-19.

Pada awal tulisannya yang selesai disusun di Amsterdam pada 13 Maret 1841 itu, Taco menyatakan bahasa Sunda kurang dikenal oleh orang Eropa. Bahasa bumiputra di bagian barat Pulau Jawa itu berbeda dari bahasa yang digunakan oleh bumiputra di sebelah timur Jawa. Bahasa Sunda juga berbeda dari bahasa Melayu, yang biasanya digunakan orang asing di Nusantara. Katanya, bahasa Sunda murni digunakan oleh bumiputra di seantero Keresidenan Priangan, juga di Banten dan Cirebon, kecuali yang tinggal di pesisir Banten di Selat Sunda dan utara Cirebon, dekat Tegal. Di dua daerah itu penduduknya menggunakan aksen campuran (Roorda dalam Wilde, 1841: V).

Oleh karena itu, menurut Taco, upaya untuk mengetahui bahasa Sunda secara utuh sangat penting dilakukan, agar siapa saja yang hendak mempelajarinya dapat berbincang dengan penutur asli. Bagi siapa saja yang hendak mempelajari bahasa Melayu seperti yang diucapkan di Priangan, akan beroleh manfaat dari buku yang disusun Andries tersebut (Roorda dalam Wilde, 1841: V-VI).

Taco kemudian menerangkan cara Andries mempelajari bahasa Sunda. Katanya, saat Andries diangkat menjadi pengawas budidaya kopi di Priangan pada 1808, dia segera merasakan adanya desakan untuk dapat membiasakan diri dengan bahasa dan tulisan di lingkungan tempat kerjanya, termasuk adat istiadat penduduknya. Konon dengan bantuan pemuka pribumi, dia dapat lekas mempelajari beberapa hal yang penting untuk membangun komunikasi.

Tetapi sekaligus ia hendak menularkan pengetahuannya kepada yang lain, sehingga akhirnya mengangkat anak bupati Bandung dan anak-anak pemuka lainnya sebagai murid. Mereka diberi diajarinya menulis dalam bahasa Melayu dan Sunda dengan aksara Eropa dan Jawa, karena aksara Jawa itu digunakan oleh bumiputra untuk menulis dalam bahasa Sunda. Dalam banyak kesempatan perjalanan pengawasan ke daerah, dia gunakan untuk melatih muridnya sekaligus melengkapinya dengan pengetahuan budidaya kopi serta produk lainnya. Akhirnya, anak-anak bumiputra itu bisa dijadikan wakil Andries sebagai pengawas kopi kala berhalangan (Roorda dalam Wilde, 1841: VI).

Cara surat menyurat pun diajarkan oleh Andries kepada muridnya. Pada praktiknya, dia memberikan latihan harian berupa beberapa kata, yang harus diterjemahkan ke dalam bahasa lainnya dan ditulis dengan aksara berbeda. Karena untuk mendapatkan kata-kata baru yang berbeda dari yang sudah diberikan kepada muridnya jadi sulit, akibatnya Andries untuk membuat kumpulan kosa kata yang dapat diberikan sebagian-sebagian kepada muridnya.

Setelah beberapa tahun, Andries sangat gembira karena dapat membentuk anak-anak muda kompeten, di antaranya bupati Bandung saat ini, yaitu Adipati Nata Koesouma, yang dikenal sebagai yang paling cerdas, juga sebagai salah satu bupati yang paling berperadaban di Keresidenan Priangan (Roorda dalam Wilde, 1841: VI-VII).

Menurut Taco (dalam Wilde, 1841: VII-VIII), demikianlah asal-usul tersusunnya Nederduitsch, Maleisch en Soendasch Woordenboek. Buku tersebut tidak dimaksudkan untuk tujuan kesastraan maupun karya sastra. Maksud sebenarnya hanyalah sebagai bahan ajar untuk murid-muridnya. Kemudian saat kembali ke Belanda, terpikir olehnya, bahwa karyanya tersebut dapat dimanfaatkan oleh yang lain bila diterbitkan. Namun, dia tidak punya cukup dorongan untuk melakukannya, sehingga tetap berupa naskah.

Namun, dua tahun yang lalu (1839), Johann Friedrich Carl Gericke atau J.F.C. Gericke (1798-1857), perwakilan Nederlandsch Bijbelgenootschap di Jawa yang selama sebelas tahun mempelajari bahasa dan kesusatraan Jawa, berkirim surat dengan Andries de Wilde. Melalui korespondensi itu, Gericke mendorong Andries agar menerbitkan naskahnya sebagai kontribusi bagi pembentukan pengetahuan mengenai bahasa Sunda, bahkan Melayu. Andries sendiri bersedia untuk membiayai penerbitannya.

Pada gilirannya, Gericke menghubungi Taco Roorda untuk memberitahu perkembangan itu, karena dalam anggapan Gericke tulisan Sunda yang menggunakan aksara Jawa seharusnya diperiksa dulu oleh ahli bahasa Jawa. Setelah ditimbang-timbang, Taco menganggap naskah Andries sangat bermanfaat. Lalu setelah menyatakan sanggup, Andries menyerahkan naskahnya kepada Taco bersama dua dokumen Sunda untuk keperluan tuturan yang koheren. Itulah naskah tentang budidaya kopi dan kebiasaan perkawinan orang Sunda, lampiran dalam kamus.

Pada praktiknya, Taco membiarkan kumpulan bahasa Melayu sebagaimana adanya, karena bahasa itu sudah cukup dikenal dan pentingnya dimasukkan ke dalam kamus hanyalah demi keperluan untuk memperlihatkan penggunaan bahasa Melayu di Priangan. Perhatian Taco tertuju kepada kosa kata Sunda dalam aksara Jawa, yang disesuaikan dengan ejaan umum orang Jawa. Sementara ejaan kosa kata Sunda menurut yang tertulis oleh Andries.

Catatan penting lainnya dari Taco adalah Raffles juga sudah pernah mengumpulkan kosa kata Sunda selama masa kekuasaan Inggris di Jawa, dalam jilid kedua History of Java. Dengan demikian, dapat dibandingkan dengan kamus Andries, meski keduanya berbeda sumber. Namun, karena tidak disusun seperti oleh Andries yang dapat berbicara bahasa Sunda sepasih penturnya, daftar kosa kata Raffles terkesan sangat tidak sempurna dan tidak tepat.

Kata Taco, Raffles dalam jilid pertama bukunya menyatakan adanya tingkatan dalam bahasa Sunda. Penggunaan bahasa Sunda dapat diamati saat bumiputra yang statusnya lebih rendah berbincang dengan yang statusnya lebih tinggi. Mereka akan menggunakan bahasa krama (halus, tinggi) dan ngoko (kasar, rendah), meski tidak seekstensif dalam bahasa Jawa. Fakta itu juga dikonformasi oleh Andries, terutama pada nada keras dan lembutnya (Taco dalam Wilde, 1841: X-XI).

Selain itu, Taco (dalam Wilde, 1841: XI) menyampaikan pengalaman Andries de Wilde saat tinggal di Priangan. Konon, selama itu, menurut Andries tidak ada sastra Sunda secara khusus, sehingga dianggapnya tidak ada. Apalagi para bupati di Tatar Sunda lebih suka menggunakan bahasa dan aksara Jawa kala berkorespondensi. Aksara buat surat dari seorang bupati yang ditulis dalam bahasa Sunda pun harus ditulis dalam aksara Jawa. Oleh karena itu, Taco menganggap bahasa Sunda umumnya ditempatkan sebagai bahasa tutur.

Halaman judul Nederduitsch, Maleisch en Soendasch Woordenboek. (Sumber: Google Books)
Halaman judul Nederduitsch, Maleisch en Soendasch Woordenboek. (Sumber: Google Books)

Asal-usul Naskah

Di atas sudah disebutkan komunikasi Taco Roorda dengan Andries de Wilde sekaligus dengan J.F.C. Gericke. Ternyata perhubungan di antara mereka sudah nampak terjalin sejak 1839. Ini antara lain mengemuka dalam ucapan terima kasih Taco dalam bukunya Berigt en Proeve van de Nieuwe Javaansche Drukletters (1839: 5).

Taco memuji cara merayu yang diperlihatkan Dr. Horsfield dari London dan Andries de Wilde, dua orang yang bertahun-tahun masa tinggalnya di Jawa mengakrabkan diri dengan bahasa dan tulisan orang Jawa, ditambah pertimbangan ahli dari Gericke, semuanya memberi kata sepakat pada buku yang sedang dikerjakan oleh Taco Roorda di atas.

Gericke sendiri nampaknya berkoresondensi dengan Andries, bahkan sempat menyalin naskah kamus susunan tuan tanah Ujungberung dan Sukabumi itu. Saya sendiri mendapatkan buktinya dari H.H. Juynboll, melalui Supplement op den Catalogus van Sundaneesche Handschriften en Catalogus van de Balineesche en Sasaksche Handschriften der Leidsche Universiteitsbibliotheek (1912: 67).

Dalam buku itu disertakan informasi mengenai satu naskah koleksi Nederlandsch Bijbelgenootschap berkode “Cod. 129 (Bijb. Gen.)”. Uraiannya tertulis: “Dit hs., groot 194 blz. fol., bevat een afschrift van het woordenboek der Sundasche taal van A. de Wilde, 1819. Voorin staat: "XL. 1. Ned. Bijbelgen. Woordenboek der Soendasche Taal verzameld door den heer A. de Wilde 1819. Uit deszelfs eigen exemplar door mij afgeschreven 10-18 September 1838". Ieder bladzijde is verdeeld in 3 kolommen: links Hollandsch, in het midden Sundasch (in transcriptie), rechts idem, doch in Jav. Karakter”.

Artinya, naskah itu terdiri atas 194 halaman folio, berisi salinan kamus bahasa Sunda oleh Andries de Wilde, dengan titimangsa tahun 1819. Di depan terbaca “XL. 1. Nederlandsch Bijbelgenootschap. Woordenboek der Soendasche Taal, yang dikumpulkan oleh A. De Wilde tahun 1819. Dari naskah itu, disalin oleh saya pada 10-18 September 1838”. Setiap halamannya dibagi menjadi tiga kolom: di sebelah kiri bahasa Belanda, di tengah bahasa Sunda (dalam transkripsi), dan sebelah kanannya dalam aksara Jawa.

Dari uraian naskah, saya dapat menduga, kemungkinan besar orang yang melakukan penyalinannya adalah J.F.C. Gericke. Saat itu, pakar sastra dan bahasa Jawa itu sedang berdinas sebagai penginjil di Solo (1827-1856). Di sana dia mendirikan Instituut der Javaansche Taal te Soerakarta atau Lembaga Bahasa Jawa di Surakarta, mengajar Mangkunegara IV, dan mempelajari bahasa kromo (Th. van den End, Ragi Carita 2, 2001: 35 dan R Kilgour, D.D, Alkitab di Tanah Hindia Belanda. Hal. 171-176).

Namun, yang lebih penting, titimangsa naskah kamus susunan Andries de Wilde dapat diketahui secara pasti, yakni pada 1819. Sebagaimana yang sudah saya tuliskan, pada tahun itu keadaan Andries sedang gamang. Karena tanah Ujungberung dijualnya ditambah mulai terasanya tekanan pemerintah kolonial Belanda yang hendak menghapus tuan-tuan tanah swasta di seantero Jawa, termasuk Priangan. Keadaan inilah yang memaksa Andries kembali ke Belanda pada awal 1820.

Dengan demikian, saya pikir, naskah tersebut pada dasarnya sudah disusun saat Andries berada di Bandung untuk sejak 1809 dan punya kesempatan untuk mengajari anak-anak para pemuka Bandung baca dan tulis. Seiring waktu, naskah itu ia perbarui secara sinambung hingga 1819. Tahun-tahun selanjutnya antara 1822-1838 dalam suasana mempertahankan nama baik sekaligus menuntut kompensasi atas tanah Sukabumi yang terpaksa dijual tahun 1823, Andries sempat memperbarui naskah kamus.

Selain itu, dari uraian di atas, saya jadi tahu mulanya naskah ditulis dengan tiga kolom, bukan empat kolom seperti yang berhasil diterbitkan. Karena dalam naskahnya padanan dalam bahasa Melayu tidak disertakan, melainkan hanya lema dalam bahasa Belanda, transkripsi lema Sunda dan aksara Jawa. Dengan demikian, besar kemungkinan lema Melayu Andries tambahkan antara 1822-1838.

Baca Juga: BIOGRAFI ANDRIES DE WILDE #20: Menjual Sukabumi, Kembali ke Belanda
BIOGRAFI ANDRIES DE WILDE #21: Menyusun Buku tentang Priangan
BIOGRAFI ANDRIES DE WILDE #22: Rehabilitasi dan Kompensasi untuk Kasus Sukabumi 1838

Pada 25 Mei 1842, Bataviaasch Genootschap membahas rencana kompetisi penyusunan kamus Sunda untuk melengkapi karya Andries de Wilde. (Sumber: Javasche Courant, 1 Juni 1842)
Pada 25 Mei 1842, Bataviaasch Genootschap membahas rencana kompetisi penyusunan kamus Sunda untuk melengkapi karya Andries de Wilde. (Sumber: Javasche Courant, 1 Juni 1842)

Pengaruh Kamus Andries de Wilde

Setelah diterbitkan awal Agustus 1841, Nederduitsch, Maleisch en Soendasch Woordenboek menuai reaksi. Reaksi pertama mengemuka saat Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen atau perhimpunan Batavia untuk kesenian dan ilmu pengetahuan menyelenggarakan rapat pertama untuk 1842, pada tanggal 25 Mei 1842.

Di bawah pimpinan wakil ketua Bataviaasch Genootschap J. van der Vinne, agenda rapatnya antara lain membahas usulan anggota perhimpunan, Diard, yang mengajukan persiapan kompetisi penyusunan kamus bahasa Sunda. Konon, Baron van Hoevell sudah bersedia untuk menjadi penyunting kamusnya. 

Kompetisi itu merupakan upaya Bataviaasch Genootschap untuk melengkapi Nederduitsch-Soendasch Woordenboek, selengkap mungkin. Kamusnya harus ditulis dalam aksara Latin dan Jawa. Harus pula disertakan keterangan kosa kata kromo dan ngoko yang biasa digunakan oleh orang Sunda, arti kata-kata beserta contoh-contoh kalimat dalam penggunaan sehari-hari. Bagi yang berhasil menyusunnya, perhimpunan Batavia akan menyediakan medali emas atau uang sebesar 300 gulden, beserta premi seribu gulden (Javasche Courant, 1 Juni 1842; Leydse Courant, 18 November 1842).

Sekitar setahun kemudian ada artikel dalam Javasche Courant (6 September 1843) bertajuk “Javaansche Literatuur”. Di situ antara lain disebutkan bahasa Sunda tidak mempunyai aksara sendiri, sehingga tidak ada kata-kata tertulis, dan gantinya menggunakan aksara Jawa. Alfabet Jawa masih memperlihatkan jejak-jejak aksara India, meski sudah sedemikian berkembang. Dalam bahasa Sunda terlihat sedikit jejak perbedaan antara kromo dan ngoko, sementara dalam bahasa Jawa asal-usulnya barangkali berasal dari pengaruh asing. 

Bahasa Sunda sudah demikian bercampur dengan kata-kata dari bahasa India, Arab, dan Melayu, tetapi setelah pengaruh asing itu disiangi bisa jadi bahasa asli di seluruh Pulau Jawa dapat ditemukan dalam bahasa Sunda. Kata penulis, dia berhutang kepada Taco Roorda yang mengungkapkan kembali pengalaman Andries de Wilde dan menerbitkan kamus pada 1841.

Penulis artikel kemudian menunjukkan kelemahan kamus Andries. Karena meski dilengkapi penulisan aksara Jawa, kata penulis, tidak segera dapat dibilang lengkap. Di dalamnya tidak dibedakan antara bahasa kromo dan ngoko, tidak ada perbedaan antara bahasa Sunda Priangan dan bahasa Sunda Banten dan Cirebon, kata-kata serapan asing tidak diperlihatkan, tidak ditunjukkan kosa kata yang masih digemari orang Sunda, dan tidak pula disertai contoh penggunaannya. Itu sebabnya, Bataviaasch Genootschap pada 25 Mei 1842 mengumumkan kompetisi kamus Belanda-Sunda yang lengkap.

Bataviaasch Genootschap mengumumkan lagi kompetisi pada 9 Oktober 1843, melalui sekretarisnya Pieter Mijer. Latar belakang dan isi pengumumannya sama dengan yang disiarkan pada 25 Mei 1842. Menurut Mikihiro Moriyama (Semangat Baru: Kolonialisme, Budaya Cetak, dan Kesastraan Sunda Abad ke-19, 2005: 26), alasan di balik pemberian hadiah itu adalah pemerintah kolonial menyadari perlunya studi bahasa pribumi untuk administrasi, bahasa Sunda di lingkungan kesarjanaan Belanda masih kurang dikenal, meningkatnya kepentingan dunia ilmu yang mendorong ‘penemuan baru’ bahasa-bahasa berbeda, para pegawai Belanda membutuhkan kamus lebih praktis dan lengkap karena kamus Andries kurang memadai.

Akhirnya, pada 1854, Bataviaasch Genootschaap menerima naskah A Dictionary of the Sunda Language of Java karya Jonathan Rigg. Naskahnya kemudian diterbitkan pada 1862. Pada akhir “Preface” bertitimangsa Jasinga, 5 Agustus 1862, Jonathan mengakui hutang budi pada pembacaannya atas karya-karya tulis Crawfurd, Marsden, Kamus Jawa P. Roorda, kamus Andries de Wilde, dan orang Eropa lainnya yang meneliti kebudayaan Sunda khususnya.

Apakah kemudian kamus Andries de Wilde tidak lagi diperbincangkan setelah Jonathan Rigg meraih hadiah dari Bataviaasch Genootschaap? Ternyata tidak. Karena hingga 1870-an masih ada orang yang membicarakannya, antara lain Jacobus Albertus Uilkens (1837-1893).

Dalam tulisannya yang bertajuk “Eenige opmerkingen betreffende Coolsma’s handleiding tot beoefening der Soendaneesche taal” (dalam TBG Vol. 21, 1875: 248-287), Uilkens antara lain menyebutkan bahwa bahasa Melayu, Jawa, Makassar, Toba, Dayak beserta bahasa Polinesia sudah mendapatkan perhatian ahli tata basa bangsa Belanda, sedangkan bahasa Sunda diposisikan seakan-seakan sebagai anak tiri (“maar het Soendaasch werd behandeld als een stiefkind”).

Untuk Nederduitsch, Maleisch en Soendasch Woordenboek susunan Andries de Wilde mendapatkan kritik dari J.A. Uilkens. Katanya, kamus tersebut alih-alih membantu memahami bahasa Sunda malah membikin tambah pusing, karena terlalu banyak yang tidak akurat, jauh dari kata lengkap, sehingga takkan bisa dijadikan rujukan oleh para ahli bahasa. Sementara untuk kamus bahasa Sunda-Inggris susunan Jonathan Rigg meski dikatakan kualitasnya lebih bagus, tetapi Uilkens menyarankan agar para pembacanya memperlakukan kamus tersebut dengan hati-hati.

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//